Pemberantasan Kejahatan Perikanan
loading...
A
A
A
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
MEMASUKI periode 2019-2024, pembangunan kelautan dan perikanan memasuki babak baru. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal merevisi nyaris semua kebijakan sebelumnya. Padahal dulunya buat memberantas kejahatan perikanan. Permen KP Nomor 10/2015 yang merevisi Permen KP Nomor 56/2014 menghentikan izin kapal ikan asing dan eks asing beroperasi di perairan Indonesia termasuk alih muatan (transhipment) di tengah laut (illegal). Permen KP Nomor 2/2015 melarang alat tangkap pukat hela dan pukat tarik (unregulated). Permen KP Nomor 56/2016 melarang ekspor benih lobster, termasuk memberantas penyelundupannya (unreported). Pendek kata semua kebijakan itu mencegah tindakan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Kini KKP merevisi dan bakal membolehkan semuanya. Hingga kini baru ekspor benih lobster yang dilegalkan lewat Permen KP Nomor 12/2020. Bukankah kebijakan ini sama saja membiarkan kejahatan perikanan merajalela?
Perubahan drastis ini menimbulkan tanda tanya. Kita ini mau memberantas kejahatan perikanan atau sebaliknya? Pantas saja nelayan tradisional dan gerakan masyarakat sipil menyoal kebijakan baru itu. Untuk kepentingan siapa keluarnya kebijakan itu? Apakah kebijakan sepanjang 2014-2019 berdampak buruk bagi tata kelola perikanan kita? Atau, kebijakan baru berkelindan dengan kepentingan ekonomi politik yang menyertainya?
Dampak
Pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 bukan menggarami air laut. Ia berdampak positif bagi tata kelola dan kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan. Pertama, sejak 2014 potensi sumber daya ikan (SDI) Indonesia meningkat dari 7,3 juta ton (2013) menjadi 12.54 juta ton (2016) . Memberantas kejahatan perikanan setidaknya berimbas memulihkan stok sumber daya ikan Indonesia. Kondisi ini mendongkrak konsumsi ikan per kapita masyarakat. Bila tahun 2010 konsumsinya hanya 30,48 kg per kapita/tahun, sepanjang 2015-2018 melonjak terus-menerus. Mulai dari 41,11 kg per kapita per tahun (2015) menjadi 43,88 kg per kapita pertahun (2016), naik lagi 47,12 kg per kapita per tahun (2017) hingga 50,65 kg per kapita per tahun (2018).
Kedua, produksi perikanan tangkap melonjak dengan kenaikan rata-rata 2,82% per tahun. Tahun 2014 total produksi mencapai 6,5 juta ton senilai Rp108 triliun, naik 7,2 juta ton di tahun 2018 atau senilai Rp140 triliun. Capaian produksi ini semuanya menggunakan kapal dalam negeri. Meski diduga 40% masih masuk kategori tidak dilaporkan (unreported) (KKP,2019).
Ketiga, merosotnya bahan baku industri perikanan tak selama benar. Memang awal 2014 industri perikanan di Bitung defisit kekurangan bahan baku. Sesudahnya, secara agregat nasional rata-rata kapasitas terpasang SDI sepanjang 2015-2019 mencapai 71,36% (BI, 2020). Artinya kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan mendegradasi pasokan bahan baku industri perikanan.
Keempat, perdagangan komoditas perikanan cenderung meningkat. Di awal penerapan kebijakan tahun 2014, ekspor perikanan memang turun. Namun sesudahnya, sepanjang 2014-2018 ekspor perikanan naik 7,23% per tahun. Komoditas ekspor terbesarnya udang senilai udang (USD1.742,09 miliar atau 7,4%) dan rumput laut (213,01 ribu ton atau 11,03%. Tujuan ekspor terbesar Amerika Serikat (USD 1,88 miliar atau 38,61%) (KKP, 2019). Sepanjang tahun 2014-2018, volume rata-rata ekspor perikanan mencapai 1.105 juta ton dan impor 0,273 juta ton, sehingga neracanya 0,832 juta ton per tahunnya. Sedangkan, nilai rata-rata ekspor mencapai USD4,426 miliar dan nilai impor sebesar USD0,38 miliar sehingga mencapai neraca USD4.046 miliar per tahunnya (BPS, 2017 dan 2019). Angka perdagangan ini menandai pemberantasan kejahatan perikanan efektif. Meski tahun 2015 terdapat temuan perdagangan ikan ilegal ke Jepang senilai USD 312,05 juta (Ganapathiraju, et al, 2017). Hingga, penyelundupan benih lobster sejumlah 542.953 ekor senilai Rp 27,3 miliar (2015) dan 1.346.484 ekor senilai Rp 71,7 miliar (2016).
Kelima, BPS 2019 merilis, rata-rata kontribusinya PDB sektor perikanan terhadap PDB nasional sepanjang 2015-2018 naik 2,56%. Jika diasumsikan setiap kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi menyediakan lapangan kerja 200.000 orang. Maka, sektor perikanan mampu menyerap 2,048 juta orang selama 2015-2018 (BPS 2019).
Keenam, sepanjang 2014-2019, penerima negara bukan pajak (PNBP) dan pajak di sektor perikanan meningkat. Artinya, pelaku usaha perikanan punya tingkat kepatuhan tinggi. Nilai rata-rata PNBP Rp426,98 miliar dan pajak Rp1189,2 miliar per tahun (Kemnekeu, 2019).
Ketujuh, selama 2014-2018 rata-rata pertumbuhan nilai tukar nelayan (NTN) sebesar 2,01%. Mulai 104,63 (2014) naik jadi 113,28 (2018). Artinya, daya beli nelayan membaik akibat indeks yang diterima lebih besar ketimbang yang dikeluarkan (BPS, 2019).
Kedelapan, pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 meredam intensitas konflik antar nelayan. Terutama nelayan pengguna alat tangkap merusak dengan pengguna alat tangkap ramah lingkungan. Indonesia melarang kejahatan perikanan di wilayah yurisdiksinya merupakan kewajibannya negara pantai selaras dengan Fisheries Management Organizations (RFMOs). Semua fakta ini membuktikan pemberantasan kejahatan perikanan memperbaiki tata kelola perikanan, sumber dayanya, kinerja ekonomi dan kehidupan nelayan.
Kesembilan, berdampak bagi negara pencuri ikan di Indonesia. Bank Dunia mencatat akibat kebijakan ketat pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia, kontribusi perikanan Thailand terhadap PDB-nya merosot hingga minus 13.3% di tahun 2014 dan minus 2,3% di tahun 2015 (Karim 2020). Di samping itu, ekspor ikan tuna Thailand ke Amerika Serikat sepanjang Januari-September 2015 merosot 17,36% sedangkan Filipina 32,59% ketimbang periode yang sama 2014. Sebaliknya, ekspor Indonesia melonjak 7,73% selama periode itu 2015 dibandingkan 2014 (US-Comtrade, 2015).
Melanjutkan
Kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia sepanjang 2014-2019 memang belum sepenuhnya berjalan optimal. Masih ada resistensi dari nelayan pengguna cantrang. Meski pelbagai daerah mendukungnya, seperti Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Kini kebijakan itu berubah. Otomatis bakal memicu kegaduhan baru. Pasca keluarnya Permen KP Nomor 12/2020, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), gerakan masyarakat sipil dan intelektual, bereaksi keras serta menolaknya. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik kebijakan ini?
Sebelum kebijakan pemberantasan IUUF berlaku ketat 2014, Indonesia jadi surga pelaku kejahatan perikanan. Beberapa fakta, (i) ditemukannya neraca perdagangan Tuna Albacore ke Thailand tahun 2010 punya selisih fantastis 271.419 kg (52%) senilai USD1.070.630 yang tak tercatat di Indonesia (Santosa, 2019); (ii) perdagangan produk seafood ilegal ke Amerika Serikat sebesar USD319,56 juta (Ganapathiraju, et al, 2011); dan temuan IUUF jenis ikan karang, tuna, ikan teri, hiu, teripang dan lobster di Raja Ampat tahun 2006 melebihi tangkapan yang dilaporkan hingga 40 ribu ton senilai USD40 juta (Varkey et al, 2010). Berbagai fakta inilah pemerintah sejak tahun 2014 memasifkan pemberantasan kejahatan perikanan. Mengapa? Dampak merugikan negara akibat kehilangan PNBP, dan pajak juga rumah tangga nelayan (RTN) menurun drastis selama satu dekade dari 1,6 juta (2003) menjadi 868.414 (2013). Mereka semakin terpinggirkan mengakses sumber daya ikan.
Kejahatan perikanan masuk kategori ocean grabbing yaitu perampasan ruang dan sumber dayanya lewat perubahan rezim “alokasikan”. Perubahan itu diantaranya: (i) memberi izin dan akses kapal asing di Indonesia hingga mengurangi aktivitas nelayan lokal menangkap ikan; (ii) Kebijakan alokasi kuota, dan pengurangan zona perikanan skala kecil; serta (iii) Aktivitas IUUF yang mendegradasi stok sumber daya ikan (Bennet et al, 2015). Merujuk beragam fakta di atas, kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan yang telah diatur mesti dilanjutkan. Pasalnya ia tak hanya merugikan negara, melainkan kapalnya juga digunakan menyelundupkan obat terlarang, perbudakan, perdagangan senjata dan penyaluran imigran gelap berkedok menangkap ikan sehingga melanggar HAM (UNDOC, 2011). Menyangkut HAM, Indonesia telah mengaturnya lewat Permen KP Nomor 35/2015 tentang sistem dan sertifikasi HAM usaha perikanan. Kini pemerintah sebaiknya mengurungkan niatnya mereduksi kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan. Supaya ruang dan sumber daya perikanan kita tak dijarah pemilik modal dan negara lain. Imbasnya, kita berdaulat atas laut dan sumber dayanya, serta tak menambah kemiskinan dan kesenjangan baru di wilayah pesisir apalagi selama wabah Covid-19 ini. Semoga!
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
MEMASUKI periode 2019-2024, pembangunan kelautan dan perikanan memasuki babak baru. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal merevisi nyaris semua kebijakan sebelumnya. Padahal dulunya buat memberantas kejahatan perikanan. Permen KP Nomor 10/2015 yang merevisi Permen KP Nomor 56/2014 menghentikan izin kapal ikan asing dan eks asing beroperasi di perairan Indonesia termasuk alih muatan (transhipment) di tengah laut (illegal). Permen KP Nomor 2/2015 melarang alat tangkap pukat hela dan pukat tarik (unregulated). Permen KP Nomor 56/2016 melarang ekspor benih lobster, termasuk memberantas penyelundupannya (unreported). Pendek kata semua kebijakan itu mencegah tindakan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Kini KKP merevisi dan bakal membolehkan semuanya. Hingga kini baru ekspor benih lobster yang dilegalkan lewat Permen KP Nomor 12/2020. Bukankah kebijakan ini sama saja membiarkan kejahatan perikanan merajalela?
Perubahan drastis ini menimbulkan tanda tanya. Kita ini mau memberantas kejahatan perikanan atau sebaliknya? Pantas saja nelayan tradisional dan gerakan masyarakat sipil menyoal kebijakan baru itu. Untuk kepentingan siapa keluarnya kebijakan itu? Apakah kebijakan sepanjang 2014-2019 berdampak buruk bagi tata kelola perikanan kita? Atau, kebijakan baru berkelindan dengan kepentingan ekonomi politik yang menyertainya?
Dampak
Pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 bukan menggarami air laut. Ia berdampak positif bagi tata kelola dan kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan. Pertama, sejak 2014 potensi sumber daya ikan (SDI) Indonesia meningkat dari 7,3 juta ton (2013) menjadi 12.54 juta ton (2016) . Memberantas kejahatan perikanan setidaknya berimbas memulihkan stok sumber daya ikan Indonesia. Kondisi ini mendongkrak konsumsi ikan per kapita masyarakat. Bila tahun 2010 konsumsinya hanya 30,48 kg per kapita/tahun, sepanjang 2015-2018 melonjak terus-menerus. Mulai dari 41,11 kg per kapita per tahun (2015) menjadi 43,88 kg per kapita pertahun (2016), naik lagi 47,12 kg per kapita per tahun (2017) hingga 50,65 kg per kapita per tahun (2018).
Kedua, produksi perikanan tangkap melonjak dengan kenaikan rata-rata 2,82% per tahun. Tahun 2014 total produksi mencapai 6,5 juta ton senilai Rp108 triliun, naik 7,2 juta ton di tahun 2018 atau senilai Rp140 triliun. Capaian produksi ini semuanya menggunakan kapal dalam negeri. Meski diduga 40% masih masuk kategori tidak dilaporkan (unreported) (KKP,2019).
Ketiga, merosotnya bahan baku industri perikanan tak selama benar. Memang awal 2014 industri perikanan di Bitung defisit kekurangan bahan baku. Sesudahnya, secara agregat nasional rata-rata kapasitas terpasang SDI sepanjang 2015-2019 mencapai 71,36% (BI, 2020). Artinya kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan mendegradasi pasokan bahan baku industri perikanan.
Keempat, perdagangan komoditas perikanan cenderung meningkat. Di awal penerapan kebijakan tahun 2014, ekspor perikanan memang turun. Namun sesudahnya, sepanjang 2014-2018 ekspor perikanan naik 7,23% per tahun. Komoditas ekspor terbesarnya udang senilai udang (USD1.742,09 miliar atau 7,4%) dan rumput laut (213,01 ribu ton atau 11,03%. Tujuan ekspor terbesar Amerika Serikat (USD 1,88 miliar atau 38,61%) (KKP, 2019). Sepanjang tahun 2014-2018, volume rata-rata ekspor perikanan mencapai 1.105 juta ton dan impor 0,273 juta ton, sehingga neracanya 0,832 juta ton per tahunnya. Sedangkan, nilai rata-rata ekspor mencapai USD4,426 miliar dan nilai impor sebesar USD0,38 miliar sehingga mencapai neraca USD4.046 miliar per tahunnya (BPS, 2017 dan 2019). Angka perdagangan ini menandai pemberantasan kejahatan perikanan efektif. Meski tahun 2015 terdapat temuan perdagangan ikan ilegal ke Jepang senilai USD 312,05 juta (Ganapathiraju, et al, 2017). Hingga, penyelundupan benih lobster sejumlah 542.953 ekor senilai Rp 27,3 miliar (2015) dan 1.346.484 ekor senilai Rp 71,7 miliar (2016).
Kelima, BPS 2019 merilis, rata-rata kontribusinya PDB sektor perikanan terhadap PDB nasional sepanjang 2015-2018 naik 2,56%. Jika diasumsikan setiap kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi menyediakan lapangan kerja 200.000 orang. Maka, sektor perikanan mampu menyerap 2,048 juta orang selama 2015-2018 (BPS 2019).
Keenam, sepanjang 2014-2019, penerima negara bukan pajak (PNBP) dan pajak di sektor perikanan meningkat. Artinya, pelaku usaha perikanan punya tingkat kepatuhan tinggi. Nilai rata-rata PNBP Rp426,98 miliar dan pajak Rp1189,2 miliar per tahun (Kemnekeu, 2019).
Ketujuh, selama 2014-2018 rata-rata pertumbuhan nilai tukar nelayan (NTN) sebesar 2,01%. Mulai 104,63 (2014) naik jadi 113,28 (2018). Artinya, daya beli nelayan membaik akibat indeks yang diterima lebih besar ketimbang yang dikeluarkan (BPS, 2019).
Kedelapan, pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 meredam intensitas konflik antar nelayan. Terutama nelayan pengguna alat tangkap merusak dengan pengguna alat tangkap ramah lingkungan. Indonesia melarang kejahatan perikanan di wilayah yurisdiksinya merupakan kewajibannya negara pantai selaras dengan Fisheries Management Organizations (RFMOs). Semua fakta ini membuktikan pemberantasan kejahatan perikanan memperbaiki tata kelola perikanan, sumber dayanya, kinerja ekonomi dan kehidupan nelayan.
Kesembilan, berdampak bagi negara pencuri ikan di Indonesia. Bank Dunia mencatat akibat kebijakan ketat pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia, kontribusi perikanan Thailand terhadap PDB-nya merosot hingga minus 13.3% di tahun 2014 dan minus 2,3% di tahun 2015 (Karim 2020). Di samping itu, ekspor ikan tuna Thailand ke Amerika Serikat sepanjang Januari-September 2015 merosot 17,36% sedangkan Filipina 32,59% ketimbang periode yang sama 2014. Sebaliknya, ekspor Indonesia melonjak 7,73% selama periode itu 2015 dibandingkan 2014 (US-Comtrade, 2015).
Melanjutkan
Kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia sepanjang 2014-2019 memang belum sepenuhnya berjalan optimal. Masih ada resistensi dari nelayan pengguna cantrang. Meski pelbagai daerah mendukungnya, seperti Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Kini kebijakan itu berubah. Otomatis bakal memicu kegaduhan baru. Pasca keluarnya Permen KP Nomor 12/2020, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), gerakan masyarakat sipil dan intelektual, bereaksi keras serta menolaknya. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik kebijakan ini?
Sebelum kebijakan pemberantasan IUUF berlaku ketat 2014, Indonesia jadi surga pelaku kejahatan perikanan. Beberapa fakta, (i) ditemukannya neraca perdagangan Tuna Albacore ke Thailand tahun 2010 punya selisih fantastis 271.419 kg (52%) senilai USD1.070.630 yang tak tercatat di Indonesia (Santosa, 2019); (ii) perdagangan produk seafood ilegal ke Amerika Serikat sebesar USD319,56 juta (Ganapathiraju, et al, 2011); dan temuan IUUF jenis ikan karang, tuna, ikan teri, hiu, teripang dan lobster di Raja Ampat tahun 2006 melebihi tangkapan yang dilaporkan hingga 40 ribu ton senilai USD40 juta (Varkey et al, 2010). Berbagai fakta inilah pemerintah sejak tahun 2014 memasifkan pemberantasan kejahatan perikanan. Mengapa? Dampak merugikan negara akibat kehilangan PNBP, dan pajak juga rumah tangga nelayan (RTN) menurun drastis selama satu dekade dari 1,6 juta (2003) menjadi 868.414 (2013). Mereka semakin terpinggirkan mengakses sumber daya ikan.
Kejahatan perikanan masuk kategori ocean grabbing yaitu perampasan ruang dan sumber dayanya lewat perubahan rezim “alokasikan”. Perubahan itu diantaranya: (i) memberi izin dan akses kapal asing di Indonesia hingga mengurangi aktivitas nelayan lokal menangkap ikan; (ii) Kebijakan alokasi kuota, dan pengurangan zona perikanan skala kecil; serta (iii) Aktivitas IUUF yang mendegradasi stok sumber daya ikan (Bennet et al, 2015). Merujuk beragam fakta di atas, kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan yang telah diatur mesti dilanjutkan. Pasalnya ia tak hanya merugikan negara, melainkan kapalnya juga digunakan menyelundupkan obat terlarang, perbudakan, perdagangan senjata dan penyaluran imigran gelap berkedok menangkap ikan sehingga melanggar HAM (UNDOC, 2011). Menyangkut HAM, Indonesia telah mengaturnya lewat Permen KP Nomor 35/2015 tentang sistem dan sertifikasi HAM usaha perikanan. Kini pemerintah sebaiknya mengurungkan niatnya mereduksi kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan. Supaya ruang dan sumber daya perikanan kita tak dijarah pemilik modal dan negara lain. Imbasnya, kita berdaulat atas laut dan sumber dayanya, serta tak menambah kemiskinan dan kesenjangan baru di wilayah pesisir apalagi selama wabah Covid-19 ini. Semoga!
(ras)