Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi
Senin, 18 September 2023 - 13:12 WIB
Singkatnya, Sila akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan, kebiasaan, dan rutinitasnya. Sila meninggalkan kota besar. Semua itu adalah pemberontakan tanpa piala, hanya penyesuaian hati, waktu, dan tarikan napas. Nyaris semua diulang kembali dari zero, di suatu tempat yang baru dan sepi. Semua itu dilakukannya karena dia merasa telah dikhianati.
Sila sebenarnya tidak putus asa. Hanya amarah dan rasa sedih tak terkira, yang menjadi sebuah titik jenuh. Disertai sedikit rasa ketidakberdayaaan yang menghampirnya. Itu juga yang membuatnya mengambil keputusan untuk kabur dari kerumunan manusia yang sudah tidak ingin dipahaminya lagi.
Di tempat baru, setelah selesai dengan pekerjaaannya yang diurus dari jauh, dia lebih sering duduk di pantai. Di sana dia berdiam diri sambil mendengarkan musik dan memandang laut. Berdialog dengan angin, bercumbu dengan pasir, tersenyum-senyum pada matahari. Semua sangat menyenangkan untuknya. Dia tidak suka ada orang lain di sekitarnya. Manusia lain terlalu berisik, menyita waktu, membuatnya harus bicara mencari tema untuk ngobrol, harus basa-basi, mendengarkan kisah orang lain yang bukan urusannya, manggut-manggut, mendengarkan kesuksesan teman ngobrolnya, menyimak kisah sedih dan berita gembira dari teman. Semua itu membuatnya merasa tidak bebas. Hidupnya sekarang adalah hidupnya saja. Menyimak laut yang airnya bergelombang semaunya serta berbuih-buih, dan menyusuri tepian pantai, adalah hal yang indah. Pelbagai imajinasi, mulai dari kepedihan, sampai ketakutan dan kebahagiaan, semua ada di sana.
Di tempat baru Sila bertemu dengan Ruben Purnama, seorang duda muda. Setelah bercerai dengan istrinya yang warga negara Australia, Ruben memilih tinggal di kota kecil itu dan membuka usaha toko makanan sehat.
Selain Ruben, Sila juga kerap melihat bayangan seorang pria di sekitar rumahnya. Sesekali bayangan itu seperti memanggilnya. Hingga suatu kali sosok itu tampak begitu jelas: seorang lelaki yang duduk di kursi rumahnya. Namanya Sigap Walam. Sosok ini juga membuat novel Rayni jadi agak-agak surrealis.
Sigap Walam ini selalu hadir dalam kehidupan Sila. Bahkan makin lama Sigap makin penting dalam hidupnya. Aneka peristiwa terjadi atau dilalui antara Sila dan Sigap Walam. Suatu hubungan yang cukup misterius. Namun, pada suatu waktu, Sigap menghilang begitu saja. Sila dengan bantuan Ruben mencari Sigap, tapi tidak ketemu..
Dalam menampilkan karakter tokoh utamanya, Rayni menggunakan metode langsung (telling). Metode ini mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Ini berbeda jika pengarang menggunakan metode tidak langsung (showing). Dalam metode showing, pengarang menempatkan diri di luar kisah dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk memampilkan perwatakan mereka sendiri melalui dialog dan tindakan (action). Meskipun, belakangan banyak juga pengarang yang menggunakan kedua metode itu sekaligus dalam karyanya.
Sedangkan mengenai isinya, di beberapa bagian, saya cukup terkejut dengan penggambaran Rayni tentang tokoh Sila. Apa yang dirasakan, dikatakan, dan dilakukan Sila, memunculkan kelebatan pandangan beberapa filosof sekaligus di kepala saya.
Sila yang digambarkan hidup sendiri dan memandang dunia dan masyarakat sebagai kumpulan “orang sakit” itu agak mirip dengan kehidupan Arthur Schopenhauer. Bagi Schopenhauer, bergaul dengan banyak orang adalah “memuakkan” dan “membuang waktu”. Ia mengejek masyarakat sebagai “para karikatur”, “rumah sakit penuh orang tolol”, dan “pertunjukan para penipu”. Dia memandang hidup ini adalah tragis, berbahaya, dan mengerikan.
