Terciptanya Kelas-kelas Pendidikan
Kamis, 23 Juli 2020 - 06:07 WIB
Adjat Wiratma
Guru Relawan Sekolah Darurat Kartini (Sekolah Gratis Ibu Guru Kembar)
TAHUN ajaran baru sudah dimulai, para siswa kembali bersekolah di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai. Ada siswa yang tetap belajar dari rumah, ada pula yang sudah melakukan tatap muka langsung, bertemu teman dan gurunya di kelas. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar ini mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri sebagai panduan pelaksanaan pendidikan di daerah. Protokol kesehatan harus dipastikan dilaksanakan, pengawasan ketat pagi guru dan siswa jangan sampai sekolah menjadi klaster baru penyebaran penyakit yang hingga hari ini belum ditemukan antivirusnya.
Diskusi soal urgensi dimulainya tahun ajaran baru di tengah pandemi sebenarnya sudah mengemuka jauh sebelum pemerintah memutuskan pada 13 Juli 2020 sebagai hari pertama belajar kembali. Sejumlah alasan dikemukakan, di antaranya soal sulitnya menerapkan standar layanan pendidikan yang sama bagi semua siswa di Tanah Air serta banyaknya keluarga secara ekonomi terkena dampak sehingga kemampuan mengeluarkan biaya pendidikan menjadi berkurang. Diskusi itu telah gugur, ibarat nasi sudah jadi bubur, sejak Senin lalu, anak-anak sudah kembali belajar dan guru-guru juga sudah sibuk mengajar, walau pada pekan yang sama pemerintah juga masih sibuk melakukan uji publik atas draf standar pendidikan jarak jauh (PJJ) yang ditelurkan Bandan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tidak heran, jika yang terjadi proses pengajaran di setiap sekolah saat ini digantungkan pada kemampuan guru dan sekolah masing-masing, ada sebagian yang berjalan baik, namun tidak sedikit mengalami kendala.
Masalah kegiatan belajar mengajar di era pandemi ini sudah ditemukan sejak hari pertama saat daerah memutuskan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat itu secara tiba-tiba semua harus dilakukan di rumah termasuk belajar dari rumah sehingga hampir semua gagap. Masalah itu berlanjut sampai sekarang karena pemerintah dinilai lamban merespons hasil evaluasi yang dilakukannya sendiri. Sekolah-sekolah yang tidak punya akses internet, murid yang tidak punya gawai tidak langsung mendapat bantuan, padahal hampir sebagian besar sekolah memilih menerapkan belajar daring. Respons yang lamban juga terlihat dari tidak adanya bantuan bagi anak-anak prasejahtera yang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan luar sekolah (nonformal). Selama masa pandemi ini, pemangku kebijakan terlibat lebih banyak asyik dengan dirinya, melakukan webinar, live di media sosial, tanpa banyak turun langsung ke lapangan, menemui anak-anak yang harus naik bukit untuk dapat sinyal, serta menyemangati guru-guru yang door to door menemui muridnya di tengah anjuran bekerja dari rumah.
Berebut Kursi di Sekolah Negeri
Kisruh yang mewarnai penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang terjadi di Jakarta, bukan hanya soal aturan zonasi yang disangkutkan dengan usia calon siswa. Namun, fenomena soal setiap tahun anak-anak yang harus dihadapkan pada dilema memilih sekolah impian, didasarkan pada pertimbangan yang terbaik dalam pelayanannya, sarana dan prasarananya, serta kualitasnya. Semua anak bermimpi untuk bersekolah di tempat yang menurut mereka terbaik, tapi tidak semua bisa terpenuhi karena kuota terbatas.
Disparitas itu tidak hanya terjadi antarsekolah, namun juga muncul pada mutu dan layanan pendidikan antar-kabupaten-kota. Sekat-sekat terjadi sudah lama, hingga bicara pendidikan Indonesia masih berkutat pada masalah sebaran yang tidak merata, dan mutunya jauh berbeda. Berebut kursi sekolah negeri untuk sebagai anak di sejumlah kota (seperti Jakarta) juga tidak semata soal mutunya, tapi bergeser pada pertimbangan ekonomi. Bagi keluarga yang menyekolahkan anak di negeri, mereka tidak banyak biaya yang harus dikeluarkan, bahkan beberapa program bantuan bisa didapatkan, seperti Kartu Jakarta Pintar. Lain halnya dengan keluarga yang memiliki anak bersekolah di swasta, "duit lagi duit lagi" banyak ongkos yang dikeluarkan, walau tidak semua anak yang sekolah di swasta adalah anak orang mampu.
