Tantangan dan Peluang: Pemilu 2024, Diplomasi Asia-Pasifik, dan Masa Depan Indonesia
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden
KUNJUNGAN Presiden China Xi Jinping ke Amerika Serikat, yang bersamaan dengan pertemuan pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di San Francisco, menjadi momen penting dalam diplomasi internasional, khususnya bagi Indonesia.
Pertemuan ini mencatat kunjungan pertama pemimpin China ke AS sejak 2017 dan terjadi di sela-sela ketegangan yang meningkat dan ketidakpercayaan antara China dan AS. Dalam enam setengah tahun terakhir, hubungan keduanya terperangkap dalam kebijakan antagonis, perang dagang, dan manuver geo-politik, terutama di bawah pemerintahan Trump.
Dinamika hubungan antara China dan AS, yang sebenarnya secara nyata saling ketergantungan ini telah menyebabkan persaingan yang kompleks. Juga telah menciptakan sejumlah tantangan yang berdampak pada stabilitas ekonomi global dan keamanan regional. Era yang penuh tantangan ini menciptakan ketidakpastian dalam hubungan bilateral, menimbulkan pertanyaan tentang masa depan kerjasama internasional, termasuk dampaknya terhadap Indonesia.
Pentingnya kunjungan ini terletak pada upaya memperbaiki hubungan dan dialog yang konstruktif antara dua negara adidaya ini. Dengan situasi geopolitik yang berubah-ubah, Indonesia sebagai negara dengan kedudukan strategis di kawasan Asia-Pasifik perlu memantau dengan cermat dinamika hubungan China -AS dan menyusun strategi yang bijaksana untuk menjaga kepentingan nasional dan regionalnya.
Kehadiran China dalam pertemuan APEC di San Francisco menjadi peluang untuk merapatkan hubungan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Indonesia, sebagai anggota APEC, dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan kedua negara dan memainkan peran aktif dalam mempromosikan dialog yang membangun di antara negara anggota APEC.
Dengan begitu, kunjungan Xi Jinping ke AS bukan hanya menjadi fokus atau isu utama bagi kedua negara tersebut, tetapi juga memiliki dampak signifikan bagi Indonesia. Pentingnya diplomasi dan keterlibatan aktif Indonesia dalam konteks ini menjadi kunci untuk memastikan stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik.
Indonesia, yang terletak paling strategis di Asia Tenggara, telah lama mengamati perkembangan hubungan dua negara adidaya ini. Indonesia memahami bahwa dinamika antara dua kekuatan global tersebut secara signifikan mempengaruhi peningkatan stabilitas regional dan kesejahteraan ekonomi.
Kunjungan Xi Jinping terjadi di tengah lanskap politik global yang intens dan kompleks. Konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung dan gejolak yang terus-menerus di Timur Tengah telah menguras sumber daya dan energi Amerika. Kondisi ini mendorong Washington untuk melakukan kalibrasi ulang pendekatan terhadap Beijing.
Salah satu indikasi terhadap perubahan ini adalah kunjungan pejabat China ke Amerika, yang menandakan kemungkinan pergeseran hubungan kedua negara yang secara nyata sedang terlibat perang dingin. Perkembangan ini disambut baik oleh Indonesia yang menghargai regionalitas dan pembangunan ekonomi.
Inti dari diskusi dan narasi yang lebih luas seputar kunjungan ini adalah dikotomi konseptual antara "Asia-Pasifik" dan "Indo-Pasifik". Istilah "Pasifik" sebagai entitas politik dan ilmu pengetahuan, menurut Acharya, memiliki akar pada perjalanan ekonomi. Ini mengacu pada wilayah di sekitar Samudera Pasifik, termasuk Asia Timur, Tenggara, Oseania, dan bagian dari Belt and Road Inisiatif.
Forum APEC, terutama BRD (Business Resilience and Development), sebagai andalan ekonomi global China juga mencerminkan definisi ini. Strategi pembangunan tersebut memberikan contoh fokus yang serius terhadap perkembangan ekonomi regional, dan perkembangan pasar negara berkembang.
