Peran MUI sebagai Takmil al-Kamil
loading...
A
A
A
Ahmad Zuhdi
Mahasiswa Doktoral Program Kaderisasi Seribu Ulama MUI-BAZNAS RI
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) dengan perannya sebagai himayatul ummah (menjaga umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah) memiliki peran yang sangat strategis. Terutama dalam menjaga umat dari berbagai anasir yang dapat menggelincirkannya.
Maka, sejak dulu hingga saat ini, tugas seorang muslim adalah melanjutkan misi kerasulan, yaitu dakwah. Meski pengutusan para nabi dan rasul berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi, namun bukan berarti risalah dakwah ikut terhenti.
Timbang terima dakwah pada saat haji wada merupakan legitimasi dari Rasulullah agar setiap muslim menjadi penyeru dakwah, terutama dalam menjaga dan memelihara semangat dakwah dalam kerangka bina’an ataupun difa’an. Dakwah bina’an berarti melakukan bimbingan ilmu terhadap umat dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Sedangkan dakwah difa’an, berarti melakukan pembentengan terhadap akidah umat.
Di sinilah letak perbedaan tugas kerasulan Nabi Muhammad dengan para nabi dan rasul yang diutus sebelumnya. Kewajiban dakwah yang sebelumnya menjadi kewajiban individu (nabi dan rasul), berubah menjadi kewajiban kolektif, berubah menjadi tanggung jawab bersama untuk menyampaikan dakwah ke tengah-tengah umat.
Dalam memikul tugas dan tanggung jawab dakwah secara kolektif, tentu diperlukan suatu wadah atau organisasi dakwah. Organisasi ini menghimpun berbagai potensi yang satu sama lain saling menopang berlangsungnya kerja-kerja dakwah.
Awal abad kedua puluh masehi merupakan kebangkitan organisasi dakwah Islam, hampir di seluruh dunia para ulama-pejuang kembali menegakkan izzah dan muru'ah Islam beserta kaum muslimin melalui pemberdayaan masyarakat di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan berbagai sektor yang menjadi fokus garapan. Ini tanpa meninggalkan senjata atau perlawanan fisik jika suatu saat dibutuhkan.
Pada rentang tahun 1900-1940-an, puluhan organisasi berbasis massa Islam hadir di setiap penjuru negeri muslim. Di Mesir misalnya berdiri Jamaah Ansharus Sunnah Al-Muhammadiyah (1926), Al-Ikhwanul Muslimin (1928), Jam'iyah Ahlul Hadits (1906), dan Al-Jama'ah Al-Islamiyah (1941) yang memiliki pengaruh kebangkitan sampai ke Anak Benua India, begitu juga di Tunisia, Suriah, Yordania, Turki, dan lainnya berdiri organisasi Islam, baik yang berorientasi pada dakwah an sich atau dakwah dan sosial-politik.
Begitu pun di Indonesia, setelah tidak adanya kesultanan-kesultanan yang menjadi rujukan dan representasi umat Islam, masyarakat tergugah untuk mendirikan ormas Islam demi tercapainya tujuan beragama. Seperti Jam'iyatul Khair (1901), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam [Persis] (1923), Nahdlatul Ulama [NU] (1926), dan ormas-ormas lainnya.
Ormas-ormas yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka tersebut melahirkan ribuan sekolah, pesantren, rumah sakit, puluhan perguruan tinggi, bahkan bekerja sama mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk melanjutkan studi di Timur Tengah. Melalui ormas-ormas tersebut, lahir para pemimpin dunia, lahir para negosiator dan diplomat ulung yang dapat merekonsiliasi konflik yang ada di dalam luar negeri.
Kehadiran ormas tersebut memberikan kontribusi besar dan signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Setelah mencermati dan melihat kiprah ormas Islam dalam memajukan, mencerdaskan, menguatkan serta mengokohkan bangsa Indonesia, ada sebagian saudara kita yang berpandangan bahwa ormas Islam merupakan sumber perpecahan, umat dikotak-kotak, umat dipecah belah, dan sebagainya.
Tentu jika pemahaman ini dibiarkan akan sangat fatal dan dapat menimbulkan kesesatan pikir bagi umat Islam yang awam terhadap dunia pergerakan. Sebab sangat jauh berbeda antara ormas dengan firqah atau sekte yang dianggap jauh menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Kesalahpahaman ini harus diluruskan dengan memberikan pemahaman mendasar. Pertama, perbedaan yang ada pada ormas adalah pada tataran ijtihadiyah, bukan ushulli (dasar-dasar agama). Perbedaan ijtihadiyah ini juga terjadi pada mazhab fikih yang empat, sementara perbedaan mereka dalam masalah pokok keimanan. (Jeje Zaenudin: 2012).
