Resesi AS Ganggu Ekonomi Nasional
Rabu, 05 Agustus 2020 - 06:23 WIB
SEJAK awal bulan ini, tercatat sebanyak lima negara dari tiga benua kini telah jatuh dalam jurang resesi ekonomi, mulai dari Amerika Serikat (AS), Jerman, Singapura, Korea Selatan, hingga Hong Kong. Sejumlah negara lainnya tinggal menunggu waktu saja untuk mengumumkan secara resmi bahwa telah memasuki resesi ekonomi. Jatuhnya Negeri Paman Sam ke dalam jurang resesi ekonomi menimbulkan pertanyaan serius sejauh mana pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia? Pasalnya, AS salah satu mitra dagang utama Indonesia sebagai pasar tujuan utama ekspor atau disebut juga Negeri Donald Trump sebagai pasar ekspor tradisional selain China dan Jepang selama ini.
Sejumlah ekonom sepakat menyatakan bahwa resesi ekonomi yang melanda AS akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebut saja, Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira yang secara gamblang membeberkan bahwa imbas resesi ekonomi AS bakal menghambat perekonomian nasional. Dasar analisisnya adalah setiap 1% pertumbuhan ekonomi negara adidaya itu terkoreksi akan berpengaruh sekitar 0,02% hingga 0,05% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, akibat resesi ekonomi menurunkan kepercayaan investor untuk berinvestasi pada aset berisiko tinggi seperti saham. Sehubungan itu, besar kemungkinan terjadinya arus keluar modal asing dari pasar modal Indonesia. Lalu, pasar AS yang loyo karena resesi sulit mengakomodasi komoditas ekspor dari Indonesia.
Seperti diketahui bersama bahwa ekonomi AS mengalami kontraksi pada triwulan kedua 2020 sebesar 32,9%. Angka tersebut menunjukkan penurunan terburuk perekonomian AS sepanjang sejarah. Tercatat kontraksi tajam yang berkontribusi besar adalah konsumsi rumah tangga, sektor ekspor, produksi, dan investasi, serta belanja pemerintah lokal maupun negara bagian yang menekan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar dua pertiga dari kegiatan ekonomi negara berpenduduk terbesar ketiga di dunia itu mengalami kemerosotan sekitar 25%. Indeks harga konsumen, indikator inflasi anjlok sekitar 1,5%.
Resesi ekonomi yang melanda AS sebagai dampak dari pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) adalah yang pertama sejak 11 tahun terakhir ini dan telah mengakibatkan puluhan juta orang kehilangan pekerjaan. Puncaknya pada April lalu tercatat sebanyak 20 juta warga AS kehilangan pekerjaan di saat bisnis tutup dan sebagian besar warga harus berdiam di rumah. Dampaknya, klaim tunjangan pengangguran melonjak yang membuat pemerintah kewalahan untuk melayaninya. Sayangnya, pasar tenaga kerja yang mulai bergeliat lagi setelah aktivitas perekonomian dilonggarkan, namun warga AS kembali dihantui dampak dari resesi ekonomi.
Selain AS dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia yang kini masuk jurang resesi ekonomi karena dampak pandemi Covid-19, yang dikabarkan telah menelan korban jiwa sebanyak 662.095 berdasarkan publikasi data dari Word Helth Organization (WHO) per 30 Juli 2020, juga menyeret Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Jerman. Sejak 14 Juli lalu, negeri jiran Singapura sudah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi sekitar 41,2% pada kuartal kedua dan kontraksi sekitar 2,2% pada kuartal pertama 2020. Selanjutnya, Korea Selatan resmi memasuki resesi ekonomi yang dipublikasikan pada 23 Juli lalu. Salah satu kontribusi terbesar dalam perekonomian Negeri Ginseng itu adalah bidang ekspor hampir 40% menciut tinggal 16,6% atau terburuk sejak 1963. Lalu, ekonomi Hong Kong juga babak belur bukan hanya disebabkan pandemi Covid-19 juga dipicu maraknya demonstrasi antipemerintah dan perang dagang AS dengan China. Dan, Jerman dengan kontraksi ekonomi sekitar 10,1% pada kuartal kedua 2020.
Bagaimana dengan perekonomian Indonesia, bisakah selamat dari terjangan resesi ekonomi? Kuncinya terletak pada angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga. Karena itu, pemerintah berjibaku bagaimana merealisasikan penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional yang besarannya mencapai sebesar Rp695 triliun. Pemerintah meyakini apabila daya serap anggaran PEN bisa dimaksimalkan maka akan berkontribusi sekitar 1,4% terhadap pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini. Artinya, dua triwulan ke depan diharapkan pertumbuhan ekonomi tidak negatif sehingga Indonesia bisa bebas dari hantu resesi ekonomi. Sayangnya, dari publikasi pemerintah, anggaran PEN yang terserap masih di bawah 30% hingga awal triwulan ketiga.
