Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi
Senin, 18 September 2023 - 13:12 WIB
Pandangan Schopenhauer ini bahkan menginspirasi Friedrich Wilhelm Nietzche pada periode awal. Namun, pada keduanya terdapat perbedaan yang penting. Sementara Schopenhauer cenderung menolak kehidupan atau melarikan diri darinya, sikap Nietzche sebaliknya. Dia dengan tegas menerima kehidupan ini dengan mengatakan “ya” (Ja-Sagen) terhadap kehidupan ini.
Masih menurut Schopenhauer, hakekat dunia ini bukanlah sesuatu yang rasional (akal budi, logos, Ide, Roh absolut, atau Subjek transendental), melainkan sesuatu yang bersifat tidak rasional. Ia menamakan unsur tidak rasioal ini sebagai “Kehendak untuk hidup” (der Wille zum Laben). Dunia ini dikuasai oleh Kehendak. Dunia ini dipandang oleh Schopenhauer sebagai Kehendak dan Gagasan. Rasio dan pengetahuan hanyalah pelayanan kepada Kehendak itu.
Lalu, tindakan dan keputusan-keputusan manusia pertama-tama tidak berasal dari kesadarannya, tetapi muncul atas dorongan kehendak yang tidak rasional. Adapun kesadaran kita cuma sebagian kecil dari hakekat manusia. Ia hanyalah "permukaan" dari sebuah "lautan" yang dalam. Keputusan-keputusan kita muncul dari dalam lautan itu. Pendeknya, dunia batin serta akal budi kita dikuasai oleh kehendak yang buta ini. Hidup manusia, menurutnya, selalu berarti mengalami penderitaan, meskipun hal itu bisa diatasi melalui kesenian atau secara radikal memadamkan segala hawa nafsu dan melepaskan diri dari segala keinginan.
Dorongan kehendak untuk hidup ini sangat kuat, sehingga ia akan menerjang apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Itu sebabnya kehendak dapat membawa pada kesengsaraan bagi diri sendiri karena keinginannya tidak bisa dipenuhi. Di alam bebas, kehendak itu menampakkan diri dalam berbagai wujud makhluk hidup yang hanya survive dengan menyantap makhluk lainnya. Dalam dunia binatang, setiap hewan menjadi mangsa bagi hewan yang lain. Dan dalam dunia manusia, setiap manusia adalah serigala bagi sesamanya. Maka manusia menjadi sengsara. Dalam hidupnya, manusia didorong oleh pengharapan sambil berusaha meraih kematiannya. Hidup manusia adalah komedi dan tragedi dalam satu kesatuan, suatu lembah penuh keluhan yang tidak bernilai. Arthur Schopenhauer ini memang dikenal sebagai filosof yang murung dan pesimistis.
Pandangan bahwa “manusia serigala bagi yang lain” (homo homini lupus) ini juga ada pada Thomas Hobbes tentang manusia primitif. Menurut Hobbes, manusia sejak zaman purbakala dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dalam keadaan asli yang belum terdapat norma-norma hidup bersama, orang-orang primitif itu mempunyai hak atas semuanya. Akibatnya adalah timbulnya perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) guna merebut apa yang dianggap haknya. Situasi primitif itu ditandai kecurigaan dan keangkuhan hati individu-individu yang saling menyerang. Jadi, manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).
Baru pada tahap berikutnya, orang-orang primitif itu mulai menyadari pentingnya menciptakan suatu aturan hidup bersama. Sebab dalam keadaan saling mengancam itu manusia malahan tidak bisa mempertahankan kebesarannya, tidak bisa hidup dalam damai. Untuk itu, semua orang harus menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya itu. Hal ini, katanya, sesuai dengan “petunjuk” hukum alam. Beberapa petunjuk itu, misalnya, “carilah damai”; “berlakulah terhadap orang lain sebagainana kau ingin orang lain berlaku terhadap dirimu”; dan seterusnya.
Maka dibuatlah suatu kontrak atau persetujuan bersama untuk membentuk suatu tatanan hidup bersama yang teratur. Persetujuan sosial yang asli atau kontrak asli inilah cikal-bakal adanya negara. Dan negara itu harus kuat. Negara harus berdiri dengan kedaulatan penuh dengan segala wewenang dan hak mutlaknya. Negara yang kuat itu bisa diibaratkan sebagai “Sang Leviathan”, monster laut raksasa yang menakutkan, yang ada dalam mitologi bangsa Timur Tengah.