Kedua, siapa pun yang berpaham suatu aliran menyimpang atau sesat, meskipun mereka hidup berbaur di tengah masyarakat dan tidak mempunyai ormas, tetap saja dikatakan menyimpang. Sebab, kesesatan itu bukan ada pada lembaga atau ormasnya, tetapi pada pemahaman orang-orangnya.
Ketiga, perpecahan sejak dulu hingga sekarang bukan karena ada lembaga atau ormasnya, tetapi karena kejahilan, egoisme (ananiyah), fanatik buta (ta'ashub), sifat dengki, hasud, dan hawa nafsu manusia. Bahkan sering kali terjadi perpecahan di tengah masyarakat karena faktor-faktor tersebut, sekalipun tidak ada ormas atau lembaga di dalamnya.
Maka, kelahiran MUI pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta ini merupakan langkah yang sangat cerdas dan strategis. Kelahiran MUI bukan berarti tahsil al-hasil (menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil) atau bersifat redundansi (pengulangan yang tidak penting), seperti orang yang sudah mandi kemudian disuruh mandi lagi, atau sudah ada ormas kemudian membuat wadah baru lagi yang serupa.
Tidak berlebihan jika kehadiran MUI adalah takmil al-kamil (menyempurnakan sesuatu yang sudah sempurna). Karena pada kenyataannya, meskipun ormas Islam bukan sumber perpecahan, tetapi kejahilan di tengah masyarakat menjadi ladang subur bagi bersemainya fanatisme, eksklusivisme, dengki, kecurigaan di antara sesama muslim, bahkan satu sama lain saling mengkafirkan.
Peran MUI dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat, mulai dari aspek akidah, pendidikan, kaderisasi ulama, solidaritas dunia Islam untuk Palestina, pemberdayaan ekonomi hingga semangat untuk membumihanguskan narkoba dan patologi sosial lainnya menjadi katalisator gerakan dakwah yang telah dibangun ormas Islam. Kesalahpahaman umat yang awam terhadap gerakan ormas Islam juga dapat diluruskan MUI sebagai wadah pemersatu umat.
Semoga kiprah MUI menjelang setengah abad perjalanannya semakin mengokohkan Islam dan umat muslim dalam bingkai NKRI. Jayalah Islamku, Jayalah Indonesiaku.
Mahasiswa Doktoral Program Kaderisasi Seribu Ulama MUI-BAZNAS RI
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) dengan perannya sebagai himayatul ummah (menjaga umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah) memiliki peran yang sangat strategis. Terutama dalam menjaga umat dari berbagai anasir yang dapat menggelincirkannya.
Maka, sejak dulu hingga saat ini, tugas seorang muslim adalah melanjutkan misi kerasulan, yaitu dakwah. Meski pengutusan para nabi dan rasul berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi, namun bukan berarti risalah dakwah ikut terhenti.
Timbang terima dakwah pada saat haji wada merupakan legitimasi dari Rasulullah agar setiap muslim menjadi penyeru dakwah, terutama dalam menjaga dan memelihara semangat dakwah dalam kerangka bina’an ataupun difa’an. Dakwah bina’an berarti melakukan bimbingan ilmu terhadap umat dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Sedangkan dakwah difa’an, berarti melakukan pembentengan terhadap akidah umat.
Di sinilah letak perbedaan tugas kerasulan Nabi Muhammad dengan para nabi dan rasul yang diutus sebelumnya. Kewajiban dakwah yang sebelumnya menjadi kewajiban individu (nabi dan rasul), berubah menjadi kewajiban kolektif, berubah menjadi tanggung jawab bersama untuk menyampaikan dakwah ke tengah-tengah umat.
Dalam memikul tugas dan tanggung jawab dakwah secara kolektif, tentu diperlukan suatu wadah atau organisasi dakwah. Organisasi ini menghimpun berbagai potensi yang satu sama lain saling menopang berlangsungnya kerja-kerja dakwah.
Awal abad kedua puluh masehi merupakan kebangkitan organisasi dakwah Islam, hampir di seluruh dunia para ulama-pejuang kembali menegakkan izzah dan muru'ah Islam beserta kaum muslimin melalui pemberdayaan masyarakat di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan berbagai sektor yang menjadi fokus garapan. Ini tanpa meninggalkan senjata atau perlawanan fisik jika suatu saat dibutuhkan.