Sebaliknya, "persaingan politik Indo-Pasifik," yang muncul dari geopolitik, telah membuat perubahan yang strategis dan berefek sampai Afrika Timur, Samudera Hindia hingga Samudera Barat yang termasuk Pasifik. Wilayah ini memiliki daya tarik khusus dalam strategi geopolitik negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengaruh yang meningkat dari China.
Dari perspektif Indonesia, perbedaan antara kedua pandangan ini lebih dari sekadar masalah akademis. Ini mencerminkan dua visi tatanan regional yang berbeda: satu bersifat ekonomi dan integratif, yang lainnya bersifat strategis dan memiliki potensi memecah belah. Seperti pandangan lainnya yang terus menerus mengandung pro dan kontra terhadap perekembangan China dan Amerika.
Sebagai mitra ASEAN, Indonesia secara tradisional cenderung memilih pendekatan inklusif terhadap isu-isu regional, dengan fokus pada pengembangan operasional dan kerja sama. Kebijakan luar negeri Indonesia, yang berakar pada prinsip-prinsip non-blok dan otonomi strategis, lebih sejalan dengan "konsep Asia-Pasifik" yang bersifat inklusif dan berorientasi ekonomi.
Peran dan pendekatan China terhadap keterlibatan regional sangat menarik dalam konteks ini. Selama empat dekade terakhir, China telah mendominasi dengan pendekatan maju dan bangkit dengan damai, dan fokus pada pembangunan ekonomi. Pendekatan ini berbeda secara mencolok dengan ekspansi historis kekuatan kolonial Barat, yang ditandai dengan perkeemangan militer atau kekuatan militer Barat.
Pernyataan AS yang terus-menerus mengenai partisipasi Indo-Pasifik di bawah pemerintahan Trump tampaknya memunculkan kenangan akan serangkaian konflik maritim dan politik kekuasaan. Bagi Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat menjaga keseimbangan dan keamanan di kawasan yang semakin kompleks ini.
Penulis berpendapat kunjungan Xi Jinping dan implikasinya, terutama terkait investasi asing membawa dampak positif dan kunjungan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim perdagangan global yang lebih stabil, memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada ekspor ke luar.
Peran Indonesia di ASEAN dan posisinya di kawasan Asia-Pasifik menjadi sangat penting dalam dinamika geopolitik ini. Manuver negara-negara besar sering kali menantang prinsip sentralitas ASEAN dalam isu-isu regional. Keterlibatan konstruktif China-AS diharapkan dapat memperkuat peran ASEAN dan membantu menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan, hal ini memiliki dampak yang signifikan bagi Indonesia yang berusaha untuk menavigasi persaingan kepentingan negara-negara besar sambil mempertahankan otonomi strategisnya.
Perdebatan antara konsep "warga negara Asia-Pasifik" dan "Indo-Pasifik" memiliki relevansi khusus dalam konteks keamanan. Indonesia, dengan posisi maritimnya yang strategis, sangat terpengaruh oleh dinamika keamanan di kawasan ini, terutama terkait sengketa Laut Cina Selatan. Indonesia dan AS menggunakan terminologi ini untuk menyoroti penekanan strategis yang dapat memperburuk ketegangan regional.
Dengan potensi perubahan kebijakan AS di bawah pemerintahan Biden, yang mungkin ditandai dengan kunjungan Xi, Indonesia perlu berhati-hati dan menjaga keseimbangan hubungannya dengan negara-negara besar sambil menjaga kepentingan nasional dan kebebasan bergerak di kawasan Asia Pasifik. Pergeseran kebijakan AS ke arah sikap kurang agresif di wilayah ini mungkin akan menuntut Indonesia untuk menangani masalah yang lebih kompleks, mulai dari perdagangan dan investasi hingga keamanan maritim dan stabilitas regional.
Indonesia, seperti pemain regional lainnya, akan memantau perkembangan ini dengan cermat, berharap bahwa keterlibatan ini akan membawa dampak positif untuk kepentingan dalam negeri Indonesia. Namun demikian, Indonesia juga harus waspada terhadap dampak lebih luas dari hubungan China-AS terhadap lanskap ekonomi global, mengingat kedua negara tersebut memiliki pengaruh besar dalam perdagangan internasional, arus investasi, dan kerja sama ekonomi.
