Terciptanya Kelas-kelas Pendidikan
Kamis, 23 Juli 2020 - 06:07 WIB
Pada saat pembelajaran sudah dimulai, kita bisa melihat kondisi yang kontras terjadi di tengah masyarakat dalam mendapatkan layanan pendidikan. Anak dari kelompok masyarakat menengah ke atas asyik belajar dengan gawainya, melakukan pertemuan virtual tanpa mengalami masalah. Kebanyakan orang tua mereka juga sudah terbiasa melakukan meeting jarak jauh sehingga kalau bicara penggunaan perangkat berteknologi tinggi sudah tidak canggung lagi. Mereka memulai tahun ajaran baru dengan koneksi internet tanpa batas, bahkan terlihat tenang karena bisa didampingi orang tuanya.
Lalu apa yang terjadi pada anak-anak dari kelompok ekonomi rendah? Mereka seperti terseok-seok saat harus mengikuti permintaan sekolah untuk belajar daring. Ini terjadi di sekolah negeri. Sekolah yang isinya anak-anak yang beragam tingkat ekonominya sehingga ada anak harus pinjam handphone temannya serta para orang tua harus ngutang ke tetangga untuk beli pulsa/kuota bagi anaknya. Belajar daring yang banyak dipilih sekolah, nyatanya sangat membebani keluarga berpenghasilan pas-pasan.
Cerita yang lebih miris datang dari keluarga yang anaknya terpaksa harus bersekolah di swasta. Pada saat terjadi banyak PHK, uang muka masuk sekolah tetap mahal. Para siswa baru pun diberikan tenggat waktu untuk melunasi sumbangan pembangunan yang besarannya berbeda-beda tergantung sekolahnya. Dari sini kita bisa lihat, ada anak yang untuk sekolah harus bayar mahal, ada pula tidak, padahal secara ekonomi bisa saja mereka sama, yakni anak dari keluarga yang biasa-biasa saja. Berbeda dalam mendapatkan layanan pendidikan ini sudah berlangsung lama, hanya saja di masa pandemi Covid-19 kesenjangan ini makin terlihat. Terjadi kelas-kelas sosial yang "jomplang" dalam pendidikan hari ini.
Pendidikan hari ini di Tanah Air juga menjadi ladang bisnis bagi sebagian yayasan, walau dasar pendiriannya untuk kepentingan sosial, namun dalam perjalanannya komersialisasi pendidikan terjadi, dengan mematok harga masuk sekolah yang fantastis, tidak lagi satu dua juta, tapi untuk sekolah dasar saja bisa ada yang biasanya puluhan juta. Lahirlah sekolah khusus anak orang kaya, lalu ada anak sekolah negeri, sekolah swasta biasa-biasa, sekolah pinggiran, serta anak-anak yang belum bisa mengenyam pendidikan. Setidaknya yang terjadi hari ini adalah layanan pendidikan di negeri ini belum merata, belum berkeadilan, dan terjadi ketimpangan.
Pendidikan Luar Sekolah
Pemerintah juga tidak bisa mengabaikan begitu saja keberadaan lembaga pendidikan nonformal yang memiliki peran penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Pada masa pandemi Covid-19 ini semua terkena dampak, jika sekolah negeri disebutkan ada afirmasi dana Bantuan Operasional Sekolah, lembaga pendidikan berbasis komunitas ini nyaris tidak tersentuh perhatian. Anak jalanan misalnya, yang awalnya bisa duduk sebagai anak sekolah dan belajar seperti anak-anak lainnya di satu lembaga, kini terancam kembali lagi ke jalan. Mereka tidak bisa belajar dari rumah karena tak punya apa-apa, tidak juga bisa belajar tatap muka karena mereka bertempat tinggal di zona merah Covid-19.
Pemerintah harus menggulirkan program-program yang "tidak biasa" untuk mereka, kalau dalam bahasa Presiden Joko Widodo, setiap menteri dituntut melakukan langkah-langkah exstra-ordinary, jangan linier dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi di masa pandemi ini. Termasuk dalam hal ini adalah bidang pendidikan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah komando Mas Menteri Nadiem Makarim.
Darwinisme sosial adalah paham persaingan yang memberikan hak hidup pada yang kuat, sedangkan yang lemah dan miskin akan tergusur. Fakta adanya kesenjangan dengan lahirnya kelas-kelas sosial dalam layanan pendidikan tentu bertentangan dengan nilai luruh yang dianut bangsa ini, yakni bukan persaingan melainkan gotong royong dalam terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan itu, di tengah Indonesia yang luas dan beragam tentu perlu ada reorientasi, yakni mengembalikan pada usaha bersama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan berkeadilan. Sejatinya, pendidikan ada untuk semua orang sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Jika kita dalami mendalam pasal 31, maka diperlukan usaha pemerintah dalam membuat sistem pendidikan yang tepat.