Pada rentang tahun 1900-1940-an, puluhan organisasi berbasis massa Islam hadir di setiap penjuru negeri muslim. Di Mesir misalnya berdiri Jamaah Ansharus Sunnah Al-Muhammadiyah (1926), Al-Ikhwanul Muslimin (1928), Jam'iyah Ahlul Hadits (1906), dan Al-Jama'ah Al-Islamiyah (1941) yang memiliki pengaruh kebangkitan sampai ke Anak Benua India, begitu juga di Tunisia, Suriah, Yordania, Turki, dan lainnya berdiri organisasi Islam, baik yang berorientasi pada dakwah an sich atau dakwah dan sosial-politik.
Begitu pun di Indonesia, setelah tidak adanya kesultanan-kesultanan yang menjadi rujukan dan representasi umat Islam, masyarakat tergugah untuk mendirikan ormas Islam demi tercapainya tujuan beragama. Seperti Jam'iyatul Khair (1901), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam [Persis] (1923), Nahdlatul Ulama [NU] (1926), dan ormas-ormas lainnya.
Ormas-ormas yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka tersebut melahirkan ribuan sekolah, pesantren, rumah sakit, puluhan perguruan tinggi, bahkan bekerja sama mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk melanjutkan studi di Timur Tengah. Melalui ormas-ormas tersebut, lahir para pemimpin dunia, lahir para negosiator dan diplomat ulung yang dapat merekonsiliasi konflik yang ada di dalam luar negeri.
Kehadiran ormas tersebut memberikan kontribusi besar dan signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Setelah mencermati dan melihat kiprah ormas Islam dalam memajukan, mencerdaskan, menguatkan serta mengokohkan bangsa Indonesia, ada sebagian saudara kita yang berpandangan bahwa ormas Islam merupakan sumber perpecahan, umat dikotak-kotak, umat dipecah belah, dan sebagainya.
Tentu jika pemahaman ini dibiarkan akan sangat fatal dan dapat menimbulkan kesesatan pikir bagi umat Islam yang awam terhadap dunia pergerakan. Sebab sangat jauh berbeda antara ormas dengan firqah atau sekte yang dianggap jauh menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Kesalahpahaman ini harus diluruskan dengan memberikan pemahaman mendasar. Pertama, perbedaan yang ada pada ormas adalah pada tataran ijtihadiyah, bukan ushulli (dasar-dasar agama). Perbedaan ijtihadiyah ini juga terjadi pada mazhab fikih yang empat, sementara perbedaan mereka dalam masalah pokok keimanan. (Jeje Zaenudin: 2012).
Kedua, siapa pun yang berpaham suatu aliran menyimpang atau sesat, meskipun mereka hidup berbaur di tengah masyarakat dan tidak mempunyai ormas, tetap saja dikatakan menyimpang. Sebab, kesesatan itu bukan ada pada lembaga atau ormasnya, tetapi pada pemahaman orang-orangnya.
Ketiga, perpecahan sejak dulu hingga sekarang bukan karena ada lembaga atau ormasnya, tetapi karena kejahilan, egoisme (ananiyah), fanatik buta (ta'ashub), sifat dengki, hasud, dan hawa nafsu manusia. Bahkan sering kali terjadi perpecahan di tengah masyarakat karena faktor-faktor tersebut, sekalipun tidak ada ormas atau lembaga di dalamnya.
Maka, kelahiran MUI pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta ini merupakan langkah yang sangat cerdas dan strategis. Kelahiran MUI bukan berarti tahsil al-hasil (menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil) atau bersifat redundansi (pengulangan yang tidak penting), seperti orang yang sudah mandi kemudian disuruh mandi lagi, atau sudah ada ormas kemudian membuat wadah baru lagi yang serupa.
Tidak berlebihan jika kehadiran MUI adalah takmil al-kamil (menyempurnakan sesuatu yang sudah sempurna). Karena pada kenyataannya, meskipun ormas Islam bukan sumber perpecahan, tetapi kejahilan di tengah masyarakat menjadi ladang subur bagi bersemainya fanatisme, eksklusivisme, dengki, kecurigaan di antara sesama muslim, bahkan satu sama lain saling mengkafirkan.
Peran MUI dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat, mulai dari aspek akidah, pendidikan, kaderisasi ulama, solidaritas dunia Islam untuk Palestina, pemberdayaan ekonomi hingga semangat untuk membumihanguskan narkoba dan patologi sosial lainnya menjadi katalisator gerakan dakwah yang telah dibangun ormas Islam. Kesalahpahaman umat yang awam terhadap gerakan ormas Islam juga dapat diluruskan MUI sebagai wadah pemersatu umat.
Semoga kiprah MUI menjelang setengah abad perjalanannya semakin mengokohkan Islam dan umat muslim dalam bingkai NKRI. Jayalah Islamku, Jayalah Indonesiaku.
(zik)