Jadi, untuk menghindari resesi ekonomi yang sudah di depan mata maka pemerintah harus bekerja ekstrakeras dengan jalan menggenjot belanja negara untuk menggerakkan roda perekonomian. Tak sedikit masyarakat awam bertanya apa yang akan terjadi bila Indonesia masuk jurang resesi ekonomi? Penjelasan sederhananya adalah bila terjadi resesi ekonomi menyebabkan aktivitas perekonomian melambat yang menghadirkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ujung-ujungnya melahirkan pengangguran lalu menambah angka kemiskinan.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
Sejumlah ekonom sepakat menyatakan bahwa resesi ekonomi yang melanda AS akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebut saja, Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira yang secara gamblang membeberkan bahwa imbas resesi ekonomi AS bakal menghambat perekonomian nasional. Dasar analisisnya adalah setiap 1% pertumbuhan ekonomi negara adidaya itu terkoreksi akan berpengaruh sekitar 0,02% hingga 0,05% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, akibat resesi ekonomi menurunkan kepercayaan investor untuk berinvestasi pada aset berisiko tinggi seperti saham. Sehubungan itu, besar kemungkinan terjadinya arus keluar modal asing dari pasar modal Indonesia. Lalu, pasar AS yang loyo karena resesi sulit mengakomodasi komoditas ekspor dari Indonesia.
Seperti diketahui bersama bahwa ekonomi AS mengalami kontraksi pada triwulan kedua 2020 sebesar 32,9%. Angka tersebut menunjukkan penurunan terburuk perekonomian AS sepanjang sejarah. Tercatat kontraksi tajam yang berkontribusi besar adalah konsumsi rumah tangga, sektor ekspor, produksi, dan investasi, serta belanja pemerintah lokal maupun negara bagian yang menekan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar dua pertiga dari kegiatan ekonomi negara berpenduduk terbesar ketiga di dunia itu mengalami kemerosotan sekitar 25%. Indeks harga konsumen, indikator inflasi anjlok sekitar 1,5%.
Resesi ekonomi yang melanda AS sebagai dampak dari pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) adalah yang pertama sejak 11 tahun terakhir ini dan telah mengakibatkan puluhan juta orang kehilangan pekerjaan. Puncaknya pada April lalu tercatat sebanyak 20 juta warga AS kehilangan pekerjaan di saat bisnis tutup dan sebagian besar warga harus berdiam di rumah. Dampaknya, klaim tunjangan pengangguran melonjak yang membuat pemerintah kewalahan untuk melayaninya. Sayangnya, pasar tenaga kerja yang mulai bergeliat lagi setelah aktivitas perekonomian dilonggarkan, namun warga AS kembali dihantui dampak dari resesi ekonomi.
Selain AS dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia yang kini masuk jurang resesi ekonomi karena dampak pandemi Covid-19, yang dikabarkan telah menelan korban jiwa sebanyak 662.095 berdasarkan publikasi data dari Word Helth Organization (WHO) per 30 Juli 2020, juga menyeret Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Jerman. Sejak 14 Juli lalu, negeri jiran Singapura sudah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi sekitar 41,2% pada kuartal kedua dan kontraksi sekitar 2,2% pada kuartal pertama 2020. Selanjutnya, Korea Selatan resmi memasuki resesi ekonomi yang dipublikasikan pada 23 Juli lalu. Salah satu kontribusi terbesar dalam perekonomian Negeri Ginseng itu adalah bidang ekspor hampir 40% menciut tinggal 16,6% atau terburuk sejak 1963. Lalu, ekonomi Hong Kong juga babak belur bukan hanya disebabkan pandemi Covid-19 juga dipicu maraknya demonstrasi antipemerintah dan perang dagang AS dengan China. Dan, Jerman dengan kontraksi ekonomi sekitar 10,1% pada kuartal kedua 2020.
Bagaimana dengan perekonomian Indonesia, bisakah selamat dari terjangan resesi ekonomi? Kuncinya terletak pada angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga. Karena itu, pemerintah berjibaku bagaimana merealisasikan penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional yang besarannya mencapai sebesar Rp695 triliun. Pemerintah meyakini apabila daya serap anggaran PEN bisa dimaksimalkan maka akan berkontribusi sekitar 1,4% terhadap pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini. Artinya, dua triwulan ke depan diharapkan pertumbuhan ekonomi tidak negatif sehingga Indonesia bisa bebas dari hantu resesi ekonomi. Sayangnya, dari publikasi pemerintah, anggaran PEN yang terserap masih di bawah 30% hingga awal triwulan ketiga.
Jadi, untuk menghindari resesi ekonomi yang sudah di depan mata maka pemerintah harus bekerja ekstrakeras dengan jalan menggenjot belanja negara untuk menggerakkan roda perekonomian. Tak sedikit masyarakat awam bertanya apa yang akan terjadi bila Indonesia masuk jurang resesi ekonomi? Penjelasan sederhananya adalah bila terjadi resesi ekonomi menyebabkan aktivitas perekonomian melambat yang menghadirkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ujung-ujungnya melahirkan pengangguran lalu menambah angka kemiskinan.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
(ras)
tulis komentar anda