Pandangan “muram” tentang dunia dan manusia itu, berbeda dengan pandangan Gottfried Wilhelm von Leibniz. Menurut Leibniz, dunia kita adalah yang terbaik di antara semua dunia yang mungkin. Leibniz memang pemikir yang relijius, beriman, dan percaya pada kebaikan Tuhan. Katanya, Tuhan telah menciptakan dunia yang paling baik bagi kita. Dunia yang kita tempati ini sudah merupakan hasil maksimal. Dan manusia adalah makhluk yang memiliki tingkat kesadaran sangat tinggi --dibanding tumbuhan dan hewan. Lalu, mengapa ada kejahatan dan penderitaan di dunia ini? Jawab Lebiniz, karena ciptaan tidak sesempurna Penciptanya. Manusia diberi kehendak bebas, tetapi dalam kehendak bebas ini manusia memilih yang jahat, maka dia menkjadi korban dari yang jahat. Meski demikian, dunia ini tetap berada dalam kekuasaan dan kebaikan Tuhan.
Lain lagi dengan pendapat Jean-Jacques Rousseau. Katanya, manusia dalam keadaan alamiahnya (etat naturel) adalah ciptaan yang otonom, polos, bahagia, tidak egois, tetapi juga tidak altruis. Dengan bahasa lain, manusia alamiah tidak baik dan tidak buruk. Ia hidup dengan polos dan menyintai diri secara spontan. Ia bebas dari segala wewenang orang lain dan karena itu secara hakiki sama kedudukannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan penghalusan kesenian yang dibanggakan di Prancis saat itu tidak memajukan, melainkan membusukkan akhlak manusia.
Kepolosan manusia itu rusak ketika masuk ke dalam kesatuan masyarakat. Karena di dalam masyarakat mulai ada ketidaksamaan, dan kaetidaksamaan itu menimbulkan segala kemerosotan dan egoisme. Namun Rousseau menyadari bahwa manusis tak mungkin kembali ke keadaan alamiah. Perkembangan manusia tidak terelakkan. Untuk mengatasi keadaan ini, Rousseau melahirkan konsep filsafat negara dalam Contract Social. Di situ dijelaskan olehnya bagaimana negara seharusnya berlaku agar manusia di dalamnya tetap memiliki kebebasan.
Masih menurut Schopenhauer, hakekat dunia ini bukanlah sesuatu yang rasional (akal budi, logos, Ide, Roh absolut, atau Subjek transendental), melainkan sesuatu yang bersifat tidak rasional. Ia menamakan unsur tidak rasioal ini sebagai “Kehendak untuk hidup” (der Wille zum Laben). Dunia ini dikuasai oleh Kehendak. Dunia ini dipandang oleh Schopenhauer sebagai Kehendak dan Gagasan. Rasio dan pengetahuan hanyalah pelayanan kepada Kehendak itu.
Lalu, tindakan dan keputusan-keputusan manusia pertama-tama tidak berasal dari kesadarannya, tetapi muncul atas dorongan kehendak yang tidak rasional. Adapun kesadaran kita cuma sebagian kecil dari hakekat manusia. Ia hanyalah "permukaan" dari sebuah "lautan" yang dalam. Keputusan-keputusan kita muncul dari dalam lautan itu. Pendeknya, dunia batin serta akal budi kita dikuasai oleh kehendak yang buta ini. Hidup manusia, menurutnya, selalu berarti mengalami penderitaan, meskipun hal itu bisa diatasi melalui kesenian atau secara radikal memadamkan segala hawa nafsu dan melepaskan diri dari segala keinginan.
Dorongan kehendak untuk hidup ini sangat kuat, sehingga ia akan menerjang apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Itu sebabnya kehendak dapat membawa pada kesengsaraan bagi diri sendiri karena keinginannya tidak bisa dipenuhi. Di alam bebas, kehendak itu menampakkan diri dalam berbagai wujud makhluk hidup yang hanya survive dengan menyantap makhluk lainnya. Dalam dunia binatang, setiap hewan menjadi mangsa bagi hewan yang lain. Dan dalam dunia manusia, setiap manusia adalah serigala bagi sesamanya. Maka manusia menjadi sengsara. Dalam hidupnya, manusia didorong oleh pengharapan sambil berusaha meraih kematiannya. Hidup manusia adalah komedi dan tragedi dalam satu kesatuan, suatu lembah penuh keluhan yang tidak bernilai. Arthur Schopenhauer ini memang dikenal sebagai filosof yang murung dan pesimistis.
