Buku dan Kertas Berlalu
Rabu, 01 Maret 2023 - 07:48 WIB
Di Indonesia, buku-buku (cetak) belum telanjur dipuja tiba-tiba berubah tata cara akibat teknologi menampik sihir mengalir dari mesin cetak warisan Gutenberg. Kertas belum punah. Kita diminta berjarak dari kertas menggunakan dalih-dalih suci “kealaman” dan kekuasaan. “Takdir” terbaru bagi orang-orang masih sadar buku atau menginginkan bacaan tak memerlukan kertas. Sejarah diharuskan berubah arah.
Pada suatu masa, dua orang rajin membuat catatan dengan menggerakkan jari di kertas: Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Mereka mencatat pelbagai hal. Catatan-catatan dirawat setelah mereka pamit dari dunia. Publik mendapat suguhan bacaan dari LP3ES berjudul Catatan Seorang Demonstran dan Pergolakan Pemikiran Islam. Dua buku mengesahkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib bertaruh hidup dengan huruf-huruf menggerakkan ide dan menampung pengalaman hidup. Buku-buku itu laris, mengesahkan manusia-manusia berhuruf menjadikan Indonesia terus membaca dan menulis meski zaman selalu memberi godaan kemanjaan-kemanjaan.
Catatan Seorang Demonstran turut menggerakkan sejarah saat dibaca ribuan orang, dari masa ke masa. Buku itu menjadi sumber penggarapan film. Laris! Orang-orang belum atau sudah membaca memiliki predikat sebagai penonton film. Dampak mengejutkan kembali ke buku. Cetak ulang Catatan Seorang Demonstran mengakibatkan pergantian penampilan foto di kulit muka: demonstrasi kaum mahasiswa diganti Nicholas Saputra. Dulu, sampul digarap T Sutanto (1983). Penampilan sampul memberi memori bersama tapi berubah gara-gara film menampilkan aktor diakui ganteng dan pujaan di Indonesia.
Pola perubahan itu ditanggapi Fauzi Sukri: “Barankali karena para pembaca Indonesia sering patuh saja dan para perancang kaver vuku sering tidak begitu memperhatikan rasa historis. Kaver buku adalah ruang sosial imajinatif yang bertaut dengan rasa memori imajinatif historis buku dan pembacanya.” Kritik atas industri perbukuan diajukan saat mengetahui gelagat “hiburan” mulai mendesak hal-hal serius. Kita berada dalam babak pemanjaan dan perubahan bukan untuk makin mengerti sejarah tapi “mengentengkan” sejarah.
Sejarah memuat penulis dan pembaca buku di Indonesia lumrah telat dari Eropa atau Amerika Serikat. Di sana, mesin cetak dan industri perbukuan sering menentukan atau mengubah sejarah. Buku-buku tak sekadar benda. Kehormatan buku perlahan menjadi sasaran dari perwujudan teknologi-teknologi mutakhir. Indonesia pun ketularan tapi “salah waktu” dalam penerimaan dan terapan.
Fauzi Sukri sejenak membuat kita memikirkan posisi pembaca, sejak ratusan tahun lalu sampai abad XXI. Perubahan-perubahan dalam (industri atau teknologi) perbukuan memang terjadi sering mengejutkan tapi pembaca justru di “kelambanan”. Sodoran renungan: “Pembaca adalah manusia pencerna makna penuh kesadaran: suatu peristiwa yang sungguh abstrak, gaib, dan misterius, terutama dalam diri manusia, yang sampai abad mesin internet ini belum ada teknologinya. Bahkan, meski para ahli bahasa, ahli hermeneutika dan segala macam keahlian terkait teks dan bahasa sudah berdebat sengit selama berabad-abad untuk mencapai kemajuan proses memahami dipadukan dengan matematikawan dan ahli komputer, belum bisa mencipta mesin pembaca cepat secara kolektif, demi pemajuan proses otak-hati membaca, demi kemajuan peradaban manusia membaca sangat cepat.”
