Pemberantasan Kejahatan Perikanan
Selasa, 21 Juli 2020 - 19:30 WIB
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
MEMASUKI periode 2019-2024, pembangunan kelautan dan perikanan memasuki babak baru. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal merevisi nyaris semua kebijakan sebelumnya. Padahal dulunya buat memberantas kejahatan perikanan. Permen KP Nomor 10/2015 yang merevisi Permen KP Nomor 56/2014 menghentikan izin kapal ikan asing dan eks asing beroperasi di perairan Indonesia termasuk alih muatan (transhipment) di tengah laut (illegal). Permen KP Nomor 2/2015 melarang alat tangkap pukat hela dan pukat tarik (unregulated). Permen KP Nomor 56/2016 melarang ekspor benih lobster, termasuk memberantas penyelundupannya (unreported). Pendek kata semua kebijakan itu mencegah tindakan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Kini KKP merevisi dan bakal membolehkan semuanya. Hingga kini baru ekspor benih lobster yang dilegalkan lewat Permen KP Nomor 12/2020. Bukankah kebijakan ini sama saja membiarkan kejahatan perikanan merajalela?
Perubahan drastis ini menimbulkan tanda tanya. Kita ini mau memberantas kejahatan perikanan atau sebaliknya? Pantas saja nelayan tradisional dan gerakan masyarakat sipil menyoal kebijakan baru itu. Untuk kepentingan siapa keluarnya kebijakan itu? Apakah kebijakan sepanjang 2014-2019 berdampak buruk bagi tata kelola perikanan kita? Atau, kebijakan baru berkelindan dengan kepentingan ekonomi politik yang menyertainya?
Dampak
Pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 bukan menggarami air laut. Ia berdampak positif bagi tata kelola dan kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan. Pertama, sejak 2014 potensi sumber daya ikan (SDI) Indonesia meningkat dari 7,3 juta ton (2013) menjadi 12.54 juta ton (2016) . Memberantas kejahatan perikanan setidaknya berimbas memulihkan stok sumber daya ikan Indonesia. Kondisi ini mendongkrak konsumsi ikan per kapita masyarakat. Bila tahun 2010 konsumsinya hanya 30,48 kg per kapita/tahun, sepanjang 2015-2018 melonjak terus-menerus. Mulai dari 41,11 kg per kapita per tahun (2015) menjadi 43,88 kg per kapita pertahun (2016), naik lagi 47,12 kg per kapita per tahun (2017) hingga 50,65 kg per kapita per tahun (2018).
Kedua, produksi perikanan tangkap melonjak dengan kenaikan rata-rata 2,82% per tahun. Tahun 2014 total produksi mencapai 6,5 juta ton senilai Rp108 triliun, naik 7,2 juta ton di tahun 2018 atau senilai Rp140 triliun. Capaian produksi ini semuanya menggunakan kapal dalam negeri. Meski diduga 40% masih masuk kategori tidak dilaporkan (unreported) (KKP,2019).
Ketiga, merosotnya bahan baku industri perikanan tak selama benar. Memang awal 2014 industri perikanan di Bitung defisit kekurangan bahan baku. Sesudahnya, secara agregat nasional rata-rata kapasitas terpasang SDI sepanjang 2015-2019 mencapai 71,36% (BI, 2020). Artinya kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan mendegradasi pasokan bahan baku industri perikanan.
Keempat, perdagangan komoditas perikanan cenderung meningkat. Di awal penerapan kebijakan tahun 2014, ekspor perikanan memang turun. Namun sesudahnya, sepanjang 2014-2018 ekspor perikanan naik 7,23% per tahun. Komoditas ekspor terbesarnya udang senilai udang (USD1.742,09 miliar atau 7,4%) dan rumput laut (213,01 ribu ton atau 11,03%. Tujuan ekspor terbesar Amerika Serikat (USD 1,88 miliar atau 38,61%) (KKP, 2019). Sepanjang tahun 2014-2018, volume rata-rata ekspor perikanan mencapai 1.105 juta ton dan impor 0,273 juta ton, sehingga neracanya 0,832 juta ton per tahunnya. Sedangkan, nilai rata-rata ekspor mencapai USD4,426 miliar dan nilai impor sebesar USD0,38 miliar sehingga mencapai neraca USD4.046 miliar per tahunnya (BPS, 2017 dan 2019). Angka perdagangan ini menandai pemberantasan kejahatan perikanan efektif. Meski tahun 2015 terdapat temuan perdagangan ikan ilegal ke Jepang senilai USD 312,05 juta (Ganapathiraju, et al, 2017). Hingga, penyelundupan benih lobster sejumlah 542.953 ekor senilai Rp 27,3 miliar (2015) dan 1.346.484 ekor senilai Rp 71,7 miliar (2016).
