Menjaga Kesucian MK setelah Sanksi Ringan Majelis Kehormatan
Senin, 27 Maret 2023 - 10:59 WIB
Kejadian di atas tentu akan memantik perlunya mengkaji ulang sistem pengawasan di tubuh MK, selain sebagaichecks and balanceakibat dari konsekuensi ajaranseparation of powerataudistribution of poweryang dianut dalam sistem ketatanegaraan. Di samping itu, juga untuk menghindari otonomi yang tinggi dan tidak terbatas terhadap kedudukan hakim.
Hakim konstitusi tidak bisa dibiarkan bebas menjalankan kekuasaan yudisialnya tanpa kontrol atau penyeimbang dari luar sehingga dapat melahirkan absolutisme dan tirani yudisial. Pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan di tubuh hakim konstitusi.
Menurut ahli hukum Jimly Asshidiqie, hubungan antarlembaga negara dalam doktrinseparation of powerdiikat dengan prinsipchecks and balances, di mana lembaga-lembaga tersebut memiliki kedudukan sederajat atau sejajar, tetapi saling mengendalikan atau mengawasi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain.
Namun, kenyataan pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/IV-2006 yang telah mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi perilaku hakim konstitusi, Pengawasan yang dilakukan oleh KY dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan MK sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat independensi dan imparsialitas.
Paulus E Lotulung, 2003, mengatakan bahwa perlunya indepedensi tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari indepedensi selalu harus ada akuntablitas dan tanggung jawab untuk mencegah ketidakadilan.
Institusi kehakiman akan mendapatkan kepercayaan masyarakat apabila mampu menjalankan dua langkah yang saling terkait erat, pengeloaan administrasi dan pengawasan (kontrol dari luar).
Beberapa persoalan yang menimpa MK bisa jadi karena memang lemahnya sistem kontrol dan lemahnya sistem pengawasan, sehingga mendesak untuk segera dibenahi.
Rekonstruksi kembali sistem pengawasan hakim konstitusi bisa dijadikan jalan alternatif, bahwa pengawasan terhadap MK harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan kembali pengawasan dari unsur eksternal, seperti yang pernah dilakukan oleh KY.
Selain adanya perbaikan pengawasan dalam hakim konstitusi, ke depannya perlu upaya penguatan integritas dengan menanamkan pola pembinaan calon hakim. Integritas harus diwujudkan melalui sikap batin yang mencerminkan ketuhanan dan keseimbangan kepribadian seperti, (sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya) disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.
Kita bisabelajar dari Inggris, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat di mana masa jabatan hakim adalahduring good behavior(selama bertingkah laku baik) sampai dengan batasan usia tertentu. Jika ada hakim yang berperilaku menyimpang sekecil apapun, maka segera diberhentikan tanpa menunggu usianya tua atau pensiun,(Allan Fatchan Gani Wardana, 2018).
Hakim konstitusi tidak bisa dibiarkan bebas menjalankan kekuasaan yudisialnya tanpa kontrol atau penyeimbang dari luar sehingga dapat melahirkan absolutisme dan tirani yudisial. Pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan di tubuh hakim konstitusi.
Menurut ahli hukum Jimly Asshidiqie, hubungan antarlembaga negara dalam doktrinseparation of powerdiikat dengan prinsipchecks and balances, di mana lembaga-lembaga tersebut memiliki kedudukan sederajat atau sejajar, tetapi saling mengendalikan atau mengawasi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain.
Namun, kenyataan pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/IV-2006 yang telah mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi perilaku hakim konstitusi, Pengawasan yang dilakukan oleh KY dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan MK sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat independensi dan imparsialitas.
Paulus E Lotulung, 2003, mengatakan bahwa perlunya indepedensi tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari indepedensi selalu harus ada akuntablitas dan tanggung jawab untuk mencegah ketidakadilan.
Institusi kehakiman akan mendapatkan kepercayaan masyarakat apabila mampu menjalankan dua langkah yang saling terkait erat, pengeloaan administrasi dan pengawasan (kontrol dari luar).
Beberapa persoalan yang menimpa MK bisa jadi karena memang lemahnya sistem kontrol dan lemahnya sistem pengawasan, sehingga mendesak untuk segera dibenahi.
Rekonstruksi kembali sistem pengawasan hakim konstitusi bisa dijadikan jalan alternatif, bahwa pengawasan terhadap MK harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan kembali pengawasan dari unsur eksternal, seperti yang pernah dilakukan oleh KY.
Selain adanya perbaikan pengawasan dalam hakim konstitusi, ke depannya perlu upaya penguatan integritas dengan menanamkan pola pembinaan calon hakim. Integritas harus diwujudkan melalui sikap batin yang mencerminkan ketuhanan dan keseimbangan kepribadian seperti, (sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya) disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.
Kita bisabelajar dari Inggris, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat di mana masa jabatan hakim adalahduring good behavior(selama bertingkah laku baik) sampai dengan batasan usia tertentu. Jika ada hakim yang berperilaku menyimpang sekecil apapun, maka segera diberhentikan tanpa menunggu usianya tua atau pensiun,(Allan Fatchan Gani Wardana, 2018).
Lihat Juga :
tulis komentar anda