Perdukunan dan Abad Pertengahan
Selasa, 11 April 2023 - 07:55 WIB
Kesalahan itu terletak dalam keengganan manusia untuk memanfaaatkan akal budinya. Orang lebih suka berpaut pada otoritas lain di luar dirinya. Maka, semboyan yang didengungkann pada zaman baru ini adalah “beranilah berpikir sendiri”. Jadi, jika pada Abad Pertengahan ciri umumnya adalah teosentris, maka pada Zaman Modern cirinya adalah antroposentris.
Di zaman modern ini, para pemikir umumnya melawan alam pikir tradisional yang tampil dalam bentuk agama, takhayul, mitos, dan metafisika tradisional. Mereka berusaha keras untuk memahami kenyataan dengan kekuatan rasionya. Dalam filsafat, kita mendengar pernyataan Rene Descartes “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).
Ini semacam ringkasan atau formulasi kesadaran bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Beberapa pemikir yang gembira dengan hancurnya metafisika tradisional itu, antara lain, Fredrich Nietzsche, Immanuel Kant, Aguste Conte, Francis Bacon, dan Baruch de Spinoza.
Singkatnya, bentuk kesadaran modernitas ini, menurut F. Budi Hardiman, dicirkan dengan tiga hal: “subyektivitas”, “kritik”, dan “kemajuan”. Adapun yang dimaksud dengan “subyektivitas” adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek alias pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Jika dalam abad pertengahan, kata Jacob Burckhardt, manusia lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kelompok kolektif, maka dalam zaman modern manusia menyadari dirinya sebagai individu.
Sedangkan makna “kritik” di sini adalah rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Intinya, kebebasan untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau ororitas. Dalam bahasa Immanuel Kant, “bangun dari tidur dogmatis”.
Adapun dengan “kemajuan” adalah bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh subyektivitas dan daya kritik itu.
Jadi, apakah Anda mau terus tenggelam dalam pemikiran Abad Pertengahan? Masih percaya ada orang yang mampu menggandakan uang? Silakan. Siap-siap saja nyawa Anda melayang!
Lihat Juga: Anak Ridwan Kamil Hilang, Anwar Abbas: Dukun Jangan Bikin Gaduh, Tunggu dan Doakan Selamat
Di zaman modern ini, para pemikir umumnya melawan alam pikir tradisional yang tampil dalam bentuk agama, takhayul, mitos, dan metafisika tradisional. Mereka berusaha keras untuk memahami kenyataan dengan kekuatan rasionya. Dalam filsafat, kita mendengar pernyataan Rene Descartes “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).
Ini semacam ringkasan atau formulasi kesadaran bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Beberapa pemikir yang gembira dengan hancurnya metafisika tradisional itu, antara lain, Fredrich Nietzsche, Immanuel Kant, Aguste Conte, Francis Bacon, dan Baruch de Spinoza.
Singkatnya, bentuk kesadaran modernitas ini, menurut F. Budi Hardiman, dicirkan dengan tiga hal: “subyektivitas”, “kritik”, dan “kemajuan”. Adapun yang dimaksud dengan “subyektivitas” adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek alias pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Jika dalam abad pertengahan, kata Jacob Burckhardt, manusia lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kelompok kolektif, maka dalam zaman modern manusia menyadari dirinya sebagai individu.
Sedangkan makna “kritik” di sini adalah rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Intinya, kebebasan untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau ororitas. Dalam bahasa Immanuel Kant, “bangun dari tidur dogmatis”.
Adapun dengan “kemajuan” adalah bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh subyektivitas dan daya kritik itu.
Jadi, apakah Anda mau terus tenggelam dalam pemikiran Abad Pertengahan? Masih percaya ada orang yang mampu menggandakan uang? Silakan. Siap-siap saja nyawa Anda melayang!
Lihat Juga: Anak Ridwan Kamil Hilang, Anwar Abbas: Dukun Jangan Bikin Gaduh, Tunggu dan Doakan Selamat
(wur)
tulis komentar anda