Fokus Indonesia di Kawasan "Asia-Pasifik" mungkin dapat meredakan ketegangan dan mendorong terbentuknya lingkungan keamanan yang lebih kooperatif dan kondusif. Yang tidak kalah pentingnya adalah melihat dampak domestik dari perkembangan internasional ini. Politik dalam negeri, kebijakan ekonomi, dan dinamika sosial Indonesia semakin terkait dengan tren global saat ini.
Hasil kunjungan Xi Jinping dan pengambilan keputusan kebijakan dalam negeri Asia, terutama terkait investasi infrastruktur, memiliki implikasi yang signifikan. Menghadapi pemilihan umum pada bulan Februari 2024, titik temu antara politik dan kebijakan menjadi semakin penting. Hasil pemilu akan berdampak pada lanskap politik dalam negeri dan dinamika hubungan China-AS.
Dengan lanskap geopolitik yang terus berkembang, presiden terpilih akan memiliki tugas besar ke depan. Tugasnya tidak hanya sebatas menyeimbangkan kepentingan nasional dengan komitmen internasional, tetapi juga memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi pemain penting dalam urusan regional sambil mengatasi berbagai tantangan dalam pembangunan dalam negeri yang krusial.
Tantangan ini mencakup perubahan tarif perdagangan, dinamika rantai pasokan, dan keterkaitan antara politik dalam negeri dengan berbagai aspek lain yang memengaruhi perjalanan Indonesia menuju stabilitas dan peningkatan interoperabilitas. Presiden terpilih harus dapat mengelola dengan bijaksana hubungan dengan China dan AS, mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian, keamanan, dan stabilitas regional.
Dalam konteks ini, kebijakan domestik seperti perubahan tarif perdagangan dan dinamika rantai pasokan perlu diintegrasikan secara hati-hati dengan tujuan pembangunan nasional. Pengambilan keputusan yang bijaksana akan membawa Indonesia tetap menjadi pemain aktif dan berpengaruh dalam geopolitik regional sambil menjaga stabilitas dan perkembangan pembanguna di segala bidang di dalam negeri.
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden
KUNJUNGAN Presiden China Xi Jinping ke Amerika Serikat, yang bersamaan dengan pertemuan pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di San Francisco, menjadi momen penting dalam diplomasi internasional, khususnya bagi Indonesia.
Pertemuan ini mencatat kunjungan pertama pemimpin China ke AS sejak 2017 dan terjadi di sela-sela ketegangan yang meningkat dan ketidakpercayaan antara China dan AS. Dalam enam setengah tahun terakhir, hubungan keduanya terperangkap dalam kebijakan antagonis, perang dagang, dan manuver geo-politik, terutama di bawah pemerintahan Trump.
Dinamika hubungan antara China dan AS, yang sebenarnya secara nyata saling ketergantungan ini telah menyebabkan persaingan yang kompleks. Juga telah menciptakan sejumlah tantangan yang berdampak pada stabilitas ekonomi global dan keamanan regional. Era yang penuh tantangan ini menciptakan ketidakpastian dalam hubungan bilateral, menimbulkan pertanyaan tentang masa depan kerjasama internasional, termasuk dampaknya terhadap Indonesia.
Pentingnya kunjungan ini terletak pada upaya memperbaiki hubungan dan dialog yang konstruktif antara dua negara adidaya ini. Dengan situasi geopolitik yang berubah-ubah, Indonesia sebagai negara dengan kedudukan strategis di kawasan Asia-Pasifik perlu memantau dengan cermat dinamika hubungan China -AS dan menyusun strategi yang bijaksana untuk menjaga kepentingan nasional dan regionalnya.
Kehadiran China dalam pertemuan APEC di San Francisco menjadi peluang untuk merapatkan hubungan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Indonesia, sebagai anggota APEC, dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan kedua negara dan memainkan peran aktif dalam mempromosikan dialog yang membangun di antara negara anggota APEC.
Dengan begitu, kunjungan Xi Jinping ke AS bukan hanya menjadi fokus atau isu utama bagi kedua negara tersebut, tetapi juga memiliki dampak signifikan bagi Indonesia. Pentingnya diplomasi dan keterlibatan aktif Indonesia dalam konteks ini menjadi kunci untuk memastikan stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik.
