Film dan Representasi Sistem Hukum

Senin, 05 Juni 2023 - 11:32 WIB
Kemala Atmojo - Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
Kemala Atmojo

Film dan Representasi Sistem Hukum

Film klasik. Twelve Angry Man (1957) memang bukan film hukum terbaik yang pernah diproduksi di Amerika Serikat. Masih banyak film yang berkaitan dengan hukum yang juga menarik. Sebut, misalnya, Kramer Vs. Kramer (1979); To Kill a Mockingbird (1962); My Cousin Vinny (1992); Philadelphia (1993); Erin Brockovich (2000); dan masih banyak lagi. Tetapi, Twelve Angry Man ini sangat jelas memberikan gambaran sistem hukum yang khas Amerika Serikat, khususnya peradilan pidananya.



Maka, film semacam itu nyaris tidak mungkin diproduksi oleh sineas di Prancis, Belanda atau Indonesia, misalnya. Kenapa? Apa alasannya? Baiklah, sebelum membicarakan lebih jauh soal filmnya, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa perbedaan utama sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat dan civil law yang dianut Indonesia. Sekali lagi, kita hanya fokus pada proses peradilannya.

Di Indonesia, seorang terdakwa dinyatakan bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), ditentukan oleh panel hakim yang jumlahnya minimal tiga orang. Sedangkan di Amerika Serikat, seorang terdakwa ditentukan bersalah atau tidak, diputuskan oleh sekelompok “orang luar” (bukan hakim) yang disebut majelis juri atau juror. Jumlah juror ini biasanya 12 orang.

Di sana, terdakwa yang diancam hukuman lebih dari enam bulan berhak atas persidangan dengan majelis juri. Para juri dengan berbagai latar belakang itu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum persidangan dimulai dan diseleksi. Misalnya, harus dipastikan bahwa mereka tidak mengenal terdakwa dan saksi.

Para juror itulah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, maka hakim (judge) mencarikan pasal yang tepat sesuai kasusnya. Hakim berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman (sentence). Tetapi hakim mula-mula harus melihat dan memberikan putusan yang sama dengan kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya (preseden/yurisprudensi)..

Kemudian, dalam proses persidangan di pengadilan, para pihak menggunakan lawyer-nya masing-masing yang saling berhadapan di depan hakim dan juri. Para pihak menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Hakim bertindak sebagai wasit.

Mungkinkah hal semacam itu dilakukan dalam peradilan di Indonesia? Jelas tidak. Maka nyaris tidak mungkin pula cerita film semacam itu diproduksi di sini. Jika dipaksakan juga, maka hasilnya adalah sebuah karya seni yang tercerabut atau di luar dari akar budayanya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More