Kita tak berlanjut atau rampung merenung, jumlah pembaca buku (cetak) di Indonesia dikabarkan menurun. Orang-orang enggan berpikiran atau mendapat predikat pembaca, memilih menjadi melulu pemirsa atau penonton. Babak baru sejarah Indonesia itu kemeriahan dan penghiburan, tak ada kewajiban membuat sambungan-sambungan saat para penggerak Indonesia mengalami hari-hari berhuruf dan memberi warisan buku-buku.
Kita membuka buku berjudul Para Penjaga Ilmu: Dari Alexandria sampai Internet (2010) susunan Ian F McNeely dan Lisa Wolverton. Di hadapan buku berukuran besar dan tebal, kita kembali mengenang babak-babak sejarah memuat mesin cetak, buku, pembaca, perpustakaan, dan lain-lain. Sejarah terbentuk dengan sengketa dan keajaiban-keajaiban. Indonesia memang tak tercatat atau terjelaskan tapi turut dalam sekian babak perubahan atas pemerolehan pengetahuan bersumber bacaan. Di situ, kita mendapat kutipan agak terang: “… dengan segala kebaruan dan perjalanannya yang radikal, sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah kelanjutan dari pola yang telah berusia ribuan tahun lamanya.”
Di jarak agak jauh, kita memikirkan Indonesia dan buku. Pada suatu masa, ikhtiar menggerakkan dan memuliakan (pengetahuan) Indonesia dengan buku-buku. Kebijakan pemberantasan buta huruf demi revolusi dan pembangunan nasional telah berlalu meski gagal memunculkan “pesta pora buku”. Dua rezim (Soekarno dan Soeharto) memang membuat sejarah (industri) perbukuan tapi terlalu politis. Pada tatanan politik mutakhir dan situasi abad XXI, kita seperti kehilangan tautan-tautan kesejarahan (buku). Indonesia memang masih berhuruf tapi berlimpahan akibat: kebodohan, kebebalan, keributan, kebencian, kegamangan, kecengengan, keremehan, dan keamburadulan. Kita masih memiliki sejarah perlahan berguguran dan berserakan. Begitu.
Judul : Kuasa Aksara: Hatta, Tan Malaka, dan Masa Depan Membaca
Pada suatu masa, dua orang rajin membuat catatan dengan menggerakkan jari di kertas: Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Mereka mencatat pelbagai hal. Catatan-catatan dirawat setelah mereka pamit dari dunia. Publik mendapat suguhan bacaan dari LP3ES berjudul Catatan Seorang Demonstran dan Pergolakan Pemikiran Islam. Dua buku mengesahkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib bertaruh hidup dengan huruf-huruf menggerakkan ide dan menampung pengalaman hidup. Buku-buku itu laris, mengesahkan manusia-manusia berhuruf menjadikan Indonesia terus membaca dan menulis meski zaman selalu memberi godaan kemanjaan-kemanjaan.
Catatan Seorang Demonstran turut menggerakkan sejarah saat dibaca ribuan orang, dari masa ke masa. Buku itu menjadi sumber penggarapan film. Laris! Orang-orang belum atau sudah membaca memiliki predikat sebagai penonton film. Dampak mengejutkan kembali ke buku. Cetak ulang Catatan Seorang Demonstran mengakibatkan pergantian penampilan foto di kulit muka: demonstrasi kaum mahasiswa diganti Nicholas Saputra. Dulu, sampul digarap T Sutanto (1983). Penampilan sampul memberi memori bersama tapi berubah gara-gara film menampilkan aktor diakui ganteng dan pujaan di Indonesia.
Pola perubahan itu ditanggapi Fauzi Sukri: “Barankali karena para pembaca Indonesia sering patuh saja dan para perancang kaver vuku sering tidak begitu memperhatikan rasa historis. Kaver buku adalah ruang sosial imajinatif yang bertaut dengan rasa memori imajinatif historis buku dan pembacanya.” Kritik atas industri perbukuan diajukan saat mengetahui gelagat “hiburan” mulai mendesak hal-hal serius. Kita berada dalam babak pemanjaan dan perubahan bukan untuk makin mengerti sejarah tapi “mengentengkan” sejarah.
