DPR dan Pemerintah Perlu Menjelaskan Urgensi RUU BPIP
Sabtu, 18 Juli 2020 - 12:35 WIB
JAKARTA - DPR dan pemerintah sepakat untuk mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Pengelolaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang kontroversial. Sementara, RUU BPIP ini belum masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 ataupun Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Negeri (UII) Yogyakarta, Allan Fatchan Gani berpandangan bahwa, pemerintah maupun DPR harus bisa menjelaskan urgensi dari RUU BPIP ini sehingga harus dibahas. Karena, UU Nomor 12/2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mensyaratkan bahwa pembahasan RUU di luar prolegnas harus dalam keadaan luar biasa, bencana alam, konflik atau urgensi nasional.
“Kalau dari segi perundang-undangan, ada UU yang sudah dirancang dan namanya Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas tahunan (prioritas). Apakah kemudian DPR itu bisa memasukka RUU yang memang tiba-tiba atau tidak dalam prolegnas. Dalam UU 12/2011 sudah diatur UU yang tidak ada dalam prolegnas bisa masuk dengan beberapa syarat,” kata Allan saat dihubungi, Sabtu (18/7/2020).
(Baca: PA 212: Kami Tak Ingin Lagi Negara Paksakan Tafsir Tunggal Pancasila)
“Pasal 23 ayat 2, dalam keadaan ertentu baik DPR maupun presiden bisa mengajukan RUU dalam prolegnas, itu dalam 2 kondisi. Kondisi pertama, untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik atau bencana alam. Kedua, keadaan tertentu lainnya yang memastikan ada urgensi nasional atas suatu RUU yang itu disetujui dalam AKD,” ujarnya.
Allan berpandangan, yang perlu dicermati apakah pengusulan RUU BIP itu RUU BPIP masuk ke dalam kondisi untuk mengatasi keadaan tertentu, konflik, bencana alam atau karena ada urgensi nasional. Kalau misalnya DPR ngotot RUU BPIP ini dimasukkan Prolegnas Prioritas maka, DPR dan pemerintah perlu menjelaskan kepada publik urgensi nasional apa yang ingin dicapai ketika RUU BPIP ingin masuk ke prolegnas.
(Baca: RUU HIP Mendadak Ganti RUU BPIP, MPR: Buka Isinya ke Publik)
“Kalau misalkan RUU BPIP untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, bencana kan nggak masuk. Kalau misalkan dia mau dimasukkan dia masuk ke kualifikasi Pasal 23 ayat 2 huruf b yakni adanya urgensi nasional. Kita kan nggak tahu apakah memang BPIP ini urgent atau tidak karena tidak ada penjelasan baik dari DPR maupun pemerintah terhadap jangkauan ataupun ruang lingkup yang diatur dalam RUU BPIP,” terangnya.
Karena itu, Allan menegaskan bahwa baik DPR maupun pemerintah harus menjelaskan urgensi pengusulan RUU BPIP yang merupakan usulan baru itu sebelum dilanjutkan ke tahapan berikutnya. Substansi RUU BPIP ini pun perlu dikawal agar isinya tidak menyinggung ketentuan kontroversial dalam RUU HIP.
“Kemudian yang harus dikawal apa substansi yang diatur dalam BPIP. Kalau konsisten namanya BPIP harus mengatur fungsi, wewenang dan kelembagaan BPIP. Jadi tidak perlu lagi mengatur soal Pancasila,” tandas Allan.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Negeri (UII) Yogyakarta, Allan Fatchan Gani berpandangan bahwa, pemerintah maupun DPR harus bisa menjelaskan urgensi dari RUU BPIP ini sehingga harus dibahas. Karena, UU Nomor 12/2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mensyaratkan bahwa pembahasan RUU di luar prolegnas harus dalam keadaan luar biasa, bencana alam, konflik atau urgensi nasional.
“Kalau dari segi perundang-undangan, ada UU yang sudah dirancang dan namanya Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas tahunan (prioritas). Apakah kemudian DPR itu bisa memasukka RUU yang memang tiba-tiba atau tidak dalam prolegnas. Dalam UU 12/2011 sudah diatur UU yang tidak ada dalam prolegnas bisa masuk dengan beberapa syarat,” kata Allan saat dihubungi, Sabtu (18/7/2020).
(Baca: PA 212: Kami Tak Ingin Lagi Negara Paksakan Tafsir Tunggal Pancasila)
“Pasal 23 ayat 2, dalam keadaan ertentu baik DPR maupun presiden bisa mengajukan RUU dalam prolegnas, itu dalam 2 kondisi. Kondisi pertama, untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik atau bencana alam. Kedua, keadaan tertentu lainnya yang memastikan ada urgensi nasional atas suatu RUU yang itu disetujui dalam AKD,” ujarnya.
Allan berpandangan, yang perlu dicermati apakah pengusulan RUU BIP itu RUU BPIP masuk ke dalam kondisi untuk mengatasi keadaan tertentu, konflik, bencana alam atau karena ada urgensi nasional. Kalau misalnya DPR ngotot RUU BPIP ini dimasukkan Prolegnas Prioritas maka, DPR dan pemerintah perlu menjelaskan kepada publik urgensi nasional apa yang ingin dicapai ketika RUU BPIP ingin masuk ke prolegnas.
(Baca: RUU HIP Mendadak Ganti RUU BPIP, MPR: Buka Isinya ke Publik)
“Kalau misalkan RUU BPIP untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, bencana kan nggak masuk. Kalau misalkan dia mau dimasukkan dia masuk ke kualifikasi Pasal 23 ayat 2 huruf b yakni adanya urgensi nasional. Kita kan nggak tahu apakah memang BPIP ini urgent atau tidak karena tidak ada penjelasan baik dari DPR maupun pemerintah terhadap jangkauan ataupun ruang lingkup yang diatur dalam RUU BPIP,” terangnya.
Karena itu, Allan menegaskan bahwa baik DPR maupun pemerintah harus menjelaskan urgensi pengusulan RUU BPIP yang merupakan usulan baru itu sebelum dilanjutkan ke tahapan berikutnya. Substansi RUU BPIP ini pun perlu dikawal agar isinya tidak menyinggung ketentuan kontroversial dalam RUU HIP.
“Kemudian yang harus dikawal apa substansi yang diatur dalam BPIP. Kalau konsisten namanya BPIP harus mengatur fungsi, wewenang dan kelembagaan BPIP. Jadi tidak perlu lagi mengatur soal Pancasila,” tandas Allan.
(muh)
tulis komentar anda