Mengakhiri Kegelisahan
Mengutip yang pernah disampaikan mantan Menteri Pendidikan Malik Fajar bahwa pendidikan adalah kegelisahan sepanjang zaman. Tidak terkecuali para pelaku pendidikan yang dibuat gelisah oleh fenomena dan realitas perwujudan pendidikan hari ini.
Lalu apa yang terjadi pada anak-anak dari kelompok ekonomi rendah? Mereka seperti terseok-seok saat harus mengikuti permintaan sekolah untuk belajar daring. Ini terjadi di sekolah negeri. Sekolah yang isinya anak-anak yang beragam tingkat ekonominya sehingga ada anak harus pinjam handphone temannya serta para orang tua harus ngutang ke tetangga untuk beli pulsa/kuota bagi anaknya. Belajar daring yang banyak dipilih sekolah, nyatanya sangat membebani keluarga berpenghasilan pas-pasan.
Cerita yang lebih miris datang dari keluarga yang anaknya terpaksa harus bersekolah di swasta. Pada saat terjadi banyak PHK, uang muka masuk sekolah tetap mahal. Para siswa baru pun diberikan tenggat waktu untuk melunasi sumbangan pembangunan yang besarannya berbeda-beda tergantung sekolahnya. Dari sini kita bisa lihat, ada anak yang untuk sekolah harus bayar mahal, ada pula tidak, padahal secara ekonomi bisa saja mereka sama, yakni anak dari keluarga yang biasa-biasa saja. Berbeda dalam mendapatkan layanan pendidikan ini sudah berlangsung lama, hanya saja di masa pandemi Covid-19 kesenjangan ini makin terlihat. Terjadi kelas-kelas sosial yang "jomplang" dalam pendidikan hari ini.
Pendidikan hari ini di Tanah Air juga menjadi ladang bisnis bagi sebagian yayasan, walau dasar pendiriannya untuk kepentingan sosial, namun dalam perjalanannya komersialisasi pendidikan terjadi, dengan mematok harga masuk sekolah yang fantastis, tidak lagi satu dua juta, tapi untuk sekolah dasar saja bisa ada yang biasanya puluhan juta. Lahirlah sekolah khusus anak orang kaya, lalu ada anak sekolah negeri, sekolah swasta biasa-biasa, sekolah pinggiran, serta anak-anak yang belum bisa mengenyam pendidikan. Setidaknya yang terjadi hari ini adalah layanan pendidikan di negeri ini belum merata, belum berkeadilan, dan terjadi ketimpangan.
Pendidikan Luar Sekolah
Pemerintah juga tidak bisa mengabaikan begitu saja keberadaan lembaga pendidikan nonformal yang memiliki peran penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Pada masa pandemi Covid-19 ini semua terkena dampak, jika sekolah negeri disebutkan ada afirmasi dana Bantuan Operasional Sekolah, lembaga pendidikan berbasis komunitas ini nyaris tidak tersentuh perhatian. Anak jalanan misalnya, yang awalnya bisa duduk sebagai anak sekolah dan belajar seperti anak-anak lainnya di satu lembaga, kini terancam kembali lagi ke jalan. Mereka tidak bisa belajar dari rumah karena tak punya apa-apa, tidak juga bisa belajar tatap muka karena mereka bertempat tinggal di zona merah Covid-19.
Pemerintah harus menggulirkan program-program yang "tidak biasa" untuk mereka, kalau dalam bahasa Presiden Joko Widodo, setiap menteri dituntut melakukan langkah-langkah exstra-ordinary, jangan linier dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi di masa pandemi ini. Termasuk dalam hal ini adalah bidang pendidikan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah komando Mas Menteri Nadiem Makarim.
Darwinisme sosial adalah paham persaingan yang memberikan hak hidup pada yang kuat, sedangkan yang lemah dan miskin akan tergusur. Fakta adanya kesenjangan dengan lahirnya kelas-kelas sosial dalam layanan pendidikan tentu bertentangan dengan nilai luruh yang dianut bangsa ini, yakni bukan persaingan melainkan gotong royong dalam terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan itu, di tengah Indonesia yang luas dan beragam tentu perlu ada reorientasi, yakni mengembalikan pada usaha bersama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan berkeadilan. Sejatinya, pendidikan ada untuk semua orang sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Jika kita dalami mendalam pasal 31, maka diperlukan usaha pemerintah dalam membuat sistem pendidikan yang tepat.
Mengakhiri Kegelisahan
Mengutip yang pernah disampaikan mantan Menteri Pendidikan Malik Fajar bahwa pendidikan adalah kegelisahan sepanjang zaman. Tidak terkecuali para pelaku pendidikan yang dibuat gelisah oleh fenomena dan realitas perwujudan pendidikan hari ini.
tulis komentar anda