Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Senin, 07 Agustus 2023 - 05:15 WIB
Demi meraih tujuan tersebut, termasuk sebagai solusi pendanaan, Turki membuka ruang lebar untuk investasi. Salah satu pilihan strategisnya adalah merangkul Qatar, negara kecil kaya yang memiliki ikatan kuat dan tidak menimbulkan ancaman bagi Ankara, termasuk mengganggu target kemandirian. Kemitraan keduanya terukir pada Desember 2018, saat Erdogan menandatangani Dekrit 481, yang membuka jalan privatisasi pabrik tank dan palet digarap perusahaan gabubungan Turki-Qatar, yakni BMC, selama 25 tahun ke depan.
Terbuka Lebar untuk Indonesia
Baik Indonesia maupun Turki sama-sama memiliki visi membangun industri pertahanan dan mewujudkan kemandirian alutsista. Keduanya berusaha keras mengejar tujuan tersebut karena pernah mengalami sanksi militer dan embargo alutsista dari negara-negara barat, terutama AS. Keduanya memiliki peluang bersinergi karena ikatan ideologis, yakni negara dengan penduduk mayoritas Islam, dan tidak memiliki ganjalan conflict of interest karena tidak ada benturan kepentingan.
baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Sejauh ini, perkembangan industri pertahanan Turki jauh melampaui Indonesia. Jika ditelusuri, lompatan industri pertahanan Turki terjadi karena pemerintahnya sudah jauh hari -periode antara1970-1980- serius membangun bidang tersebut dengan mendirikan Aselsan, Havelsan dan Aspilsan.
Pada prosesnya, Turki juga telah melakukan reorganiasi untuk membawa perusahaan alutsistanya menjadi modern. Selanjutnya Turki mencari berbagai solusi untuk mengatasi dinamika dan tantangan mulai dari politik, SDM, teknologi, hingga pendanaan. Poinnya, kerja keras tanpa lelah yang ditunjukkan lambat laun menghasilkan sukses, hingga Turki menempatkan tujuh perusahaan pertahanannya pada big 100 secara global.
Walaupun masih ketinggalan, Indonesia sudah on the right track membangun kemandirian alutsista. Lahirnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan memberikan fondasi yang kuat untuk tujuan tersebut. Salah satu output penting dari undang-undang tersebut adalah terbentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Lembaga yang dipimpin langsung oleh Presiden inilah yang akan mengawal tercapai tujuan tersebut.
Selain itu, untuk menyinergikan industri pertahanan plat merah yang ada, Kementerian BUMN telah menyatukan mereka dalam konsorsium Defend ID. Tak kalah strategisnya adalah kebijakan Kementerian Pertahanan yang melibatkan industri swasta nasional untuk bersama-sama berpartisipasi dalam menggarap proyek alutsista. Dengan demikian semua potensi bangsa yang bisa mendukung kemajuan industri pertahanan tidak terlewatkan.
Hanya saja, untuk meraih target maksimal tidaklah mudah. Seperti disampaikan pengamat militer Alman Helvas, Indonesia masih terkendala finansial, SDM, penguasaan teknologi dan hingga fasilitas produksi. Hambatan inilah yang membuat produk alutsista made in Indonesia kurang kompetitif. Dari berbagai kendala, kerja sama dengan Turki menjadi opsi strategis, terutama untuk pengembangan SDM, penguasaan teknologi, hingga fasilitas produksi.
baca juga: Terbaik di Kelasnya, Tank Canggih Buatan Indonesia-Turki Selesai Produksi Perdana
Terbuka Lebar untuk Indonesia
Baik Indonesia maupun Turki sama-sama memiliki visi membangun industri pertahanan dan mewujudkan kemandirian alutsista. Keduanya berusaha keras mengejar tujuan tersebut karena pernah mengalami sanksi militer dan embargo alutsista dari negara-negara barat, terutama AS. Keduanya memiliki peluang bersinergi karena ikatan ideologis, yakni negara dengan penduduk mayoritas Islam, dan tidak memiliki ganjalan conflict of interest karena tidak ada benturan kepentingan.
baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Sejauh ini, perkembangan industri pertahanan Turki jauh melampaui Indonesia. Jika ditelusuri, lompatan industri pertahanan Turki terjadi karena pemerintahnya sudah jauh hari -periode antara1970-1980- serius membangun bidang tersebut dengan mendirikan Aselsan, Havelsan dan Aspilsan.
Pada prosesnya, Turki juga telah melakukan reorganiasi untuk membawa perusahaan alutsistanya menjadi modern. Selanjutnya Turki mencari berbagai solusi untuk mengatasi dinamika dan tantangan mulai dari politik, SDM, teknologi, hingga pendanaan. Poinnya, kerja keras tanpa lelah yang ditunjukkan lambat laun menghasilkan sukses, hingga Turki menempatkan tujuh perusahaan pertahanannya pada big 100 secara global.
Walaupun masih ketinggalan, Indonesia sudah on the right track membangun kemandirian alutsista. Lahirnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan memberikan fondasi yang kuat untuk tujuan tersebut. Salah satu output penting dari undang-undang tersebut adalah terbentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Lembaga yang dipimpin langsung oleh Presiden inilah yang akan mengawal tercapai tujuan tersebut.
Selain itu, untuk menyinergikan industri pertahanan plat merah yang ada, Kementerian BUMN telah menyatukan mereka dalam konsorsium Defend ID. Tak kalah strategisnya adalah kebijakan Kementerian Pertahanan yang melibatkan industri swasta nasional untuk bersama-sama berpartisipasi dalam menggarap proyek alutsista. Dengan demikian semua potensi bangsa yang bisa mendukung kemajuan industri pertahanan tidak terlewatkan.
Hanya saja, untuk meraih target maksimal tidaklah mudah. Seperti disampaikan pengamat militer Alman Helvas, Indonesia masih terkendala finansial, SDM, penguasaan teknologi dan hingga fasilitas produksi. Hambatan inilah yang membuat produk alutsista made in Indonesia kurang kompetitif. Dari berbagai kendala, kerja sama dengan Turki menjadi opsi strategis, terutama untuk pengembangan SDM, penguasaan teknologi, hingga fasilitas produksi.
baca juga: Terbaik di Kelasnya, Tank Canggih Buatan Indonesia-Turki Selesai Produksi Perdana
tulis komentar anda