Hilirisasi dan Tranformasi Ekonomi Indonesia Menghadapi Banyak Tantangan
Rabu, 12 Juli 2023 - 09:31 WIB
Sekadar menyegarkan ingatan, apa yang dilakukan IMF patut dipahami sebagai upaya berkelanjutan dari sejumlah negara untuk mendapatkan jaminan keamanan pasokan demi memenuhi kebutuhannya akan ragam bahan baku SDA dari Indonesia. Salah satu upaya terdahulu dilakukan di penghujung tahun 2021.
Dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri para pemimpin pemerintahan dari sejumlah negara, delegasi Indonesia tiba-tiba disodori sebuah rancangan dokumen kesepakatan untuk ditandatangani. Setelah memahami esensi rancangan dokumen itu, Presiden Jokowi tegas-tegas menolak menandatangani kesepakatan tentang rantai pasok (supply chain agreement) bahan baku pertambangan dengan beberapa negara.
Penolakan Presiden dilakukan disela-sela pelaksanaan forum kerja sama multilateral G20 di Roma, Italia dan COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada Oktober dan awal November 2021. Jelas bahwa Presiden Jokowi pasti menolak menandatangani kesepakatan supply chain itu, karena konsep kesepakatan itu ‘memaksa’ Indonesia mengirimkan bahan baku pertambangan sebanyak mungkin kepada sejumlah negara.
Patut untuk diyakini bahwa demi memenuhi kepentingannya masing-masing, upaya sejumlah negara untuk mendapatkan jaminan keamanan pasokan bahan baku pertambangan dari Indonesia tidak akan berhenti pada manuver IMF, baru-baru ini. Upaya serupa akan berlanjut, bahkan mungkin dalam bentuk tekanan yang lebih keras. Kemungkinan seperti itulah yang harus diantisipasi Indonesia.
Modal utama menangkal tekanan-tekanan seperti itu adalah mengedepankan tekad Indonesia untuk tetap berteguh dan konsisten dengan program percepatan transformasi ekonomi melalui hilirisasi SDA. Apa pun bentuk tekanannya, sangat penting bagi kepemimpinan nasional untuk berani bersikap tegas menghadapi serta menolak tekanan maupun godaan yang datang dari pihak mana pun.
Dapat dipastikan bahwa presiden dan para pembantunya menghadapi ragam godaan dibalik lobi-lobi resmi yang dilakukan perutusan dari sejumlah negara. Beruntung bahwa dari rangkaian lobi dan tekanan dalam beberapa tahun terakhir ini, Presiden Joko Widodo selalu menunjukan keteguhan sikap dan pendirian Indonesia bagi hilirisasi SDA.
Indonesia menolak ditekan. Itu sebabnya, dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi selalu mengingatkan kepada siapa saja yang akan menggantikannya nanti untuk menunjukan nyali dan berani menolak tekanan dari pihak asing.
Sayang, masa bakti Presiden Joko Widodo akan berakhir pada Oktober 2024. Maka, tantangan riil yang akan dihadapi Indonesia setelah tahun 2024 sudah jelas. Di tengah arus tekanan dan godaan, tantangannya adalah menjaga dan merawat konsistensi pada upaya mewujudkan hilirisasi SDA sebagai langkah pembuka transformasi ekonomi.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintahan baru nantinya mau untuk tulus dan berjiwa besar melanjutkan tekad hilirisasi SDA, dengan tetap mempertahankan keteguhan sikap Indonesia sekarang ini? Hilirisasi SDA bisa diwujudkan jika segenap elemen bangsa tidak melakukan kesalahan dalam memilih pemimpinnya.
Adalah hak UE dan IMF untuk bersikap atau membuat penilaian tentang kebijakan hilirisasi SDA Indonesia. Namun, kalau negara lain boleh membangun perekonomian dan sektor industrinya untuk menjadi negara maju yang kompetitif, mengapa Indonesia harus dihalang-halangi untuk mentransformasi perekonomiannya dengan melakukan pendalaman sektor Industri.
Dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri para pemimpin pemerintahan dari sejumlah negara, delegasi Indonesia tiba-tiba disodori sebuah rancangan dokumen kesepakatan untuk ditandatangani. Setelah memahami esensi rancangan dokumen itu, Presiden Jokowi tegas-tegas menolak menandatangani kesepakatan tentang rantai pasok (supply chain agreement) bahan baku pertambangan dengan beberapa negara.
Penolakan Presiden dilakukan disela-sela pelaksanaan forum kerja sama multilateral G20 di Roma, Italia dan COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada Oktober dan awal November 2021. Jelas bahwa Presiden Jokowi pasti menolak menandatangani kesepakatan supply chain itu, karena konsep kesepakatan itu ‘memaksa’ Indonesia mengirimkan bahan baku pertambangan sebanyak mungkin kepada sejumlah negara.
Patut untuk diyakini bahwa demi memenuhi kepentingannya masing-masing, upaya sejumlah negara untuk mendapatkan jaminan keamanan pasokan bahan baku pertambangan dari Indonesia tidak akan berhenti pada manuver IMF, baru-baru ini. Upaya serupa akan berlanjut, bahkan mungkin dalam bentuk tekanan yang lebih keras. Kemungkinan seperti itulah yang harus diantisipasi Indonesia.
Modal utama menangkal tekanan-tekanan seperti itu adalah mengedepankan tekad Indonesia untuk tetap berteguh dan konsisten dengan program percepatan transformasi ekonomi melalui hilirisasi SDA. Apa pun bentuk tekanannya, sangat penting bagi kepemimpinan nasional untuk berani bersikap tegas menghadapi serta menolak tekanan maupun godaan yang datang dari pihak mana pun.
Dapat dipastikan bahwa presiden dan para pembantunya menghadapi ragam godaan dibalik lobi-lobi resmi yang dilakukan perutusan dari sejumlah negara. Beruntung bahwa dari rangkaian lobi dan tekanan dalam beberapa tahun terakhir ini, Presiden Joko Widodo selalu menunjukan keteguhan sikap dan pendirian Indonesia bagi hilirisasi SDA.
Indonesia menolak ditekan. Itu sebabnya, dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi selalu mengingatkan kepada siapa saja yang akan menggantikannya nanti untuk menunjukan nyali dan berani menolak tekanan dari pihak asing.
Sayang, masa bakti Presiden Joko Widodo akan berakhir pada Oktober 2024. Maka, tantangan riil yang akan dihadapi Indonesia setelah tahun 2024 sudah jelas. Di tengah arus tekanan dan godaan, tantangannya adalah menjaga dan merawat konsistensi pada upaya mewujudkan hilirisasi SDA sebagai langkah pembuka transformasi ekonomi.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintahan baru nantinya mau untuk tulus dan berjiwa besar melanjutkan tekad hilirisasi SDA, dengan tetap mempertahankan keteguhan sikap Indonesia sekarang ini? Hilirisasi SDA bisa diwujudkan jika segenap elemen bangsa tidak melakukan kesalahan dalam memilih pemimpinnya.
Adalah hak UE dan IMF untuk bersikap atau membuat penilaian tentang kebijakan hilirisasi SDA Indonesia. Namun, kalau negara lain boleh membangun perekonomian dan sektor industrinya untuk menjadi negara maju yang kompetitif, mengapa Indonesia harus dihalang-halangi untuk mentransformasi perekonomiannya dengan melakukan pendalaman sektor Industri.
tulis komentar anda