Ketimpangan Layanan Pendidikan
Guru Relawan Sekolah Darurat Kartini (Sekolah Gratis Ibu Guru Kembar)
TAHUN ajaran baru sudah dimulai, para siswa kembali bersekolah di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai. Ada siswa yang tetap belajar dari rumah, ada pula yang sudah melakukan tatap muka langsung, bertemu teman dan gurunya di kelas. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar ini mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri sebagai panduan pelaksanaan pendidikan di daerah. Protokol kesehatan harus dipastikan dilaksanakan, pengawasan ketat pagi guru dan siswa jangan sampai sekolah menjadi klaster baru penyebaran penyakit yang hingga hari ini belum ditemukan antivirusnya.
Diskusi soal urgensi dimulainya tahun ajaran baru di tengah pandemi sebenarnya sudah mengemuka jauh sebelum pemerintah memutuskan pada 13 Juli 2020 sebagai hari pertama belajar kembali. Sejumlah alasan dikemukakan, di antaranya soal sulitnya menerapkan standar layanan pendidikan yang sama bagi semua siswa di Tanah Air serta banyaknya keluarga secara ekonomi terkena dampak sehingga kemampuan mengeluarkan biaya pendidikan menjadi berkurang. Diskusi itu telah gugur, ibarat nasi sudah jadi bubur, sejak Senin lalu, anak-anak sudah kembali belajar dan guru-guru juga sudah sibuk mengajar, walau pada pekan yang sama pemerintah juga masih sibuk melakukan uji publik atas draf standar pendidikan jarak jauh (PJJ) yang ditelurkan Bandan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tidak heran, jika yang terjadi proses pengajaran di setiap sekolah saat ini digantungkan pada kemampuan guru dan sekolah masing-masing, ada sebagian yang berjalan baik, namun tidak sedikit mengalami kendala.
Masalah kegiatan belajar mengajar di era pandemi ini sudah ditemukan sejak hari pertama saat daerah memutuskan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat itu secara tiba-tiba semua harus dilakukan di rumah termasuk belajar dari rumah sehingga hampir semua gagap. Masalah itu berlanjut sampai sekarang karena pemerintah dinilai lamban merespons hasil evaluasi yang dilakukannya sendiri. Sekolah-sekolah yang tidak punya akses internet, murid yang tidak punya gawai tidak langsung mendapat bantuan, padahal hampir sebagian besar sekolah memilih menerapkan belajar daring. Respons yang lamban juga terlihat dari tidak adanya bantuan bagi anak-anak prasejahtera yang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan luar sekolah (nonformal). Selama masa pandemi ini, pemangku kebijakan terlibat lebih banyak asyik dengan dirinya, melakukan webinar, live di media sosial, tanpa banyak turun langsung ke lapangan, menemui anak-anak yang harus naik bukit untuk dapat sinyal, serta menyemangati guru-guru yang door to door menemui muridnya di tengah anjuran bekerja dari rumah.
Berebut Kursi di Sekolah Negeri
Kisruh yang mewarnai penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang terjadi di Jakarta, bukan hanya soal aturan zonasi yang disangkutkan dengan usia calon siswa. Namun, fenomena soal setiap tahun anak-anak yang harus dihadapkan pada dilema memilih sekolah impian, didasarkan pada pertimbangan yang terbaik dalam pelayanannya, sarana dan prasarananya, serta kualitasnya. Semua anak bermimpi untuk bersekolah di tempat yang menurut mereka terbaik, tapi tidak semua bisa terpenuhi karena kuota terbatas.
Disparitas itu tidak hanya terjadi antarsekolah, namun juga muncul pada mutu dan layanan pendidikan antar-kabupaten-kota. Sekat-sekat terjadi sudah lama, hingga bicara pendidikan Indonesia masih berkutat pada masalah sebaran yang tidak merata, dan mutunya jauh berbeda. Berebut kursi sekolah negeri untuk sebagai anak di sejumlah kota (seperti Jakarta) juga tidak semata soal mutunya, tapi bergeser pada pertimbangan ekonomi. Bagi keluarga yang menyekolahkan anak di negeri, mereka tidak banyak biaya yang harus dikeluarkan, bahkan beberapa program bantuan bisa didapatkan, seperti Kartu Jakarta Pintar. Lain halnya dengan keluarga yang memiliki anak bersekolah di swasta, "duit lagi duit lagi" banyak ongkos yang dikeluarkan, walau tidak semua anak yang sekolah di swasta adalah anak orang mampu.
Ketimpangan Layanan Pendidikan
tulis komentar anda