Sejarah memuat penulis dan pembaca buku di Indonesia lumrah telat dari Eropa atau Amerika Serikat. Di sana, mesin cetak dan industri perbukuan sering menentukan atau mengubah sejarah. Buku-buku tak sekadar benda. Kehormatan buku perlahan menjadi sasaran dari perwujudan teknologi-teknologi mutakhir. Indonesia pun ketularan tapi “salah waktu” dalam penerimaan dan terapan.
Fauzi Sukri sejenak membuat kita memikirkan posisi pembaca, sejak ratusan tahun lalu sampai abad XXI. Perubahan-perubahan dalam (industri atau teknologi) perbukuan memang terjadi sering mengejutkan tapi pembaca justru di “kelambanan”. Sodoran renungan: “Pembaca adalah manusia pencerna makna penuh kesadaran: suatu peristiwa yang sungguh abstrak, gaib, dan misterius, terutama dalam diri manusia, yang sampai abad mesin internet ini belum ada teknologinya. Bahkan, meski para ahli bahasa, ahli hermeneutika dan segala macam keahlian terkait teks dan bahasa sudah berdebat sengit selama berabad-abad untuk mencapai kemajuan proses memahami dipadukan dengan matematikawan dan ahli komputer, belum bisa mencipta mesin pembaca cepat secara kolektif, demi pemajuan proses otak-hati membaca, demi kemajuan peradaban manusia membaca sangat cepat.”
Kita tak berlanjut atau rampung merenung, jumlah pembaca buku (cetak) di Indonesia dikabarkan menurun. Orang-orang enggan berpikiran atau mendapat predikat pembaca, memilih menjadi melulu pemirsa atau penonton. Babak baru sejarah Indonesia itu kemeriahan dan penghiburan, tak ada kewajiban membuat sambungan-sambungan saat para penggerak Indonesia mengalami hari-hari berhuruf dan memberi warisan buku-buku.
Kita membuka buku berjudul Para Penjaga Ilmu: Dari Alexandria sampai Internet (2010) susunan Ian F McNeely dan Lisa Wolverton. Di hadapan buku berukuran besar dan tebal, kita kembali mengenang babak-babak sejarah memuat mesin cetak, buku, pembaca, perpustakaan, dan lain-lain. Sejarah terbentuk dengan sengketa dan keajaiban-keajaiban. Indonesia memang tak tercatat atau terjelaskan tapi turut dalam sekian babak perubahan atas pemerolehan pengetahuan bersumber bacaan. Di situ, kita mendapat kutipan agak terang: “… dengan segala kebaruan dan perjalanannya yang radikal, sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah kelanjutan dari pola yang telah berusia ribuan tahun lamanya.”
Di jarak agak jauh, kita memikirkan Indonesia dan buku. Pada suatu masa, ikhtiar menggerakkan dan memuliakan (pengetahuan) Indonesia dengan buku-buku. Kebijakan pemberantasan buta huruf demi revolusi dan pembangunan nasional telah berlalu meski gagal memunculkan “pesta pora buku”. Dua rezim (Soekarno dan Soeharto) memang membuat sejarah (industri) perbukuan tapi terlalu politis. Pada tatanan politik mutakhir dan situasi abad XXI, kita seperti kehilangan tautan-tautan kesejarahan (buku). Indonesia memang masih berhuruf tapi berlimpahan akibat: kebodohan, kebebalan, keributan, kebencian, kegamangan, kecengengan, keremehan, dan keamburadulan. Kita masih memiliki sejarah perlahan berguguran dan berserakan. Begitu.
Judul : Kuasa Aksara: Hatta, Tan Malaka, dan Masa Depan Membaca
Lihat Juga :
tulis komentar anda