Menafsir Genderlect di Dunia Virtual: Antara Kode Pria dan Kode Wanita

Senin, 01 Januari 2024 - 22:27 WIB
Oleh karena itu, menjelajahi dunia virtual dari perspektif genderlect tidak hanya membawa kita pada pemahaman tentang perbedaan komunikasi, tetapi juga pada bagaimana media sosial membentuk dan memengaruhi konsep gender secara lebih luas.

Tulisan ini bertujuan untuk membuka pemahaman tentang bagaimana genderlect termanifestasi dalam dunia virtual, khususnya dalam konteks media sosial. Dengan melihat dinamika interaksi antara laki-laki dan perempuan di ruang maya, kita dapat meraih wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana identitas gender tercermin dan dibentuk melalui komunikasi online.

Genderlect Styles adalah konsep yang menyoroti perbedaan gaya percakapan antara laki-laki dan perempuan, dengan fokus bukan hanya pada apa yang dikatakan, melainkan bagaimana cara pesan tersebut disampaikan sehingga dapat menganalisa apa yang menjadi penyebab dari kesenjangan atau "gap" dalam komunikasi antara kedua gender tersebut. Pemahaman dan kesadaran terhadap perbedaan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas komunikasi antara laki-laki dan perempuan serta mengurangi potensi munculnya kesalahpahaman dan konflik.

Konsep "Genderlect Styles" pertama kali diperkenalkan oleh Deborah Tannen, dia adalah seorang profesor linguistik di Georgetown University di Washington DC, Amerika Serikat. Tannen mengemukakan bahwa tidak hanya isi pesan yang penting, tetapi juga bagaimana cara pesan tersebut disampaikan. Gaya percakapan ini mencerminkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh posisi lintas budaya yang mereka tempati.

Dalam karyanya berjudul "You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation," Tannen menyoroti pentingnya aspek-aspek seperti saling menghargai, mendengarkan tanpa superior-inferior, dan klaim pandangan yang tidak melibatkan elemen "high power - low power." Teorinya menekankan pentingnya memahami dan menghargai berbagai jenis komunikasi antara laki-laki dan perempuan untuk meningkatkan hubungan interpersonal dan mengurangi kesalahpahaman serta konflik yang mungkin timbul.

Dalam konteks ini, relevansi teori Tannen terletak pada usahanya untuk memahami dan menjelaskan berbagai jenis komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan hubungan kerja yang lebih baik dan membantu mengurangi potensi kesalahpahaman serta konflik yang dapat terus berlanjut. Dalam teori ini terdapat beberapa komponen, antara lain:

1. Status vs Connection

Pria memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan pencapaian status dan kemandirian sebagai manifestasi nilai dan identitas, sementara wanita lebih menekankan pentingnya hubungan sosial dan keintiman dalam interaksi komunikatifnya. Sebagai contoh, seorang pria lebih meresapi nilai dirinya melalui pencapaian status di tempat kerja, sedangkan seorang wanita cenderung lebih fokus pada kualitas hubungan interpersonal.

2. Report Talk vs Rapport Talk

Perempuan cenderung menggunakan pola bahasa yang menekankan pembentukan ikatan emosional melalui berbicara tentang perasaan dan pengalaman pribadi. Sebaliknya, laki-laki lebih suka mempertahankan kebebasan dan cenderungmenggunakan bahasa yang bersifat lebih tegas dan langsung. Sebagai contoh, seorang perempuan lebih suka berbicara tentang pengalaman pribadinya untuk memperkuat relasi interpersonal, sedangkan seorang pria cenderung fokus pada diskusi yang lebih tegas dan berorientasi pada negosiasi.

3. Public vs Private

Perempuan merasa nyaman berkomunikasi dalam percakapan pribadi di rumah, mengeksplorasi dimensi emosional dan membagikan pengalaman pribadi. Di sisi lain, laki-laki mungkin terlihat lebih tenang di rumah namun lebih ekspresif dan aktif berbicara ketika berada di ruang masyarakat atau terlibat dalam diskusi kelompok. Sebagai contoh, seorang ibu dapat dengan mudah membicarakan pengalaman pribadinya di rumah, sementara seorang ayah mungkin lebih terlibat dalam diskusi kelompok di luar rumah.

4. Metamessages

Merujuk pada aspek-aspek komunikasi yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam pesan verbal, melainkan bersifat tersirat atau terkandung dalam pesan sebenarnya. Contoh dapat ditemukan dalam intonasi suara, gestur tubuh, dan ekspresi wajah pembicara. Sebagai contoh, seorang pembicara dapat menambah dimensi emosional pada pesannya melalui ekspresi wajah atau gerakan tubuh, menciptakan lapisan pesan yang tidak terucap secara langsung namun memuat makna yang lebih dalam.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More