Menurut Schopenhauer, realitas kita ini sakit, tidak beres, dan jahat. Di dunia manusia ini terdapat egoisme, kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, dendam, ketidakpercayaan, dan pembunuhan. Yang tidak baik dalam dunia ini jauh lebih besar jumlahnya daripada yang baik.
Sila sebenarnya tidak putus asa. Hanya amarah dan rasa sedih tak terkira, yang menjadi sebuah titik jenuh. Disertai sedikit rasa ketidakberdayaaan yang menghampirnya. Itu juga yang membuatnya mengambil keputusan untuk kabur dari kerumunan manusia yang sudah tidak ingin dipahaminya lagi.
Di tempat baru, setelah selesai dengan pekerjaaannya yang diurus dari jauh, dia lebih sering duduk di pantai. Di sana dia berdiam diri sambil mendengarkan musik dan memandang laut. Berdialog dengan angin, bercumbu dengan pasir, tersenyum-senyum pada matahari. Semua sangat menyenangkan untuknya. Dia tidak suka ada orang lain di sekitarnya. Manusia lain terlalu berisik, menyita waktu, membuatnya harus bicara mencari tema untuk ngobrol, harus basa-basi, mendengarkan kisah orang lain yang bukan urusannya, manggut-manggut, mendengarkan kesuksesan teman ngobrolnya, menyimak kisah sedih dan berita gembira dari teman. Semua itu membuatnya merasa tidak bebas. Hidupnya sekarang adalah hidupnya saja. Menyimak laut yang airnya bergelombang semaunya serta berbuih-buih, dan menyusuri tepian pantai, adalah hal yang indah. Pelbagai imajinasi, mulai dari kepedihan, sampai ketakutan dan kebahagiaan, semua ada di sana.
Di tempat baru Sila bertemu dengan Ruben Purnama, seorang duda muda. Setelah bercerai dengan istrinya yang warga negara Australia, Ruben memilih tinggal di kota kecil itu dan membuka usaha toko makanan sehat.
Selain Ruben, Sila juga kerap melihat bayangan seorang pria di sekitar rumahnya. Sesekali bayangan itu seperti memanggilnya. Hingga suatu kali sosok itu tampak begitu jelas: seorang lelaki yang duduk di kursi rumahnya. Namanya Sigap Walam. Sosok ini juga membuat novel Rayni jadi agak-agak surrealis.
Sigap Walam ini selalu hadir dalam kehidupan Sila. Bahkan makin lama Sigap makin penting dalam hidupnya. Aneka peristiwa terjadi atau dilalui antara Sila dan Sigap Walam. Suatu hubungan yang cukup misterius. Namun, pada suatu waktu, Sigap menghilang begitu saja. Sila dengan bantuan Ruben mencari Sigap, tapi tidak ketemu..
Dalam menampilkan karakter tokoh utamanya, Rayni menggunakan metode langsung (telling). Metode ini mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Ini berbeda jika pengarang menggunakan metode tidak langsung (showing). Dalam metode showing, pengarang menempatkan diri di luar kisah dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk memampilkan perwatakan mereka sendiri melalui dialog dan tindakan (action). Meskipun, belakangan banyak juga pengarang yang menggunakan kedua metode itu sekaligus dalam karyanya.
Sedangkan mengenai isinya, di beberapa bagian, saya cukup terkejut dengan penggambaran Rayni tentang tokoh Sila. Apa yang dirasakan, dikatakan, dan dilakukan Sila, memunculkan kelebatan pandangan beberapa filosof sekaligus di kepala saya.
Sila yang digambarkan hidup sendiri dan memandang dunia dan masyarakat sebagai kumpulan “orang sakit” itu agak mirip dengan kehidupan Arthur Schopenhauer. Bagi Schopenhauer, bergaul dengan banyak orang adalah “memuakkan” dan “membuang waktu”. Ia mengejek masyarakat sebagai “para karikatur”, “rumah sakit penuh orang tolol”, dan “pertunjukan para penipu”. Dia memandang hidup ini adalah tragis, berbahaya, dan mengerikan.
Menurut Schopenhauer, realitas kita ini sakit, tidak beres, dan jahat. Di dunia manusia ini terdapat egoisme, kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, dendam, ketidakpercayaan, dan pembunuhan. Yang tidak baik dalam dunia ini jauh lebih besar jumlahnya daripada yang baik.
tulis komentar anda