Tampil Impresif di Debat Ketiga Lambungkan Daya Tarik Ganjar-Mahfud
Kamis, 11 Januari 2024 - 21:50 WIB
Tidak bisa dipungkiri, media sosial adalah lahan baru dalam menggaet pemilih yang kemudian memberikan suaranya di hari pemilihan nanti. “Prosesnya pertamanya adalah media sosial menjadi lahan untuk membangun narasi serta citra positif karena media sosial berbeda sekali arsitekturnya dengan media pers,” kata Alvin.
Media sosial memberikan ruang yang luas untuk menyampaikan pesan-pesan politik, termasuk program-program yang pro rakyat. Penonton atau pemirsa sosial media menyerap informasi tersebut Lebih luas.
“Namun, tiap medsos juga ada karakter user-nya. Misal TikTok yang sedang laris manis memang sebagian besar digunakan Gen-Z dan milenial. Facebook rata-rata para boomers. Instagram lebih mayoritas pada milenial dan sebagain Gen-z,” jelas Alvin.
Konten harus beresonansi dengan preferensi para pemilih. Sehingga menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk memilih capres-cawapres tertentu.
Satu kekuatan media sosial adalah efek echo chamber. “Sekali terpapar dengan sebuah konten paslon tertentu, maka rekomendasi konten berikutnya bisa saja memperkuat konten yang sudah ditonton. Saya tidak meragukan, media sosial harus diberdayakan para paslon untuk meraup suara dan kunci kemenangan di pemilu atau pilpres," tuturnya.
Sebelumnya, Cawapres Mahfud MD giat berkampanye di sosial media. Dia memiliki program Tabrak Prof dan menggunakan kata-kata gaul, seperti bestie. “Sekarang saya menyesuaikan diri. Saya bukan lagi hakim, tetapi harus bicara dengan masyarakat, maka acara seperti ini (Tabrak, Prof!), ya kami adakah untuk bicara-bicara apa yang lagi nge-trend, lewat TikTok, YouTube, macam-macam,” tegas Mahfud.
Media sosial memberikan ruang yang luas untuk menyampaikan pesan-pesan politik, termasuk program-program yang pro rakyat. Penonton atau pemirsa sosial media menyerap informasi tersebut Lebih luas.
“Namun, tiap medsos juga ada karakter user-nya. Misal TikTok yang sedang laris manis memang sebagian besar digunakan Gen-Z dan milenial. Facebook rata-rata para boomers. Instagram lebih mayoritas pada milenial dan sebagain Gen-z,” jelas Alvin.
Konten harus beresonansi dengan preferensi para pemilih. Sehingga menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk memilih capres-cawapres tertentu.
Satu kekuatan media sosial adalah efek echo chamber. “Sekali terpapar dengan sebuah konten paslon tertentu, maka rekomendasi konten berikutnya bisa saja memperkuat konten yang sudah ditonton. Saya tidak meragukan, media sosial harus diberdayakan para paslon untuk meraup suara dan kunci kemenangan di pemilu atau pilpres," tuturnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Cawapres Mahfud MD giat berkampanye di sosial media. Dia memiliki program Tabrak Prof dan menggunakan kata-kata gaul, seperti bestie. “Sekarang saya menyesuaikan diri. Saya bukan lagi hakim, tetapi harus bicara dengan masyarakat, maka acara seperti ini (Tabrak, Prof!), ya kami adakah untuk bicara-bicara apa yang lagi nge-trend, lewat TikTok, YouTube, macam-macam,” tegas Mahfud.
(kri)
tulis komentar anda