Indonesia, yang terletak paling strategis di Asia Tenggara, telah lama mengamati perkembangan hubungan dua negara adidaya ini. Indonesia memahami bahwa dinamika antara dua kekuatan global tersebut secara signifikan mempengaruhi peningkatan stabilitas regional dan kesejahteraan ekonomi.
Kunjungan Xi Jinping terjadi di tengah lanskap politik global yang intens dan kompleks. Konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung dan gejolak yang terus-menerus di Timur Tengah telah menguras sumber daya dan energi Amerika. Kondisi ini mendorong Washington untuk melakukan kalibrasi ulang pendekatan terhadap Beijing.
Salah satu indikasi terhadap perubahan ini adalah kunjungan pejabat China ke Amerika, yang menandakan kemungkinan pergeseran hubungan kedua negara yang secara nyata sedang terlibat perang dingin. Perkembangan ini disambut baik oleh Indonesia yang menghargai regionalitas dan pembangunan ekonomi.
Inti dari diskusi dan narasi yang lebih luas seputar kunjungan ini adalah dikotomi konseptual antara "Asia-Pasifik" dan "Indo-Pasifik". Istilah "Pasifik" sebagai entitas politik dan ilmu pengetahuan, menurut Acharya, memiliki akar pada perjalanan ekonomi. Ini mengacu pada wilayah di sekitar Samudera Pasifik, termasuk Asia Timur, Tenggara, Oseania, dan bagian dari Belt and Road Inisiatif.
Forum APEC, terutama BRD (Business Resilience and Development), sebagai andalan ekonomi global China juga mencerminkan definisi ini. Strategi pembangunan tersebut memberikan contoh fokus yang serius terhadap perkembangan ekonomi regional, dan perkembangan pasar negara berkembang.
Sebaliknya, "persaingan politik Indo-Pasifik," yang muncul dari geopolitik, telah membuat perubahan yang strategis dan berefek sampai Afrika Timur, Samudera Hindia hingga Samudera Barat yang termasuk Pasifik. Wilayah ini memiliki daya tarik khusus dalam strategi geopolitik negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengaruh yang meningkat dari China.
Dari perspektif Indonesia, perbedaan antara kedua pandangan ini lebih dari sekadar masalah akademis. Ini mencerminkan dua visi tatanan regional yang berbeda: satu bersifat ekonomi dan integratif, yang lainnya bersifat strategis dan memiliki potensi memecah belah. Seperti pandangan lainnya yang terus menerus mengandung pro dan kontra terhadap perekembangan China dan Amerika.
Sebagai mitra ASEAN, Indonesia secara tradisional cenderung memilih pendekatan inklusif terhadap isu-isu regional, dengan fokus pada pengembangan operasional dan kerja sama. Kebijakan luar negeri Indonesia, yang berakar pada prinsip-prinsip non-blok dan otonomi strategis, lebih sejalan dengan "konsep Asia-Pasifik" yang bersifat inklusif dan berorientasi ekonomi.
Peran dan pendekatan China terhadap keterlibatan regional sangat menarik dalam konteks ini. Selama empat dekade terakhir, China telah mendominasi dengan pendekatan maju dan bangkit dengan damai, dan fokus pada pembangunan ekonomi. Pendekatan ini berbeda secara mencolok dengan ekspansi historis kekuatan kolonial Barat, yang ditandai dengan perkeemangan militer atau kekuatan militer Barat.
Pernyataan AS yang terus-menerus mengenai partisipasi Indo-Pasifik di bawah pemerintahan Trump tampaknya memunculkan kenangan akan serangkaian konflik maritim dan politik kekuasaan. Bagi Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat menjaga keseimbangan dan keamanan di kawasan yang semakin kompleks ini.
Penulis berpendapat kunjungan Xi Jinping dan implikasinya, terutama terkait investasi asing membawa dampak positif dan kunjungan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim perdagangan global yang lebih stabil, memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada ekspor ke luar.