Pandangan bahwa “manusia serigala bagi yang lain” (homo homini lupus) ini juga ada pada Thomas Hobbes tentang manusia primitif. Menurut Hobbes, manusia sejak zaman purbakala dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dalam keadaan asli yang belum terdapat norma-norma hidup bersama, orang-orang primitif itu mempunyai hak atas semuanya. Akibatnya adalah timbulnya perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) guna merebut apa yang dianggap haknya. Situasi primitif itu ditandai kecurigaan dan keangkuhan hati individu-individu yang saling menyerang. Jadi, manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).
Baru pada tahap berikutnya, orang-orang primitif itu mulai menyadari pentingnya menciptakan suatu aturan hidup bersama. Sebab dalam keadaan saling mengancam itu manusia malahan tidak bisa mempertahankan kebesarannya, tidak bisa hidup dalam damai. Untuk itu, semua orang harus menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya itu. Hal ini, katanya, sesuai dengan “petunjuk” hukum alam. Beberapa petunjuk itu, misalnya, “carilah damai”; “berlakulah terhadap orang lain sebagainana kau ingin orang lain berlaku terhadap dirimu”; dan seterusnya.
Maka dibuatlah suatu kontrak atau persetujuan bersama untuk membentuk suatu tatanan hidup bersama yang teratur. Persetujuan sosial yang asli atau kontrak asli inilah cikal-bakal adanya negara. Dan negara itu harus kuat. Negara harus berdiri dengan kedaulatan penuh dengan segala wewenang dan hak mutlaknya. Negara yang kuat itu bisa diibaratkan sebagai “Sang Leviathan”, monster laut raksasa yang menakutkan, yang ada dalam mitologi bangsa Timur Tengah.
Pandangan “muram” tentang dunia dan manusia itu, berbeda dengan pandangan Gottfried Wilhelm von Leibniz. Menurut Leibniz, dunia kita adalah yang terbaik di antara semua dunia yang mungkin. Leibniz memang pemikir yang relijius, beriman, dan percaya pada kebaikan Tuhan. Katanya, Tuhan telah menciptakan dunia yang paling baik bagi kita. Dunia yang kita tempati ini sudah merupakan hasil maksimal. Dan manusia adalah makhluk yang memiliki tingkat kesadaran sangat tinggi --dibanding tumbuhan dan hewan. Lalu, mengapa ada kejahatan dan penderitaan di dunia ini? Jawab Lebiniz, karena ciptaan tidak sesempurna Penciptanya. Manusia diberi kehendak bebas, tetapi dalam kehendak bebas ini manusia memilih yang jahat, maka dia menkjadi korban dari yang jahat. Meski demikian, dunia ini tetap berada dalam kekuasaan dan kebaikan Tuhan.
Lain lagi dengan pendapat Jean-Jacques Rousseau. Katanya, manusia dalam keadaan alamiahnya (etat naturel) adalah ciptaan yang otonom, polos, bahagia, tidak egois, tetapi juga tidak altruis. Dengan bahasa lain, manusia alamiah tidak baik dan tidak buruk. Ia hidup dengan polos dan menyintai diri secara spontan. Ia bebas dari segala wewenang orang lain dan karena itu secara hakiki sama kedudukannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan penghalusan kesenian yang dibanggakan di Prancis saat itu tidak memajukan, melainkan membusukkan akhlak manusia.
Kepolosan manusia itu rusak ketika masuk ke dalam kesatuan masyarakat. Karena di dalam masyarakat mulai ada ketidaksamaan, dan kaetidaksamaan itu menimbulkan segala kemerosotan dan egoisme. Namun Rousseau menyadari bahwa manusis tak mungkin kembali ke keadaan alamiah. Perkembangan manusia tidak terelakkan. Untuk mengatasi keadaan ini, Rousseau melahirkan konsep filsafat negara dalam Contract Social. Di situ dijelaskan olehnya bagaimana negara seharusnya berlaku agar manusia di dalamnya tetap memiliki kebebasan.
tulis komentar anda