Soal Sidang Virtual, MA Sudah Lakukan Perbaikan Sebelum Ada Kajian Ombudsman
Minggu, 26 Juli 2020 - 14:57 WIB
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA ) memastikan sudah melakukan evaluasi dan perbaikan atas pelaksanaan persidangan secara virtual di pengadilan jauh sebelum ada kajian dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) .
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyatakan, MA sangat menghargai dan menghormati hasil kajian cepat yang dilakukan ORI tentang 'Penyelenggaraan Persidangan Online di Tengah Situasi Pandemi Covid-19' beserta seluruh rekomendasi perbaikan yang disampaikan. Di sisi lain, jauh sebelum ORI mendatangi MA dan 16 pengadilan negeri serta penyampaian rekomendasi, Abdullah mengklaim, MA telah lebih dulu melaksanakan evaluasi dan sejumlah perbaikan sama seperti aspek-aspek yang direkomendasikan ORI pada Juni 2020.
"Jadi sebelum Ombudsman datang, itu kan Mahkamah Agung sudah melakukan, sudah menyikapi melalui Ditjen Badilum terkait dengan sidang online melalui teleconference, itu tanggal 27 Maret. Kemudian, ada MoU, perjanjian kerja sama Mahkamah Agung dengan Dirjenpas dengan Kejaksaan Agung tentang persidangan melalui teleconference," tegas Abdullah saat berbincang dengan SINDOnews di Jakarta, Minggu (26/7/2020).( ).
Abdullah lantas menanggapi temuan ORI bahwa tidak dapat dipastikan saksi dan terdakwa saat memberikan keterangan dalam tekanan/dusta atau tidak. Dia menjelaskan, seorang terdakwa, saksi, maupun ahli dihadapkan persidangan dalam keadaan bebas. Sering kali, kata dia, saat persidangan secara online, ternyata peralatan belum tersedia di tempat terdakwa berada.
Ketika peralatan tersedia di lokasi terdakwa berada, ungkap Abdullah, peralatan itu pun terbatas. Sehingga yang terlihat hanya gambar atau wajah dari terdakwa dan itu pun tidak utuh. Akibatnya, majelis hakim tidak bisa melihat suasana samping kanan-kiri terdakwa. Padahal, seharusnya majelis hakim bisa melihat terdakwa dalam keadaan bebas atau tidak dengan melihat situasi kanan-kirin terdakwa.( ).
"Kalau itu nggak terlihat, kan majelis hakim itu terbatas penglihatannya. Ha itu, bagaimana? Ini bukan salah pengadilan saja, tapi memang keadaan memaksa seperti ini. Makanya Mahkamah Agung mensyaratkan bahwa di tempat sidang itu terlihat secara utuh, kanan-kiri kosong, yang terdakwa itu bisa dilihat didampingi oleh penasihat hukum kalau memang ada penasihat hukumnya," katanya.
Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Malang ini membeberkan, sebenarnya sejak tahun 2018 MA telah mencanangkan pengadilan elektronik guna pelaksanaan persidangan secara online. Pada tahun itu, kata dia, MA telah meluncurkan layanan/aplikasi e-Court dengan salah satu fiturnya adalah e-litigation yakni persidangan perkara secara online. Sejak itu hingg kini, ujar Abdullah, fasilitas sarana dan prasarana serta petugas operator telah tersedia di seluruh pengadilan yang tersebar di Indonesia.
"Kalau pengadilan sih semua serba ada, semua serba lengkap. Memang kan pengadilan elektronik sudah ada sejak tahun 2018, sudah dicanangkan pengadilan elektronik," ujar Abdullah.
Abdullah menambahkan, benar bahwa pada Selasa, 9 Juni 2020 telah dilakukan rapat secara virtual antara MA dengan ORI untuk koordinasi dan pembahasan hasil kajian cepat dan rekomendasi-rekomendasi dari ORI.
Saat rapat hadir melalui telekonferensi yakni Ketua MA Muhammad Syarifuddin beserta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan Manokwari serta jajaran. Ketua MA bersama 16 ketua pengadilan negeri menjelaskan secara detail apa saja yang telah dilakukan, kendala-kendala yang ada, hingga perbaikan-perbaikan yang telah lebih dulu dilaksanakan.
