Ngegas-Ngerem Demi Ekonomi dan Kesehatan

Senin, 27 Juli 2020 - 06:55 WIB
bagaimanapun penambahan kasus positif korona dan jumlah pasien meninggal bukan sekadar angka. Ilustrasi/SINDOnews
SEPANJANG bulan ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) setidaknya sudah dua kali mengingatkan agar para menterinya bisa mempercepat penyerapan anggaran untuk menangani dampak pandemi virus korona (Covid-19).

Peringatan pertama pada 7 Juli lalu, saat Presiden Jokowi meminta kementerian dan lembaga mempercepat belanja anggaran untuk menggerakkan ekonomi. Kedua, pada Kamis (23/7), Jokowi lagi-lagi meminta agar para pembantunya bergerak cepat dalam mengatasi dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi.

Permintaan orang nomor satu di Indonesia itu cukup masuk akal. Pasalnya, penyerapan anggaran untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan memang terbilang lambat. Bayangkan, dari Rp87,55 triliun anggaran penanganan dampak Covid-19, baru 7,22% yang terserap. Padahal, masa penyebaran korona di Tanah Air sudah terjadi sejak awal Maret lalu.



Memang, sejak diumumkan kasus pertama korona pada 2 Maret 2020, saat itu tidak otomatis anggaran langsung dialokasikan. Baru pada akhir Maret pemerintah mengumumkan adanya komitmen anggaran sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani Covid-19. Anggaran ini kemudian terus mengalami peningkatan menjadi Rp641,1 triliun pada Mei 2020, kemudian Rp677,2 triliun (awal Juni), dan kemudian Rp695,2 triliun (pertengahan Juni). Terbaru, pemerintah menyampaikan anggaran penanganan Covid-19 naik menjadi Rp905 triliun.

Upaya meningkatkan penyerapan anggaran ini mau tidak mau harus terus dilakukan. Tak hanya di sektor kesehatan, tetapi juga di sektor lain seperti penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat terdampak. Ini penting agar daya beli masyarakat kembali menguat di tengah lesunya perekonomian.

Sektor daya beli rumah tangga harus menjadi perhatian utama karena sektor ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi karena menyumbang lebih dari 50% pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Sebenarnya, ada sektor lain yang menopang PDB, yakni investasi dan ekspor. Namun, keduanya belum menunjukkan kinerja signifikan. Data terbaru menyebutkan, investasi pada kuartal II/2020 turun 4,3%. Sebagai perbandingan, pada kuartal I kinerja investasi jauh lebih baik karena tumbuh 8%. Dari sisi ekspor, pada semester I/2020 nilainya tercatat mencapai USD76,41 miliar atau turun 5,49% dibanding periode yang sama 2019.

Dengan data-data ekonomi seperti di atas, harapan terhadap sektor konsumsi dalam negeri rasanya cukup rasional. Apalagi masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah sejak lama diperlonggar. Aktivitas ekonomi pun sudah mulai menggeliat. Lalu lintas di jalanan semakin ramai. Pun demikian tempat-tempat umum seperti restoran dan kafe, mulai banyak didatangi pembeli setelah tiga bulan lebih tak melayani makan di tempat.

Di satu sisi, ramainya area-area komersial ini menjadi harapan tersendiri karena roda ekonomi kembali berputar. Di sisi lain, laporan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 justru menunjukkan terus bertambahnya jumlah pasien positif Covid-19. Pada Minggu (26/7) masih terjadi penambahan kasus positif sebanyak 1.492 orang sehingga totalnya menjadi 98.778 orang. Adapun jumlah pasien meninggal total mencapai 4.781 orang. Dari penambahan jumlah positif tersebut, terbanyak terjadi di DKI Jakarta sebanyak 384 orang dan Jawa Timur 283 orang.

Data-data kinerja ekonomi dan fakta terus bertambahnya jumlah pasien Covid-19 itu hendaknya menjadi pertimbangan kembali bagi pemerintah untuk mengambil langkah pemulihan yang tepat di masa mendatang. Harus diingat, bagaimanapun penambahan kasus positif korona dan jumlah pasien meninggal bukan sekadar angka. Di sana ada keluarga, ada pencari nafkah, ada generasi muda yang semuanya punya tanggung jawab, meski hanya di lingkungan terkecilnya.

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada sebuah diskusi virtual Jumat (24/7) lalu mungkin bisa menjadi pegangan. Saat itu dia berujar, pemerintah akan terus memacu roda ekonomi pada kuartal III dan IV agar terhindar dari resesi. Hal ini untuk merespons lambatnya laju pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 yang diprediksi bakal mengalami kontraksi alias minus. Namun, ujar Sri Mulyani, apabila ternyata ancaman kesehatan terus meningkat, pemerintah terpaksa akan mengerem upaya pemulihan tersebut.

Komitmen ini semestinya menjadi acuan jika pemerintah ingin tetap memutar roda ekonomi, tanpa mengesampingkan kesehatan. Semoga saja, para pemangku kepentingan di negeri ini bisa mengatur kapan harus ”ngegas” dan kapan harus ”ngerem”.
(ras)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More