Budaya Baca di Tengah Gempuran Media Sosial

Membaca Buku dalam Geliat Modernisasi

Dalam perkembangannya, teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner, dll. Dengan kata lain, saat ini buku dapat dengan mudah diterbitkan. Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah orang-orang masih mau membaca buku di tengah gempuran sosial media yang semakin memperpendek atensi kita?

Jika kita cermati, kehadiran sosial media seperti Tiktok, Facebook, Instagram, bahkan Whatsapp, yang telah dilengkapi dengan fitur story dengan durasi yang pendek menjadikan atensi penggunanya semakin pendek. Selain itu, orang-orang lebih mudah membaca sosial media dibandingkan harus bertahan membaca buku: mencermati kalimat-kalimat yang statis dan monoton, tanpa suara, warna, dan gerakan. Masalahnya, potongan-potongan informasi yang pendek itulah seringkali memunculkan bias informasi, implusifitasi, dan kegaduhan dalam memandang suatu peristiwa. Kebiasaan membaca lebih panjang dan tuntas semkin susah diwujudkan. Kita tidak lagi mampu membaca lebih banyak dalam beragam prespektif.

Dunia buku hari ini juga telah mengalami transformasi dalam bentuk digital dan digitalisasi memberikan satu pengalaman baru yang dulu tak pernah kita bayangkan. Di saat semua orang memiliki kesempatan mendapatkan informasi hanya dengan menggeser jari. “Digitalisasi memang menghadirkan pengalaman yang baru dalam interaksi kita dengan dunia hiburan. Kemudahan untuk megakses, mencari dan menayangkan kembali…."(Kompas, Senin 13 Juni 2005).

Dunia digital ini perlahan telah mengalihkan surat kabar cetak ke medium online. Sementara itu, media online baru terus bermunculan bak jamur . Orang-orang semakin mudah mendapatkan informasi, bersamaan dengan meningkatnya berita bohong dan hoaks, serta kualitas berita yang semakin menurun, mengingat dengan mudahnya orang memproduksi dan mengonsumi suatu informasi tanpa kurasi yang matang.

Problem yang perlu kita pikirkan juga, jika ekosistem buku semakin tersingkirkan ialah, kesenjangan akses bagi mereka yang tidak mampu membeli peralatan tekhnologi, ataupun mereka yang berada pada wilayah dengan akses internet terbatas. Tidak hanya itu, banyak orang yang dapat mengakses internet, namun tidak diiringi dengan kemampuan literasi digital dan kesadaran dalam menggunakannya. Akibatnya, kemudahan yang awalnya kita harapkan justru menjadi penghalang kompetisi diri untuk terus berkembang.

Memandang realitas serta kebutuhan hari ini, kita perlu mengambil jalan tengah. Kemunculan sosial media yang pesat dan perkembangan digital yang terus berkembang, membutuhkan kebijaksanaan dalam mengkombinasikannya. Saat ini, internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan, bahkan konsumsi kita setiap hari. Dari internet kita mendapatkan kemudahan dan kecepatan, namun kita perlu mengimbanginya dengan kualitas membaca yang baik. Dan hanya melalui buku, kita bisa mendapatkanya. Oleh karena itu, ikhtiar menulis dan menerbitkan buku harus terus kita jaga.