Mengungkap Polarisasi (di Jakarta)
Senin, 13 Maret 2023 - 09:41 WIB
Dengan menggunakan model pengukuran di atas, kami melakukan studi kecil untuk mengukur polarisasi di Jakarta. Dua alasan mengapa Jakarta.Pertama, selama ini Jakarta dianggap sebagai episentrum polarisasi sebagai akibat kontestasi politik pasca-Pemilihan Gubernur DKI 2017.
Kedua, faktor penyebab polarisasi di Jakarta relatif dapat diidentifikasi, yakni antara sosok Anies R Baswedanvis-à-visBasuki T Purnama dan Joko Widodo. Kedua pihak ini dianggap mewakili ideologi, pemikiran, dan arah kebijakan yang cenderung berseberangan.
Untuk mengukur polarisasi antara dua kutub politik ini, kami melakukan survei dengan menggunakan instrumen sederhana dengan dua pertanyaan: (1) sejauh mana Anda suka dengan salah satu tokoh/pasangan tokoh politik dan (2) sejauh mana ketidaksukaan Anda dengan pendukung tokoh/pasangan tokoh yang berseberangan?
Dengan bekerja sama dengan Indikator Politik Indonesia, survei kami lakukan di Jakarta dari tanggal 26 Januari hingga 4 Februari. Survei dilakukan melalui telepon di mana responden dipilih melaluistratified random samplingsebanyak 800 orang. Jumlah responden di setiap kecamatan disesuaikan dengan proporsi total populasi Jakarta.
Metode ini menghasilkan pengukuran dengan tingkatconfidence95% danmargin of errorsebesar ± 3,5%. Dari pengukuran faktoraffectiondanresentment, kita mendapatkan satu kurva di mana 83% responden berada di titik nol. Ini adalah zona netral di mana seseorang mungkin saja suka dengan salah satu pihak, tetapi tanpa rasa ketidaksukaan dengan pendukung pihak yang lainnya.
Artinya sebagian besar warga Jakara tidak terjebak ke dalam satu kutub. Memang ada kelompok yang masuk ke wilayah kutub, tetapi jumlahnya sangat kecil dan sama sekali tidak signifikan. Dengan bukti ilmiah ini, kita bisa menyimpulkan dengan yakin bahwa Jakarta tidak sedang mengalami polarisasi. Dengan kata lain, polarisasi di Jakarta hanyalah mitos.
Studi ini mengonfirmasi studi yang kami lakukan sebelumnya dalam mengukur kohesi sosial di Jakarta yang dipublikasikan pada 16 Januari 2023 lalu.
Bagaimana selanjutnya? Tentu saja akan sangat penting untuk melakukan pengukuran yang sama pada tingkat nasional. Tapi ada baiknya dari sekarang kita perlu waspada terhadap narasi “polarisasi” karena bisa jadi ini adalah instrumen politik semata.
Kedua, faktor penyebab polarisasi di Jakarta relatif dapat diidentifikasi, yakni antara sosok Anies R Baswedanvis-à-visBasuki T Purnama dan Joko Widodo. Kedua pihak ini dianggap mewakili ideologi, pemikiran, dan arah kebijakan yang cenderung berseberangan.
Untuk mengukur polarisasi antara dua kutub politik ini, kami melakukan survei dengan menggunakan instrumen sederhana dengan dua pertanyaan: (1) sejauh mana Anda suka dengan salah satu tokoh/pasangan tokoh politik dan (2) sejauh mana ketidaksukaan Anda dengan pendukung tokoh/pasangan tokoh yang berseberangan?
Dengan bekerja sama dengan Indikator Politik Indonesia, survei kami lakukan di Jakarta dari tanggal 26 Januari hingga 4 Februari. Survei dilakukan melalui telepon di mana responden dipilih melaluistratified random samplingsebanyak 800 orang. Jumlah responden di setiap kecamatan disesuaikan dengan proporsi total populasi Jakarta.
Metode ini menghasilkan pengukuran dengan tingkatconfidence95% danmargin of errorsebesar ± 3,5%. Dari pengukuran faktoraffectiondanresentment, kita mendapatkan satu kurva di mana 83% responden berada di titik nol. Ini adalah zona netral di mana seseorang mungkin saja suka dengan salah satu pihak, tetapi tanpa rasa ketidaksukaan dengan pendukung pihak yang lainnya.
Artinya sebagian besar warga Jakara tidak terjebak ke dalam satu kutub. Memang ada kelompok yang masuk ke wilayah kutub, tetapi jumlahnya sangat kecil dan sama sekali tidak signifikan. Dengan bukti ilmiah ini, kita bisa menyimpulkan dengan yakin bahwa Jakarta tidak sedang mengalami polarisasi. Dengan kata lain, polarisasi di Jakarta hanyalah mitos.
Studi ini mengonfirmasi studi yang kami lakukan sebelumnya dalam mengukur kohesi sosial di Jakarta yang dipublikasikan pada 16 Januari 2023 lalu.
Bagaimana selanjutnya? Tentu saja akan sangat penting untuk melakukan pengukuran yang sama pada tingkat nasional. Tapi ada baiknya dari sekarang kita perlu waspada terhadap narasi “polarisasi” karena bisa jadi ini adalah instrumen politik semata.
(ynt)
Lihat Juga :
tulis komentar anda