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
MEMASUKI periode 2019-2024, pembangunan kelautan dan perikanan memasuki babak baru. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal merevisi nyaris semua kebijakan sebelumnya. Padahal dulunya buat memberantas kejahatan perikanan. Permen KP Nomor 10/2015 yang merevisi Permen KP Nomor 56/2014 menghentikan izin kapal ikan asing dan eks asing beroperasi di perairan Indonesia termasuk alih muatan (transhipment) di tengah laut (illegal). Permen KP Nomor 2/2015 melarang alat tangkap pukat hela dan pukat tarik (unregulated). Permen KP Nomor 56/2016 melarang ekspor benih lobster, termasuk memberantas penyelundupannya (unreported). Pendek kata semua kebijakan itu mencegah tindakan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Kini KKP merevisi dan bakal membolehkan semuanya. Hingga kini baru ekspor benih lobster yang dilegalkan lewat Permen KP Nomor 12/2020. Bukankah kebijakan ini sama saja membiarkan kejahatan perikanan merajalela?
Perubahan drastis ini menimbulkan tanda tanya. Kita ini mau memberantas kejahatan perikanan atau sebaliknya? Pantas saja nelayan tradisional dan gerakan masyarakat sipil menyoal kebijakan baru itu. Untuk kepentingan siapa keluarnya kebijakan itu? Apakah kebijakan sepanjang 2014-2019 berdampak buruk bagi tata kelola perikanan kita? Atau, kebijakan baru berkelindan dengan kepentingan ekonomi politik yang menyertainya?
Dampak
Pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 bukan menggarami air laut. Ia berdampak positif bagi tata kelola dan kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan. Pertama, sejak 2014 potensi sumber daya ikan (SDI) Indonesia meningkat dari 7,3 juta ton (2013) menjadi 12.54 juta ton (2016) . Memberantas kejahatan perikanan setidaknya berimbas memulihkan stok sumber daya ikan Indonesia. Kondisi ini mendongkrak konsumsi ikan per kapita masyarakat. Bila tahun 2010 konsumsinya hanya 30,48 kg per kapita/tahun, sepanjang 2015-2018 melonjak terus-menerus. Mulai dari 41,11 kg per kapita per tahun (2015) menjadi 43,88 kg per kapita pertahun (2016), naik lagi 47,12 kg per kapita per tahun (2017) hingga 50,65 kg per kapita per tahun (2018).
Kedua, produksi perikanan tangkap melonjak dengan kenaikan rata-rata 2,82% per tahun. Tahun 2014 total produksi mencapai 6,5 juta ton senilai Rp108 triliun, naik 7,2 juta ton di tahun 2018 atau senilai Rp140 triliun. Capaian produksi ini semuanya menggunakan kapal dalam negeri. Meski diduga 40% masih masuk kategori tidak dilaporkan (unreported) (KKP,2019).
Ketiga, merosotnya bahan baku industri perikanan tak selama benar. Memang awal 2014 industri perikanan di Bitung defisit kekurangan bahan baku. Sesudahnya, secara agregat nasional rata-rata kapasitas terpasang SDI sepanjang 2015-2019 mencapai 71,36% (BI, 2020). Artinya kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan mendegradasi pasokan bahan baku industri perikanan.
Keempat, perdagangan komoditas perikanan cenderung meningkat. Di awal penerapan kebijakan tahun 2014, ekspor perikanan memang turun. Namun sesudahnya, sepanjang 2014-2018 ekspor perikanan naik 7,23% per tahun. Komoditas ekspor terbesarnya udang senilai udang (USD1.742,09 miliar atau 7,4%) dan rumput laut (213,01 ribu ton atau 11,03%. Tujuan ekspor terbesar Amerika Serikat (USD 1,88 miliar atau 38,61%) (KKP, 2019). Sepanjang tahun 2014-2018, volume rata-rata ekspor perikanan mencapai 1.105 juta ton dan impor 0,273 juta ton, sehingga neracanya 0,832 juta ton per tahunnya. Sedangkan, nilai rata-rata ekspor mencapai USD4,426 miliar dan nilai impor sebesar USD0,38 miliar sehingga mencapai neraca USD4.046 miliar per tahunnya (BPS, 2017 dan 2019). Angka perdagangan ini menandai pemberantasan kejahatan perikanan efektif. Meski tahun 2015 terdapat temuan perdagangan ikan ilegal ke Jepang senilai USD 312,05 juta (Ganapathiraju, et al, 2017). Hingga, penyelundupan benih lobster sejumlah 542.953 ekor senilai Rp 27,3 miliar (2015) dan 1.346.484 ekor senilai Rp 71,7 miliar (2016).
tulis komentar anda