Peran Indonesia di ASEAN dan posisinya di kawasan Asia-Pasifik menjadi sangat penting dalam dinamika geopolitik ini. Manuver negara-negara besar sering kali menantang prinsip sentralitas ASEAN dalam isu-isu regional. Keterlibatan konstruktif China-AS diharapkan dapat memperkuat peran ASEAN dan membantu menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan, hal ini memiliki dampak yang signifikan bagi Indonesia yang berusaha untuk menavigasi persaingan kepentingan negara-negara besar sambil mempertahankan otonomi strategisnya.
Perdebatan antara konsep "warga negara Asia-Pasifik" dan "Indo-Pasifik" memiliki relevansi khusus dalam konteks keamanan. Indonesia, dengan posisi maritimnya yang strategis, sangat terpengaruh oleh dinamika keamanan di kawasan ini, terutama terkait sengketa Laut Cina Selatan. Indonesia dan AS menggunakan terminologi ini untuk menyoroti penekanan strategis yang dapat memperburuk ketegangan regional.
Dengan potensi perubahan kebijakan AS di bawah pemerintahan Biden, yang mungkin ditandai dengan kunjungan Xi, Indonesia perlu berhati-hati dan menjaga keseimbangan hubungannya dengan negara-negara besar sambil menjaga kepentingan nasional dan kebebasan bergerak di kawasan Asia Pasifik. Pergeseran kebijakan AS ke arah sikap kurang agresif di wilayah ini mungkin akan menuntut Indonesia untuk menangani masalah yang lebih kompleks, mulai dari perdagangan dan investasi hingga keamanan maritim dan stabilitas regional.
Indonesia, seperti pemain regional lainnya, akan memantau perkembangan ini dengan cermat, berharap bahwa keterlibatan ini akan membawa dampak positif untuk kepentingan dalam negeri Indonesia. Namun demikian, Indonesia juga harus waspada terhadap dampak lebih luas dari hubungan China-AS terhadap lanskap ekonomi global, mengingat kedua negara tersebut memiliki pengaruh besar dalam perdagangan internasional, arus investasi, dan kerja sama ekonomi.
Fokus Indonesia di Kawasan "Asia-Pasifik" mungkin dapat meredakan ketegangan dan mendorong terbentuknya lingkungan keamanan yang lebih kooperatif dan kondusif. Yang tidak kalah pentingnya adalah melihat dampak domestik dari perkembangan internasional ini. Politik dalam negeri, kebijakan ekonomi, dan dinamika sosial Indonesia semakin terkait dengan tren global saat ini.
Hasil kunjungan Xi Jinping dan pengambilan keputusan kebijakan dalam negeri Asia, terutama terkait investasi infrastruktur, memiliki implikasi yang signifikan. Menghadapi pemilihan umum pada bulan Februari 2024, titik temu antara politik dan kebijakan menjadi semakin penting. Hasil pemilu akan berdampak pada lanskap politik dalam negeri dan dinamika hubungan China-AS.
Dengan lanskap geopolitik yang terus berkembang, presiden terpilih akan memiliki tugas besar ke depan. Tugasnya tidak hanya sebatas menyeimbangkan kepentingan nasional dengan komitmen internasional, tetapi juga memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi pemain penting dalam urusan regional sambil mengatasi berbagai tantangan dalam pembangunan dalam negeri yang krusial.
Tantangan ini mencakup perubahan tarif perdagangan, dinamika rantai pasokan, dan keterkaitan antara politik dalam negeri dengan berbagai aspek lain yang memengaruhi perjalanan Indonesia menuju stabilitas dan peningkatan interoperabilitas. Presiden terpilih harus dapat mengelola dengan bijaksana hubungan dengan China dan AS, mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian, keamanan, dan stabilitas regional.
Dalam konteks ini, kebijakan domestik seperti perubahan tarif perdagangan dan dinamika rantai pasokan perlu diintegrasikan secara hati-hati dengan tujuan pembangunan nasional. Pengambilan keputusan yang bijaksana akan membawa Indonesia tetap menjadi pemain aktif dan berpengaruh dalam geopolitik regional sambil menjaga stabilitas dan perkembangan pembanguna di segala bidang di dalam negeri.
(poe)