Logika Ekonomi Versus Kesadaran Ekologi

Sabtu, 15 April 2023 - 17:33 WIB
Sebagian pihak berpendapat, masalah ini dimulai sejak kemunculan filsafat modern yang berusaha melangkah terlalu jauh dengan memisahkan manusia dan alam. Rene Descartes (1596-1650) disebut sebagai pionir revolusi ilmiah yang mempopulerkan filsafat subjek sebagai petanda masa kejayaan rasionalitas.

Filsafat Cartesian merasa manusia mampu bergerak matematis dan dapat memprediksi apapun berdasarkan pikiran analitis. Dunia seisinya dipandang sebatas sebagai kumpulan benda. Tradisi ini akhirnya menjadi cukup dominan dan manusia sibuk menyandarkan diri pada pengetahuan ilmiah yang justru mendegradasi alam, termasuk moral. Ujungnya, moralitas dan etika hanyut menuju pendangkalan.

Sepanjang dualisme Cartesian ini meruncing, yang memisahkan subjek manusia maka berimplikasi menjauhkan manusia modern dari alam. Apabila ditarik lebih jauh ke filsafat Yunani, Cartesian relatif lebih dekat kepada pemikiran Plato. Relasi antara jiwa dan tubuh, pikiran dan perasaan maupun manusia dan dunia dianggap sesuatu yang terpisah. Inilah sejatinya yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam hingga saat ini.

Manusia Subjek

Pembelahan tersebut membuat manusia menjadi subjek di mana menganggap sesuatu di luar dirinya sebagai yang lain dan diletakkan sebatas objek penglihatan. Akhirnya, manusia modern menilai alam dan dunia bukan bagian dari dirinya. Dosis kesombongannya pun bertambah, mati rasa dan acuh tak acuh terhadap kondisi lingkungan hidup.

Peneguhan "ke-aku-an" ini akhirnya menjalar ke ranah ekonomi, sehingga muncul istilah ‘homo economicus’. Ekonom termasyur Adam Smith (1723-1790) memiliki keyakinan bahwa: “mementingkan diri sendiri akan mendatangkan nasib baik bagi orang lain”.

Padahal yang terjadi sebaliknya, manusia cenderung eksploitatif terhadap apapun di luar dirinya. Dan sesungguhnya, manusia menjadi objek dan korban sekaligus. Begitu subjek mengambil peran dominan maka mendorong menguatnya homo economicus yang menjadikan manusia hanya sekedar makhluk ekonomi.

Maka, sudah saatnya tiap keputusan ekonomi mulai meninggalkan kerangka pemisahan tersebut yang mendikotomi antara subjek dan objek. Dan Jangan dinilai sebagai sesuatu yang bertolak belakang atau saling berhadap-hadapan.

Kita perlu berpikir tentang keputusan apa yang seharusnya diambil dan berusaha memahami kehidupan seperti apa yang hendak dihuni penduduk bumi di masa depan. Jika watak homo economicus terus dibiarkan, maka krisis ekologi akan kian suram. Karena motif ekonomi akan terus-menerus menjebak ke dalam kubangan keserakahan tak bertepi.

Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah krisis nilai. Nilai inilah yang makin memudar. Terkadang nilai di sini tak selalu tertulis. Misalnya saat sebagian ekonom bicara tentang kesejahteraan, ada anjuran pemenang menyediakan kompensasi kongkrit bagi mereka yang kalah.

Jika alam yang rusak tergolong kubu yang kalah akibat aktivitas ekonomi, maka sudah selayaknya diberikan perhatian serius guna menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Etika seperti inilah yang rasanya absen.

Aspirasi agama barangkali bisa mengisi kekosongan etika. Islam menawarkan konsep cukup jelas ketika menerangkan batasan relasi antara manusia dan bumi. Konsep seperti tauhid ataupun khalifah (bukan dalam pengertian negara Islam) bisa dijadikan fondasi etika lingkungan.



Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Allah menciptakan setiap makhluk hidup dari air. Bumi beserta isinya adalah ciptaan Allah dan wajib dipelihara. Manusia pun diperingatkan tidak membuat kerusakan di bumi (QS.7:56).

Bahkan dalam Quran dan hadist dijanjikan ganjaran pahala bagi mereka yang menanam dan merawat pohon, maupun tumbuhan. Zaman khalifah Abu Bakar misalnya, selalu mengingatkan bahwa: jangan menebang pohon, jangan menyakiti hewan, dan dianjurkan bersikap manusiawi terhadap ciptaan Tuhan, termasuk kepada musuh dalam peperangan sekalipun.

Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia merupakan bagian sistem organik kehidupan yang tak terpisahkan dari alam. Satu hal berpengaruh terhadap yang lainnya. Tiap perubahan yang terjadi di kehidupan ini saling bertalian dalam klausul ’sebab akibat’ dan ’timbal balik.’

Etika religiusitas semacam inilah yang dibutuhkan. Umat manusia memikul tanggungjawab bawaan guna membereskan krisis ekologi yang terjadi. Beragam nikmatnya kemudahan instan, dan gaya hidup konsumerisme yang kebablasan menyebabkan manusia tenggelam pada krisis moral akut.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More