Transformasi Tata Kelola Pupuk Bersubsidi
Minggu, 30 Juli 2023 - 21:39 WIB
ST 2023 mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi termutakhir, termasuk teknologi geospasial. Dengan teknologi geospasial, ST 2023 dapat menghasilkan secara akurat data pelaku usaha pertanian by name by address berikut volume usaha. Baik luasan lahan maupun lokasi usaha. Dengan data seperti ini, ST 2023 menyediakan basis data yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesesaikan berbagai persoalan yang masih membelit sektor pertanian, seperti subsidi sarana produksi pertanian yang tidak tepat. Dari semua subsidi sarana produksi saat ini, yang penting adalah subsidi pupuk.
Transformasi skema subsidi pupuk dari subsidi barang ke subsidi langsung, pertama-tama harus dimulai dari sasaran subsidi: petani seperti apa yang berhak menerima pupuk subsidi? Merujuk Permentan No. 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, penyaluran pupuk bersubsidi ditujukan untuk petani yang mampu memenuhi syarat. Yakni petani yang tergabung di kelompok tani, terdaftar di SIMLUHTAN, menggarap lahan maksimal dua hektare, dan menggunakan Kartu Tani. Petani bisa menebus pupuk bersubsidi di kios-kios resmi yang ditentukan untuk melayani kelompok tani setempat.
Persyaratan ini, di satu sisi, amat longgar alias kurang detail. Apakah hanya petani pemilik atau termasuk petani penggarap dan penyewa? Apa mencakup semua usahatani? Dalam regulasi baru, dua jenis pupuk bersubsidi (ZA dan NPK) hanya buat 9 komoditas: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Pembatasan 9 komoditas ini tentu tidak adil bagi petani yang mengusahakan komoditas di luar 9 ini. Di sisi lain, luas diketahui bahwa hanya sebagian kecil petani tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar di SIMLUHTAN. Syarat ini, lagi-lagi, tak adil bagi petani.
Pembatasan petani berlahan maksimal dua hektare juga tidak adil. Apalagi, tidak membedakan petani pangan, petani hortikultura, dan petani lain. Data yang dikumpulkan ST 2023 ihwal petani kecil juga bisa dipertimbangkan. Berbeda dengan sensus sebelumnya, ST 2023 mengadopsi konsep dan definisi petani skala kecil versi FAO. FAO mengklasifikasi petani kecil dalam 2 ukuran: fisik dan ekonomi. Ukuran fisik mencakup lahan pertanian yang dikelola dan jumlah ternak yang dipelihara. Petani yang mengelola lahan pertanian kurang 2 hektare dan ternak kurang dari 3 tropical livestock unit (TLU, 1 TLU setara dengan seekor sapi) tergolong petani kecil. Dari sisi ekonomi, petani yang berpendapatan kurang Rp18,8 juta dalam setahun dikategorikan sebagai petani kecil.
Apapun kriteria yang dianut, penting untuk menimbang ketersediaan anggaran dan prinsip keadilan. Anggaran yang terbatas di satu sisi, sementara tuntutan subsidi amat luas di sisi lain, aspek prioritas jadi keniscayaan. Salah satu yang patut dipertimbangkan adalah aspek penguatan ketahanan pangan negara. Dari sini bisa diturunkan komoditas apa saja yang menjadi prioritas, demikian pula sasaran penerima subsidi. Desain ini mesti diintegrasikan dengan cadangan pangan pemerintah, yang pengelolaannya diserahkan ke BUMN pangan. Pendek kata, transformasi skema subsidi pupuk dari subsidi barang ke subsisi orang harus dibarengi dengan penciptaan ekosistem hulu-hilir yang terintegrasi.
Transformasi skema subsidi pupuk dari subsidi barang ke subsidi langsung, pertama-tama harus dimulai dari sasaran subsidi: petani seperti apa yang berhak menerima pupuk subsidi? Merujuk Permentan No. 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, penyaluran pupuk bersubsidi ditujukan untuk petani yang mampu memenuhi syarat. Yakni petani yang tergabung di kelompok tani, terdaftar di SIMLUHTAN, menggarap lahan maksimal dua hektare, dan menggunakan Kartu Tani. Petani bisa menebus pupuk bersubsidi di kios-kios resmi yang ditentukan untuk melayani kelompok tani setempat.
Persyaratan ini, di satu sisi, amat longgar alias kurang detail. Apakah hanya petani pemilik atau termasuk petani penggarap dan penyewa? Apa mencakup semua usahatani? Dalam regulasi baru, dua jenis pupuk bersubsidi (ZA dan NPK) hanya buat 9 komoditas: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Pembatasan 9 komoditas ini tentu tidak adil bagi petani yang mengusahakan komoditas di luar 9 ini. Di sisi lain, luas diketahui bahwa hanya sebagian kecil petani tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar di SIMLUHTAN. Syarat ini, lagi-lagi, tak adil bagi petani.
Pembatasan petani berlahan maksimal dua hektare juga tidak adil. Apalagi, tidak membedakan petani pangan, petani hortikultura, dan petani lain. Data yang dikumpulkan ST 2023 ihwal petani kecil juga bisa dipertimbangkan. Berbeda dengan sensus sebelumnya, ST 2023 mengadopsi konsep dan definisi petani skala kecil versi FAO. FAO mengklasifikasi petani kecil dalam 2 ukuran: fisik dan ekonomi. Ukuran fisik mencakup lahan pertanian yang dikelola dan jumlah ternak yang dipelihara. Petani yang mengelola lahan pertanian kurang 2 hektare dan ternak kurang dari 3 tropical livestock unit (TLU, 1 TLU setara dengan seekor sapi) tergolong petani kecil. Dari sisi ekonomi, petani yang berpendapatan kurang Rp18,8 juta dalam setahun dikategorikan sebagai petani kecil.
Apapun kriteria yang dianut, penting untuk menimbang ketersediaan anggaran dan prinsip keadilan. Anggaran yang terbatas di satu sisi, sementara tuntutan subsidi amat luas di sisi lain, aspek prioritas jadi keniscayaan. Salah satu yang patut dipertimbangkan adalah aspek penguatan ketahanan pangan negara. Dari sini bisa diturunkan komoditas apa saja yang menjadi prioritas, demikian pula sasaran penerima subsidi. Desain ini mesti diintegrasikan dengan cadangan pangan pemerintah, yang pengelolaannya diserahkan ke BUMN pangan. Pendek kata, transformasi skema subsidi pupuk dari subsidi barang ke subsisi orang harus dibarengi dengan penciptaan ekosistem hulu-hilir yang terintegrasi.
(wur)
tulis komentar anda