Menafsir Genderlect di Dunia Virtual: Antara Kode Pria dan Kode Wanita
Senin, 01 Januari 2024 - 22:27 WIB
Maekel Sembiring
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
DI ERA teknologi informasi dan media sosial yang berkembang pesat, interaksi antara individu tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan telah meluas ke dunia maya. Fenomena ini menciptakan landasan yang menarik untuk mengamati bagaimana pola komunikasi antara laki-laki dan perempuan berkembang di dunia virtual.
Dengan munculnya berbagai platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, X, dan TikTok, setiap individu kini memiliki akses tak terbatas untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan menyuarakan pandangan mereka. Namun, di balik keragaman interaksi online, perbedaan gaya komunikasi antara gender menjadi subjek menarik untuk dibahas. Genderlect style menyoroti perbedaan dalam gaya bicara antara laki-laki dan perempuan.
Dalam dunia virtual, konsep ini dapat dilihat dalam cara laki-laki dan perempuan menyusun pesan, menyampaikan pendapat, dan merespons interaksi online. Misalnya, seorang pria mungkin lebih cenderung menggunakan bahasa yang bersifat langsung dan tegas, sementara seorang wanita mungkin lebih condong kepada pembicaraan yang menitikberatkan pada relasi interpersonal dan perasaan.
Mengamati dinamika percakapan di media sosial, kita dapat melihat bagaimana kode-kode komunikasi antara laki-laki dan perempuan membentuk lingkungan daring. Gaya berbicara yang bersifat lebih konservatif atau lebih terbuka, penggunaan emoji atau tanda baca tertentu, semuanya mencerminkan perbedaan dalam menyampaikan pesan. Sebagai contoh, laki-laki mungkin cenderung menggunakan bahasa yang lebih formal atau mengutamakan fakta dalam diskusi online, sedangkan perempuan lebih memilih untuk mengekspresikan emosi dan menumbuhkan ikatan sosial.
Cheris Kramarae dalamm bukunya Handbook for Achieving Gender Equity Through Education berpandangan bahwa komunikasi gender terjadi dalam konteks ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan hasil dari konstruksi sosial yang telah terjadi di masa lalu. Konstruksi sosial ini menciptakan pandangan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok yang dimarginalkan dalam berbagai kelompok sosial.
Peran media sosial dalam menafsirkan genderlect juga dapat dilihat dalam fenomena viralitas. Bagaimana sebuah pesan, tindakan, atau meme menyebar dan diterima oleh komunitas daring dapat mencerminkan bagaimana norma gender dipahami dan dipersepsikan.
Adanya stereotip gender, misalnya, seringkali kita melihat meme yang menggambarkan bahwa laki-laki tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga atau tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam urusan parenting. Sebaliknya, postingan Independent woman justru dipandang sebelah mata atau hanya dianggap pencitraan.
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
DI ERA teknologi informasi dan media sosial yang berkembang pesat, interaksi antara individu tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan telah meluas ke dunia maya. Fenomena ini menciptakan landasan yang menarik untuk mengamati bagaimana pola komunikasi antara laki-laki dan perempuan berkembang di dunia virtual.
Dengan munculnya berbagai platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, X, dan TikTok, setiap individu kini memiliki akses tak terbatas untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan menyuarakan pandangan mereka. Namun, di balik keragaman interaksi online, perbedaan gaya komunikasi antara gender menjadi subjek menarik untuk dibahas. Genderlect style menyoroti perbedaan dalam gaya bicara antara laki-laki dan perempuan.
Dalam dunia virtual, konsep ini dapat dilihat dalam cara laki-laki dan perempuan menyusun pesan, menyampaikan pendapat, dan merespons interaksi online. Misalnya, seorang pria mungkin lebih cenderung menggunakan bahasa yang bersifat langsung dan tegas, sementara seorang wanita mungkin lebih condong kepada pembicaraan yang menitikberatkan pada relasi interpersonal dan perasaan.
Mengamati dinamika percakapan di media sosial, kita dapat melihat bagaimana kode-kode komunikasi antara laki-laki dan perempuan membentuk lingkungan daring. Gaya berbicara yang bersifat lebih konservatif atau lebih terbuka, penggunaan emoji atau tanda baca tertentu, semuanya mencerminkan perbedaan dalam menyampaikan pesan. Sebagai contoh, laki-laki mungkin cenderung menggunakan bahasa yang lebih formal atau mengutamakan fakta dalam diskusi online, sedangkan perempuan lebih memilih untuk mengekspresikan emosi dan menumbuhkan ikatan sosial.
Cheris Kramarae dalamm bukunya Handbook for Achieving Gender Equity Through Education berpandangan bahwa komunikasi gender terjadi dalam konteks ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan hasil dari konstruksi sosial yang telah terjadi di masa lalu. Konstruksi sosial ini menciptakan pandangan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok yang dimarginalkan dalam berbagai kelompok sosial.
Peran media sosial dalam menafsirkan genderlect juga dapat dilihat dalam fenomena viralitas. Bagaimana sebuah pesan, tindakan, atau meme menyebar dan diterima oleh komunitas daring dapat mencerminkan bagaimana norma gender dipahami dan dipersepsikan.
Adanya stereotip gender, misalnya, seringkali kita melihat meme yang menggambarkan bahwa laki-laki tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga atau tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam urusan parenting. Sebaliknya, postingan Independent woman justru dipandang sebelah mata atau hanya dianggap pencitraan.
tulis komentar anda