"Semuanya menjelaskan secara detail, bahkan kekurangan masing-masing dan bahwa faktornya tidak sepenuhnya di pengadilan. Tapi lebih banyak di stakeholder-nya (stakeholder terkait yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan Lapas). Jadi sudah dilakukan sebelum ada rekomendasi dari Ombudsman."
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyatakan, MA sangat menghargai dan menghormati hasil kajian cepat yang dilakukan ORI tentang 'Penyelenggaraan Persidangan Online di Tengah Situasi Pandemi Covid-19' beserta seluruh rekomendasi perbaikan yang disampaikan. Di sisi lain, jauh sebelum ORI mendatangi MA dan 16 pengadilan negeri serta penyampaian rekomendasi, Abdullah mengklaim, MA telah lebih dulu melaksanakan evaluasi dan sejumlah perbaikan sama seperti aspek-aspek yang direkomendasikan ORI pada Juni 2020.
"Jadi sebelum Ombudsman datang, itu kan Mahkamah Agung sudah melakukan, sudah menyikapi melalui Ditjen Badilum terkait dengan sidang online melalui teleconference, itu tanggal 27 Maret. Kemudian, ada MoU, perjanjian kerja sama Mahkamah Agung dengan Dirjenpas dengan Kejaksaan Agung tentang persidangan melalui teleconference," tegas Abdullah saat berbincang dengan SINDOnews di Jakarta, Minggu (26/7/2020).( ).
Abdullah lantas menanggapi temuan ORI bahwa tidak dapat dipastikan saksi dan terdakwa saat memberikan keterangan dalam tekanan/dusta atau tidak. Dia menjelaskan, seorang terdakwa, saksi, maupun ahli dihadapkan persidangan dalam keadaan bebas. Sering kali, kata dia, saat persidangan secara online, ternyata peralatan belum tersedia di tempat terdakwa berada.
Ketika peralatan tersedia di lokasi terdakwa berada, ungkap Abdullah, peralatan itu pun terbatas. Sehingga yang terlihat hanya gambar atau wajah dari terdakwa dan itu pun tidak utuh. Akibatnya, majelis hakim tidak bisa melihat suasana samping kanan-kiri terdakwa. Padahal, seharusnya majelis hakim bisa melihat terdakwa dalam keadaan bebas atau tidak dengan melihat situasi kanan-kirin terdakwa.( ).
"Kalau itu nggak terlihat, kan majelis hakim itu terbatas penglihatannya. Ha itu, bagaimana? Ini bukan salah pengadilan saja, tapi memang keadaan memaksa seperti ini. Makanya Mahkamah Agung mensyaratkan bahwa di tempat sidang itu terlihat secara utuh, kanan-kiri kosong, yang terdakwa itu bisa dilihat didampingi oleh penasihat hukum kalau memang ada penasihat hukumnya," katanya.
Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Malang ini membeberkan, sebenarnya sejak tahun 2018 MA telah mencanangkan pengadilan elektronik guna pelaksanaan persidangan secara online. Pada tahun itu, kata dia, MA telah meluncurkan layanan/aplikasi e-Court dengan salah satu fiturnya adalah e-litigation yakni persidangan perkara secara online. Sejak itu hingg kini, ujar Abdullah, fasilitas sarana dan prasarana serta petugas operator telah tersedia di seluruh pengadilan yang tersebar di Indonesia.
"Kalau pengadilan sih semua serba ada, semua serba lengkap. Memang kan pengadilan elektronik sudah ada sejak tahun 2018, sudah dicanangkan pengadilan elektronik," ujar Abdullah.
Abdullah menambahkan, benar bahwa pada Selasa, 9 Juni 2020 telah dilakukan rapat secara virtual antara MA dengan ORI untuk koordinasi dan pembahasan hasil kajian cepat dan rekomendasi-rekomendasi dari ORI.
Saat rapat hadir melalui telekonferensi yakni Ketua MA Muhammad Syarifuddin beserta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan Manokwari serta jajaran. Ketua MA bersama 16 ketua pengadilan negeri menjelaskan secara detail apa saja yang telah dilakukan, kendala-kendala yang ada, hingga perbaikan-perbaikan yang telah lebih dulu dilaksanakan.
"Semuanya menjelaskan secara detail, bahkan kekurangan masing-masing dan bahwa faktornya tidak sepenuhnya di pengadilan. Tapi lebih banyak di stakeholder-nya (stakeholder terkait yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan Lapas). Jadi sudah dilakukan sebelum ada rekomendasi dari Ombudsman."
(zik)
tulis komentar anda