Denny Indrayana Nilai Tak Ada Kegentingan dalam Pengesahan Perppu Ciptaker
Jum'at, 27 Oktober 2023 - 16:25 WIB
JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Denny Indrayana mengatakan, tidak ada kegentingan yang memaksa serta kebutuhan hukum yang mendesak. Hal ini terkait pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Pandangan ini disampaikan Denny dalam diskusi yang digelar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM berkolaborasi dengan Pusat Kajian Demokrasi, Konsitusi dan HAM (PANDEKHA) FH UGM bertajuk Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Menyoal Pengujian Undang-Undang Cipta Kerja 2.0, Jumat (27/10/2023).
"Jadi tidak ada kebutuhan hukum yang mendesak. Kalau kita bicara kegentingan yang memaksa tidak terdapat juga kekosongan hukum yang harus dijawab dengan perppu," ucap Denny.
Sebab menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020 masih membuka ruang untuk berlakunya secara bersyarat Undang-undang Ciptaker yang lama selama dua tahun.
"Duduk perkaranya sama sama kita paham bahwa ada putusan MK 91 Tahun 2020 yang memberikan konstitusional bersyarat terhadap Undang-undang Cipta Kerja. Kemudian diberi waktu 2 tahun tapi menjadi Perppu ini sebenarnya melanggar putusan 91 sendiri. Apalagi kemudian ada persoalan dengan pengesahannya," tuturnya.
Menurut Denny, hal itu pula yang menyebabkan Aswanto diberhentikan sebagai Hakim Konstitusi. "Sudah menjadi rahasia umum bahwa diberhentikannya secara inkonstitusional Hakim Aswanto dalam pandangan kami karena terkait dengan putusan 91 ini," ungkapnya.
Denny mengatakan, Perppu Cipta Kerja tersebut memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa untuk kemudian Perppu ini pun menegasikan Putusan MK Nomor 91 yang menguji formal dan memutuskan UU Ciptaker inkonstitutional bersyarat.
"Dari Presiden yang mengeluarkan perppu ini dan sama sama kita paham kenapa ini disoal karena menurut saya memang kegentingan yang memaksanya menjadi isu, kita sama sama paham bahwa yang dikedepankan sebenarnya adalah prediksi dari oleh perppu itu," jelasnya.
"Padahal kalau kita baca prediksi prediksi itu justru tidak kompak diantara kabinet sendiri misalnya ada pernyataan inlfasi desember terkendali. Intinya adalah di satu sisi dikatakan ada kegentingan yang memaksa terkait dengan ekonomi pada sisi yang lain ada pernyataan pernyataan yang sebenarnya mendegasikan kegentingan itu," tutupnya.
Denny menilai, seharusnya saat sebuah produk hukum dinyatakan tidak konstitusional pembuat undang-undang harus patuh dan melaksanakan putusan MK tersebut.
"Jadi kalau kita lihat tidak ada kegentingan yang memaksa, tidak ada kebutuhan hukum yang mendesak poin konsideran di dalam Undang-undang Ciptaker yang lama dan Perppu Ciptaker pada dasarnya sama percis," tandasnya.
Pandangan ini disampaikan Denny dalam diskusi yang digelar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM berkolaborasi dengan Pusat Kajian Demokrasi, Konsitusi dan HAM (PANDEKHA) FH UGM bertajuk Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Menyoal Pengujian Undang-Undang Cipta Kerja 2.0, Jumat (27/10/2023).
"Jadi tidak ada kebutuhan hukum yang mendesak. Kalau kita bicara kegentingan yang memaksa tidak terdapat juga kekosongan hukum yang harus dijawab dengan perppu," ucap Denny.
Sebab menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020 masih membuka ruang untuk berlakunya secara bersyarat Undang-undang Ciptaker yang lama selama dua tahun.
"Duduk perkaranya sama sama kita paham bahwa ada putusan MK 91 Tahun 2020 yang memberikan konstitusional bersyarat terhadap Undang-undang Cipta Kerja. Kemudian diberi waktu 2 tahun tapi menjadi Perppu ini sebenarnya melanggar putusan 91 sendiri. Apalagi kemudian ada persoalan dengan pengesahannya," tuturnya.
Menurut Denny, hal itu pula yang menyebabkan Aswanto diberhentikan sebagai Hakim Konstitusi. "Sudah menjadi rahasia umum bahwa diberhentikannya secara inkonstitusional Hakim Aswanto dalam pandangan kami karena terkait dengan putusan 91 ini," ungkapnya.
Denny mengatakan, Perppu Cipta Kerja tersebut memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa untuk kemudian Perppu ini pun menegasikan Putusan MK Nomor 91 yang menguji formal dan memutuskan UU Ciptaker inkonstitutional bersyarat.
"Dari Presiden yang mengeluarkan perppu ini dan sama sama kita paham kenapa ini disoal karena menurut saya memang kegentingan yang memaksanya menjadi isu, kita sama sama paham bahwa yang dikedepankan sebenarnya adalah prediksi dari oleh perppu itu," jelasnya.
"Padahal kalau kita baca prediksi prediksi itu justru tidak kompak diantara kabinet sendiri misalnya ada pernyataan inlfasi desember terkendali. Intinya adalah di satu sisi dikatakan ada kegentingan yang memaksa terkait dengan ekonomi pada sisi yang lain ada pernyataan pernyataan yang sebenarnya mendegasikan kegentingan itu," tutupnya.
Denny menilai, seharusnya saat sebuah produk hukum dinyatakan tidak konstitusional pembuat undang-undang harus patuh dan melaksanakan putusan MK tersebut.
"Jadi kalau kita lihat tidak ada kegentingan yang memaksa, tidak ada kebutuhan hukum yang mendesak poin konsideran di dalam Undang-undang Ciptaker yang lama dan Perppu Ciptaker pada dasarnya sama percis," tandasnya.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda