Logika Ekonomi Versus Kesadaran Ekologi
Sabtu, 15 April 2023 - 17:33 WIB
Sebagian orang masih meraruh percaya pada rumus Pareto, tapi ternyata tak sepenuhnya benar. Ia menilai sebuah kebijakan akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan sosial sejauh ada (minimal) satu orang yang berubah jadi lebih baik, di samping tak ada yang terkena dampak lebih buruk.
Ahli ekonomi Vilfredo Pareto merasa ekuilibrium pasar bakal kompetitif apabila terjadi pertukaran pasar dalam alokasi sumber daya. Namun, untuk mencapai kondisi ini ada syaratnya, yakni sudah terpenuhinya ruang ”pilihan rasional”, kemudian didukung informasi yang lengkap, dan tiadanya gangguan eksternalitas.
Kendati demikian, tolak ukur ini lebih sering meleset. Ia lupa dalam tiap pilihan kebijakan mengandung kesenjangan di sana yang selalu mengintip, terlebih jika dihadapkan pada faktor lainnya, seperti kemungkinan adanya ketegangan konflik kepentingan yang terkadang menyebabkan suatu keputusan ekonomi gagal dalam mengantisipasi ekses dimensi sosial yang muncul belakangan.
Di banyak belahan dunia, fakta terdegradasinya lingkungan mudah ditemukan di mana-mana, bahkan pemerintahan suatu negara ikut berdosa dalam soal ini. Berapa banyak ragam budaya dan masyarakat adat yang lenyap, polusi udara yang tak terkendali, maupun limbah beracun yang menghancurkan ekosistem hayati.
Tak sedikit kasus yang diakibatkan kecerobohan suatu pemerintahan, misalnya peristiwa chernobyl tahun 1986 di Ukraina, hingga sungai Yangtze di China yang tercemar parah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya sebagai bukti lingkungan yang makin rusak akibat ulah pemerintahan yang sembrono.
Sebagian pihak berpendapat, masalah ini dimulai sejak kemunculan filsafat modern yang berusaha melangkah terlalu jauh dengan memisahkan manusia dan alam. Rene Descartes (1596-1650) disebut sebagai pionir revolusi ilmiah yang mempopulerkan filsafat subjek sebagai petanda masa kejayaan rasionalitas.
Filsafat Cartesian merasa manusia mampu bergerak matematis dan dapat memprediksi apapun berdasarkan pikiran analitis. Dunia seisinya dipandang sebatas sebagai kumpulan benda. Tradisi ini akhirnya menjadi cukup dominan dan manusia sibuk menyandarkan diri pada pengetahuan ilmiah yang justru mendegradasi alam, termasuk moral. Ujungnya, moralitas dan etika hanyut menuju pendangkalan.
Sepanjang dualisme Cartesian ini meruncing, yang memisahkan subjek manusia maka berimplikasi menjauhkan manusia modern dari alam. Apabila ditarik lebih jauh ke filsafat Yunani, Cartesian relatif lebih dekat kepada pemikiran Plato. Relasi antara jiwa dan tubuh, pikiran dan perasaan maupun manusia dan dunia dianggap sesuatu yang terpisah. Inilah sejatinya yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam hingga saat ini.
Ahli ekonomi Vilfredo Pareto merasa ekuilibrium pasar bakal kompetitif apabila terjadi pertukaran pasar dalam alokasi sumber daya. Namun, untuk mencapai kondisi ini ada syaratnya, yakni sudah terpenuhinya ruang ”pilihan rasional”, kemudian didukung informasi yang lengkap, dan tiadanya gangguan eksternalitas.
Kendati demikian, tolak ukur ini lebih sering meleset. Ia lupa dalam tiap pilihan kebijakan mengandung kesenjangan di sana yang selalu mengintip, terlebih jika dihadapkan pada faktor lainnya, seperti kemungkinan adanya ketegangan konflik kepentingan yang terkadang menyebabkan suatu keputusan ekonomi gagal dalam mengantisipasi ekses dimensi sosial yang muncul belakangan.
Di banyak belahan dunia, fakta terdegradasinya lingkungan mudah ditemukan di mana-mana, bahkan pemerintahan suatu negara ikut berdosa dalam soal ini. Berapa banyak ragam budaya dan masyarakat adat yang lenyap, polusi udara yang tak terkendali, maupun limbah beracun yang menghancurkan ekosistem hayati.
Tak sedikit kasus yang diakibatkan kecerobohan suatu pemerintahan, misalnya peristiwa chernobyl tahun 1986 di Ukraina, hingga sungai Yangtze di China yang tercemar parah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya sebagai bukti lingkungan yang makin rusak akibat ulah pemerintahan yang sembrono.
Sebagian pihak berpendapat, masalah ini dimulai sejak kemunculan filsafat modern yang berusaha melangkah terlalu jauh dengan memisahkan manusia dan alam. Rene Descartes (1596-1650) disebut sebagai pionir revolusi ilmiah yang mempopulerkan filsafat subjek sebagai petanda masa kejayaan rasionalitas.
Filsafat Cartesian merasa manusia mampu bergerak matematis dan dapat memprediksi apapun berdasarkan pikiran analitis. Dunia seisinya dipandang sebatas sebagai kumpulan benda. Tradisi ini akhirnya menjadi cukup dominan dan manusia sibuk menyandarkan diri pada pengetahuan ilmiah yang justru mendegradasi alam, termasuk moral. Ujungnya, moralitas dan etika hanyut menuju pendangkalan.
Sepanjang dualisme Cartesian ini meruncing, yang memisahkan subjek manusia maka berimplikasi menjauhkan manusia modern dari alam. Apabila ditarik lebih jauh ke filsafat Yunani, Cartesian relatif lebih dekat kepada pemikiran Plato. Relasi antara jiwa dan tubuh, pikiran dan perasaan maupun manusia dan dunia dianggap sesuatu yang terpisah. Inilah sejatinya yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam hingga saat ini.
Manusia Subjek
Pembelahan tersebut membuat manusia menjadi subjek di mana menganggap sesuatu di luar dirinya sebagai yang lain dan diletakkan sebatas objek penglihatan. Akhirnya, manusia modern menilai alam dan dunia bukan bagian dari dirinya. Dosis kesombongannya pun bertambah, mati rasa dan acuh tak acuh terhadap kondisi lingkungan hidup.
tulis komentar anda