Tantangan dan Peluang: Pemilu 2024, Diplomasi Asia-Pasifik, dan Masa Depan Indonesia
Kamis, 23 November 2023 - 14:54 WIB
Kunjungan Xi Jinping terjadi di tengah lanskap politik global yang intens dan kompleks. Konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung dan gejolak yang terus-menerus di Timur Tengah telah menguras sumber daya dan energi Amerika. Kondisi ini mendorong Washington untuk melakukan kalibrasi ulang pendekatan terhadap Beijing.
Salah satu indikasi terhadap perubahan ini adalah kunjungan pejabat China ke Amerika, yang menandakan kemungkinan pergeseran hubungan kedua negara yang secara nyata sedang terlibat perang dingin. Perkembangan ini disambut baik oleh Indonesia yang menghargai regionalitas dan pembangunan ekonomi.
Inti dari diskusi dan narasi yang lebih luas seputar kunjungan ini adalah dikotomi konseptual antara "Asia-Pasifik" dan "Indo-Pasifik". Istilah "Pasifik" sebagai entitas politik dan ilmu pengetahuan, menurut Acharya, memiliki akar pada perjalanan ekonomi. Ini mengacu pada wilayah di sekitar Samudera Pasifik, termasuk Asia Timur, Tenggara, Oseania, dan bagian dari Belt and Road Inisiatif.
Forum APEC, terutama BRD (Business Resilience and Development), sebagai andalan ekonomi global China juga mencerminkan definisi ini. Strategi pembangunan tersebut memberikan contoh fokus yang serius terhadap perkembangan ekonomi regional, dan perkembangan pasar negara berkembang.
Sebaliknya, "persaingan politik Indo-Pasifik," yang muncul dari geopolitik, telah membuat perubahan yang strategis dan berefek sampai Afrika Timur, Samudera Hindia hingga Samudera Barat yang termasuk Pasifik. Wilayah ini memiliki daya tarik khusus dalam strategi geopolitik negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengaruh yang meningkat dari China.
Dari perspektif Indonesia, perbedaan antara kedua pandangan ini lebih dari sekadar masalah akademis. Ini mencerminkan dua visi tatanan regional yang berbeda: satu bersifat ekonomi dan integratif, yang lainnya bersifat strategis dan memiliki potensi memecah belah. Seperti pandangan lainnya yang terus menerus mengandung pro dan kontra terhadap perekembangan China dan Amerika.
Sebagai mitra ASEAN, Indonesia secara tradisional cenderung memilih pendekatan inklusif terhadap isu-isu regional, dengan fokus pada pengembangan operasional dan kerja sama. Kebijakan luar negeri Indonesia, yang berakar pada prinsip-prinsip non-blok dan otonomi strategis, lebih sejalan dengan "konsep Asia-Pasifik" yang bersifat inklusif dan berorientasi ekonomi.
Peran dan pendekatan China terhadap keterlibatan regional sangat menarik dalam konteks ini. Selama empat dekade terakhir, China telah mendominasi dengan pendekatan maju dan bangkit dengan damai, dan fokus pada pembangunan ekonomi. Pendekatan ini berbeda secara mencolok dengan ekspansi historis kekuatan kolonial Barat, yang ditandai dengan perkeemangan militer atau kekuatan militer Barat.
Pernyataan AS yang terus-menerus mengenai partisipasi Indo-Pasifik di bawah pemerintahan Trump tampaknya memunculkan kenangan akan serangkaian konflik maritim dan politik kekuasaan. Bagi Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat menjaga keseimbangan dan keamanan di kawasan yang semakin kompleks ini.
Penulis berpendapat kunjungan Xi Jinping dan implikasinya, terutama terkait investasi asing membawa dampak positif dan kunjungan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim perdagangan global yang lebih stabil, memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada ekspor ke luar.
Salah satu indikasi terhadap perubahan ini adalah kunjungan pejabat China ke Amerika, yang menandakan kemungkinan pergeseran hubungan kedua negara yang secara nyata sedang terlibat perang dingin. Perkembangan ini disambut baik oleh Indonesia yang menghargai regionalitas dan pembangunan ekonomi.
Inti dari diskusi dan narasi yang lebih luas seputar kunjungan ini adalah dikotomi konseptual antara "Asia-Pasifik" dan "Indo-Pasifik". Istilah "Pasifik" sebagai entitas politik dan ilmu pengetahuan, menurut Acharya, memiliki akar pada perjalanan ekonomi. Ini mengacu pada wilayah di sekitar Samudera Pasifik, termasuk Asia Timur, Tenggara, Oseania, dan bagian dari Belt and Road Inisiatif.
Forum APEC, terutama BRD (Business Resilience and Development), sebagai andalan ekonomi global China juga mencerminkan definisi ini. Strategi pembangunan tersebut memberikan contoh fokus yang serius terhadap perkembangan ekonomi regional, dan perkembangan pasar negara berkembang.
Sebaliknya, "persaingan politik Indo-Pasifik," yang muncul dari geopolitik, telah membuat perubahan yang strategis dan berefek sampai Afrika Timur, Samudera Hindia hingga Samudera Barat yang termasuk Pasifik. Wilayah ini memiliki daya tarik khusus dalam strategi geopolitik negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengaruh yang meningkat dari China.
Dari perspektif Indonesia, perbedaan antara kedua pandangan ini lebih dari sekadar masalah akademis. Ini mencerminkan dua visi tatanan regional yang berbeda: satu bersifat ekonomi dan integratif, yang lainnya bersifat strategis dan memiliki potensi memecah belah. Seperti pandangan lainnya yang terus menerus mengandung pro dan kontra terhadap perekembangan China dan Amerika.
Sebagai mitra ASEAN, Indonesia secara tradisional cenderung memilih pendekatan inklusif terhadap isu-isu regional, dengan fokus pada pengembangan operasional dan kerja sama. Kebijakan luar negeri Indonesia, yang berakar pada prinsip-prinsip non-blok dan otonomi strategis, lebih sejalan dengan "konsep Asia-Pasifik" yang bersifat inklusif dan berorientasi ekonomi.
Peran dan pendekatan China terhadap keterlibatan regional sangat menarik dalam konteks ini. Selama empat dekade terakhir, China telah mendominasi dengan pendekatan maju dan bangkit dengan damai, dan fokus pada pembangunan ekonomi. Pendekatan ini berbeda secara mencolok dengan ekspansi historis kekuatan kolonial Barat, yang ditandai dengan perkeemangan militer atau kekuatan militer Barat.
Pernyataan AS yang terus-menerus mengenai partisipasi Indo-Pasifik di bawah pemerintahan Trump tampaknya memunculkan kenangan akan serangkaian konflik maritim dan politik kekuasaan. Bagi Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat menjaga keseimbangan dan keamanan di kawasan yang semakin kompleks ini.
Penulis berpendapat kunjungan Xi Jinping dan implikasinya, terutama terkait investasi asing membawa dampak positif dan kunjungan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim perdagangan global yang lebih stabil, memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada ekspor ke luar.
Lihat Juga :
tulis komentar anda