Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi
Senin, 18 September 2023 - 13:12 WIB
Di akhir novel, digambarkan tampak terjadi keheboan di ujung jalan. Rumah Sigap dibongkar dengan menggunakan buldozer. Suara raungan kendaraan berat dan keramaian di sekitarnya, membuat Sila ketakutan. Dia terduduk di sudut kamar, menangis tidak berhenti. Rumah Sigap dibumihanguskan. Bukan karena tanpa izin, bukan karena ada yang ilegal. Tetapi itu memang kehendak pemiliknya, kata perwakilan PT Suka Mulya Abadi. Mereka hadir dengan membawa surat resmi. Sila tidak percaya semuanya seketika menjadi kosong tanpa arti. Ketika dia menanyakan di mana Mr. Sigap berada, mereka hanya menjawab tidak tahu, juga tidak pernah bertemu. Mereka hanya menerima surat perintah berdasarkan surat kuasa dari pemilik melalui pengacara dan notarisnya.
Sila tidak mau ada kenangan buruk dalam hidupnya. Semua kepedihan dibiarkannya beriringan dengan keseharian, dan lautan pun menjadi satu kesatuan yang harus dilaluinya. Tidak ada lagi ketergantungan kepada Sigap atau siapa pun.
Sila tidak mau sakit hati. Dia merasa tubuhnya tidak sehat, namun dia tidak boleh sakit. Sila merasa dicampakkan, tapi dia tahu batas toleransinya. Dia sudah berada di titik jengah untuk semua yang terjadi. Kesabaran membuatnya bertahan karena dia yakin suatu waktu semua akan berakhir, dan dia akan mati. Dan kremasi adalah pilihannya. Harga mati!
Semua memo, keinginannya untuk dikremasi, diselipkan Sila di mana saja. Ditempel pada cermin di kamar, di kamar mandi, di dapur, juga dalam kertas yang dibekukan bersama es batu di dalam kulkas. Isinya akan mengingatkan kepada setiap orang yang menemukan jasadnya, agar mengkremasi saja, membakar tubuhnya, dan melarungkan abunya ke tengah lautan. Surat legal berisi wasiatnya mengenai kremasi, pemberian organ tubuh, juga sudah dibuat dan dititipkan di kantornya. Wasiat untuk segala aset dan kepemilikan harta bendanya, dipercayakan kepada yayasan yatim piatu dan beberapa rumah jompo, workshop anak jalanan, rumah sakit kecil, dan banyak lagi, yang semuanya harus dikelola di bawah payung perusahannya.
Sila merasa telah dikhianati oleh semua yang telah dia percayai. Sila merasa telah tersakiti oleh permainan dunia ini! Mungkin, ini saja yang akan tersisa sebagai luka pada dirinya, hingga dia kelak mati sendiri.
Sekian tahun dan sekian waktu berlalu. Terlipat sebuah surat wasiat dari Wijaya Munar, ayah Sila, yang wafat beberapa tahun lalu. Ia meninggalkan warisan dan membagikan seluruh asetnya, kepada ketiga anaknya: Sukat, Sulis, dan Sila. Di antaranya, Sila mendapatkan tambahan sebidang tanah di kota kecil, yang berada di ujung jalan, di dekat rumahnya. Menurut wasiat itu, Wijaya Kumar mewarisi lahan itu dari mendiang Ayahnya, yang ternyata bernama Sigap Walam!
Apakah sebagian dari isi novel ini merupakan solilokui Rayni sendiri? Siapa tahu. Atau tidak terlalu penting. Yang jelas, melalui novel ini, Rayni sudah menunjukkan kemampuannya menulis novel yang dapat memancing “percakapan filosofis” tentang hakekat dunia, hakekat hidup, dan hakekat manusia dengan segala persoalannya.
.
Sila tidak mau ada kenangan buruk dalam hidupnya. Semua kepedihan dibiarkannya beriringan dengan keseharian, dan lautan pun menjadi satu kesatuan yang harus dilaluinya. Tidak ada lagi ketergantungan kepada Sigap atau siapa pun.
Sila tidak mau sakit hati. Dia merasa tubuhnya tidak sehat, namun dia tidak boleh sakit. Sila merasa dicampakkan, tapi dia tahu batas toleransinya. Dia sudah berada di titik jengah untuk semua yang terjadi. Kesabaran membuatnya bertahan karena dia yakin suatu waktu semua akan berakhir, dan dia akan mati. Dan kremasi adalah pilihannya. Harga mati!
Semua memo, keinginannya untuk dikremasi, diselipkan Sila di mana saja. Ditempel pada cermin di kamar, di kamar mandi, di dapur, juga dalam kertas yang dibekukan bersama es batu di dalam kulkas. Isinya akan mengingatkan kepada setiap orang yang menemukan jasadnya, agar mengkremasi saja, membakar tubuhnya, dan melarungkan abunya ke tengah lautan. Surat legal berisi wasiatnya mengenai kremasi, pemberian organ tubuh, juga sudah dibuat dan dititipkan di kantornya. Wasiat untuk segala aset dan kepemilikan harta bendanya, dipercayakan kepada yayasan yatim piatu dan beberapa rumah jompo, workshop anak jalanan, rumah sakit kecil, dan banyak lagi, yang semuanya harus dikelola di bawah payung perusahannya.
Sila merasa telah dikhianati oleh semua yang telah dia percayai. Sila merasa telah tersakiti oleh permainan dunia ini! Mungkin, ini saja yang akan tersisa sebagai luka pada dirinya, hingga dia kelak mati sendiri.
Sekian tahun dan sekian waktu berlalu. Terlipat sebuah surat wasiat dari Wijaya Munar, ayah Sila, yang wafat beberapa tahun lalu. Ia meninggalkan warisan dan membagikan seluruh asetnya, kepada ketiga anaknya: Sukat, Sulis, dan Sila. Di antaranya, Sila mendapatkan tambahan sebidang tanah di kota kecil, yang berada di ujung jalan, di dekat rumahnya. Menurut wasiat itu, Wijaya Kumar mewarisi lahan itu dari mendiang Ayahnya, yang ternyata bernama Sigap Walam!
Apakah sebagian dari isi novel ini merupakan solilokui Rayni sendiri? Siapa tahu. Atau tidak terlalu penting. Yang jelas, melalui novel ini, Rayni sudah menunjukkan kemampuannya menulis novel yang dapat memancing “percakapan filosofis” tentang hakekat dunia, hakekat hidup, dan hakekat manusia dengan segala persoalannya.
.
(wur)
tulis komentar anda