Puasa, Inflasi, Berbagi
Senin, 10 April 2023 - 08:57 WIB
Inflasi dan Ramadan
Ramadan adalah bulan penuh berkah (syahrul mubarrak). Bulan suci umat Islam ini bukan hanya sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, namun mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan.
Selama ini, momentum Ramadan mampu menjadi pemicu positif dalam mendorong aktivitas ekonomi. Momen ini punya andil penting mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat, sehingga perekonomian mendapat tambahan tenaga pendorong pertumbuhan yang berasal dari peningkatan permintaan barang dan jasa.
Selain itu, Ramadan mendorong masyarakat untuk berbagi baik berupa zakat, maupun infaq dan sedekah, yang berupa bahan makanan, sandang, dan jasa. Data KNEKS (2022) mencatat bahwa selama bulan Ramadan di tahun tersebut terjadi peningkatan pengeluaran belanja masyarakat sebesar 15%.
Hasil analisis BPS menyebutkan bahwa perubahan konsumsi makanan/minuman masyarakat terjadi pada 23 hari atau tiga minggu sebelum Idulfitri. Tingkat konsumsi makanan/minuman masyarakat akan mencapai puncak pada H-19 sebelum Idulfitri.
Selanjutnya, kenaikan permintaan terjadi pada periode menjelang dan saat lebaran terhadap produk-produk seperti baju baru, sarung baru yang meningkat tajam. Kenaikan permintaan ini pun dapat menyebabkan naiknya harga barang dan jasa, terutama jika pasokan tidak dapat mengimbangi permintaan.
Peningkatan konsumsi masyarakat di Indonesia terhadap komoditas baju dan sarung tersebut terjadi karena adanya tradisi baju baru saat lebaran yang telah melekat di sebagian besar masyarakat tanah air. Lebih lanjut, di penghujung Ramdaan – sekitar dua hari sebelum Idulfitri – peningkatan konsumsi masyarakat beralih ke konsumsi transportasi untuk pulang kampung.
Tren kenaikan konsumsi mulai hilang kira-kira 15 hari (2 minggu) setelah lebaran. Tren meningkatnya inflasi selama Ramadan hingga Idul Fitri sejatinya bukan sebuah hal baru dalam perekonomian Indonesia. Pemerintah juga mengantisipasi fenomena tahunan ini, melalui pemberian THR (tunjangan hari raya) baik bagi ASN maupun karyawan swasta dan BUMN oleh para pengelola perusahanan.
Menjaga momentum Ramadan dan lebaran ini, menjadi sangat penting untuk memperkuat resiliensi ekonomi domestik, ditengah perekonomian dunia mengalami ketidakpastian yang cukup tinggi. Konsumsi rumah tangga saat ini, diyakini masih memiliki peran yang sangat kuat pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai di kuartal pertama tahun ini, diperkirakan peran konsumsi RT pada PDB hingga melebihi 55%.
Pemerintah akan berusaha menjaga daya beli masyarakat melalui THR, BLT Masyarakat maupun menjaga inflasi tetap terkendali melalui TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah), misalnya dengan fokus pada penjagaan distribusi pangan dan ketersediaan pangan di daerah.
Ramadan adalah bulan penuh berkah (syahrul mubarrak). Bulan suci umat Islam ini bukan hanya sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, namun mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan.
Selama ini, momentum Ramadan mampu menjadi pemicu positif dalam mendorong aktivitas ekonomi. Momen ini punya andil penting mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat, sehingga perekonomian mendapat tambahan tenaga pendorong pertumbuhan yang berasal dari peningkatan permintaan barang dan jasa.
Selain itu, Ramadan mendorong masyarakat untuk berbagi baik berupa zakat, maupun infaq dan sedekah, yang berupa bahan makanan, sandang, dan jasa. Data KNEKS (2022) mencatat bahwa selama bulan Ramadan di tahun tersebut terjadi peningkatan pengeluaran belanja masyarakat sebesar 15%.
Hasil analisis BPS menyebutkan bahwa perubahan konsumsi makanan/minuman masyarakat terjadi pada 23 hari atau tiga minggu sebelum Idulfitri. Tingkat konsumsi makanan/minuman masyarakat akan mencapai puncak pada H-19 sebelum Idulfitri.
Selanjutnya, kenaikan permintaan terjadi pada periode menjelang dan saat lebaran terhadap produk-produk seperti baju baru, sarung baru yang meningkat tajam. Kenaikan permintaan ini pun dapat menyebabkan naiknya harga barang dan jasa, terutama jika pasokan tidak dapat mengimbangi permintaan.
Peningkatan konsumsi masyarakat di Indonesia terhadap komoditas baju dan sarung tersebut terjadi karena adanya tradisi baju baru saat lebaran yang telah melekat di sebagian besar masyarakat tanah air. Lebih lanjut, di penghujung Ramdaan – sekitar dua hari sebelum Idulfitri – peningkatan konsumsi masyarakat beralih ke konsumsi transportasi untuk pulang kampung.
Tren kenaikan konsumsi mulai hilang kira-kira 15 hari (2 minggu) setelah lebaran. Tren meningkatnya inflasi selama Ramadan hingga Idul Fitri sejatinya bukan sebuah hal baru dalam perekonomian Indonesia. Pemerintah juga mengantisipasi fenomena tahunan ini, melalui pemberian THR (tunjangan hari raya) baik bagi ASN maupun karyawan swasta dan BUMN oleh para pengelola perusahanan.
Menjaga momentum Ramadan dan lebaran ini, menjadi sangat penting untuk memperkuat resiliensi ekonomi domestik, ditengah perekonomian dunia mengalami ketidakpastian yang cukup tinggi. Konsumsi rumah tangga saat ini, diyakini masih memiliki peran yang sangat kuat pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai di kuartal pertama tahun ini, diperkirakan peran konsumsi RT pada PDB hingga melebihi 55%.
Pemerintah akan berusaha menjaga daya beli masyarakat melalui THR, BLT Masyarakat maupun menjaga inflasi tetap terkendali melalui TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah), misalnya dengan fokus pada penjagaan distribusi pangan dan ketersediaan pangan di daerah.
tulis komentar anda