Pada Mulanya Adalah Ide
Selasa, 16 Mei 2023 - 13:30 WIB
Dan yang relatif baru di sini adalah soal keadilan restorative (restorative justice). Konsep yang digagas sejak 1960-an di berbagai belahan dunia itu makin terkenal ketika Albert Eglash pada 1977 mendeskripsikan adanya 3 (tiga) pendekatan berbeda untuk mencapai keadilan, yakni retributive justice; distributive justice; dan restorative justice.
Pendekatan ketiga itulah yang tampaknya dianggap baik dan kini menjadi praktek nyata dalam proses penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia. Salah satu tonggak perwujudan keadilan restoratif di Indonesia adalah munculnya Peraturan Kejaksaan Agung No. 15 tahun 2020 tentang Penuntuntan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini mengubah cukup drastis proses penegakan hukum pidana di Indonesia dibanding sebelumnya.
Keadilan restoratif itu dimengerti sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan/atau korban, serta pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Keadilan restoratif memahami perbuatan pidana ringan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap hukum negara, tapi lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat. Maka fokus penyelesaianannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat kejahatan itu. Metode keadilan restoratif menekankan keterlibatan aktif pihak-pihak yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang terjadi untuk menemukan jalan penyelesaian.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; cepat; sederhana; biaya ringan; dan pidana sebagai jalan terakhir. Hasilnya, sejak 2020 itu, sudah ratusan kasus pidana yang berhenti, dihentikan, atau dapat diselesaikan di kejaksaan dan tidak berlanjut ke pengadilan.
Kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif ini dianggap dapat memberikan kepastian sekaligus keadilan dan kemanfaatan. Unsur hati nurani tampak memainkan peran penting dalam mewujudkan tujuan hukum itu. Penerapan peraturan kejaksaan itu tentu saja ada syarat-syaratnya, ada tata caranya. Jadi tidak semua kasus pidana bisa dihentikan atau diselesaikan begitu saja di kejaksaan.
Sebelumnya, meski tidak semenonjol apa yang dilakukan di kejaksaan, kepolisian kita juga sudah mulai mempraktekkan keadilan restoratif. Pada 2003, misalnya, Kapolri menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, khusunya bagian kedua yang menyangkut penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas ringan. Selanjutnya, Kapolri mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, tentang penyelesaian penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Dan yang agak mutakhir adalah Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tanggal 19 Agustus 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.. Dalam Perpol ini ditentukan syarat-syarat agar bisa dilakukan keadilan restoratifr, cara penangannannya, pengawasannya, dan lain-lain. Juga ada Surat Edaran Kapolri No. SE/2/2021 terkait pencemaran nama baik di media sosial.
Mahkamah Agung Republik Indonesia juga sudah lama merintisnya. Ada beberapa Peraturan Mahkahamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penerapan keadilan restoratif ini. Misalnya, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalagunaan, Korban Penyalaguanaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Lalu Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum juga bisa dibaca sebagai salah satu rintisan menuju keadilan restoratif.
Pendekatan ketiga itulah yang tampaknya dianggap baik dan kini menjadi praktek nyata dalam proses penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia. Salah satu tonggak perwujudan keadilan restoratif di Indonesia adalah munculnya Peraturan Kejaksaan Agung No. 15 tahun 2020 tentang Penuntuntan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini mengubah cukup drastis proses penegakan hukum pidana di Indonesia dibanding sebelumnya.
Keadilan restoratif itu dimengerti sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan/atau korban, serta pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Keadilan restoratif memahami perbuatan pidana ringan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap hukum negara, tapi lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat. Maka fokus penyelesaianannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat kejahatan itu. Metode keadilan restoratif menekankan keterlibatan aktif pihak-pihak yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang terjadi untuk menemukan jalan penyelesaian.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; cepat; sederhana; biaya ringan; dan pidana sebagai jalan terakhir. Hasilnya, sejak 2020 itu, sudah ratusan kasus pidana yang berhenti, dihentikan, atau dapat diselesaikan di kejaksaan dan tidak berlanjut ke pengadilan.
Kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif ini dianggap dapat memberikan kepastian sekaligus keadilan dan kemanfaatan. Unsur hati nurani tampak memainkan peran penting dalam mewujudkan tujuan hukum itu. Penerapan peraturan kejaksaan itu tentu saja ada syarat-syaratnya, ada tata caranya. Jadi tidak semua kasus pidana bisa dihentikan atau diselesaikan begitu saja di kejaksaan.
Sebelumnya, meski tidak semenonjol apa yang dilakukan di kejaksaan, kepolisian kita juga sudah mulai mempraktekkan keadilan restoratif. Pada 2003, misalnya, Kapolri menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, khusunya bagian kedua yang menyangkut penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas ringan. Selanjutnya, Kapolri mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, tentang penyelesaian penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Dan yang agak mutakhir adalah Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tanggal 19 Agustus 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.. Dalam Perpol ini ditentukan syarat-syarat agar bisa dilakukan keadilan restoratifr, cara penangannannya, pengawasannya, dan lain-lain. Juga ada Surat Edaran Kapolri No. SE/2/2021 terkait pencemaran nama baik di media sosial.
Mahkamah Agung Republik Indonesia juga sudah lama merintisnya. Ada beberapa Peraturan Mahkahamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penerapan keadilan restoratif ini. Misalnya, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalagunaan, Korban Penyalaguanaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Lalu Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum juga bisa dibaca sebagai salah satu rintisan menuju keadilan restoratif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda