Buku dan Kertas Berlalu
Rabu, 01 Maret 2023 - 07:48 WIB
Bandung Mawardi
Saudagar buku
INDONESIA bergerak dengan kaum berhuruf. Soekarno turut dalam kaum berhuruf, menggerakkan Indonesia dengan huruf-huruf meski orang-orang mengenang ia terlalu rajin berpidato. Pada masa 1950-an dan 1960-an, Soekarno mengajukan janji revolusi. Ia menginginkan jutaan orang Indonesia sanggup bertemu huruf-huruf alias membaca dan menulis dengan pelbagai pamrih.
“Ini pekerdjaan sebenarnja lebih hebat daripada sesuatu jang materiil – materiil itu wadak, saudara-saudara. Bikin beton itu materiil, bikin djalan materiil, bikin kereta api materiil, bikin kapal materiil. Tapi, ini lebih hebat daripada barang-barang materiil,” perkataan Soekarno di Semarang, 6 Agustus 1962. Ia berpidato, bukan membacakan teks. Soekarno sedang membicarakan masalah pemberantasan buta huruf. Seruan terpenting: pekerjaan memberantas huruf itu revolusioner.
Soekarno masih memberi penjelasan berlebihan: “… memberantas buta huruf sebenarnja lebih hebat, lebih besar daripada sekadar mendirikan stadion. Mendirikan stadion itu barang materiil, kalau memberantas buta huruf sebenarnja mendirikan stadion didalam otak kita, mendirikan didalam djiwa kita, mendirikan stadion didalam roh kita. Itu adalah lebih hebat daripada mendirikan stadion ditanah, seperti Stadion Utama dikampung Senajan, Djakarta, itu.” Soekarno ingin Indonesia bermartabat berpijak huruf, tak melulu bangunan-bangunan.
Pada abad XXI, Fauzi Sukri bukan berpidato tapi mempersembahkan tulisan-tulisan masih bertema huruf-huruf atau aksara berkaitan kekuasaan. Ia “melanjutkan” kemauan besar Soekarno tapi dibahasakan dengan berbeda dalam menanggapi Indonesia abad XXI. Urusan diungkapkan Soekarno mendingan ditaruh di belakang setelah kita mampu memikirkan kejutan berpolitik di Indonesia. Fauzi mengingatkan bahwa komunikasi politik bukan bergerak “dari aksara, getaran suara, atau kekuatan kata-kata tapi lebih didominasi gambar atau foto.” Sejarah kehurufan berdalih revolusi “dijatuhkan” oleh kuasa foto (gambar).
Politik menjadi “licik” akibat ulah berlebihan kaum politik dalam mengelabui publik. Konon, mereka berideologi tapi “bebal” dalam membuat jalinan dengan jutaan orang bertumpu huruf. Mereka pilih gampangan, memamerkan rupa dan raga di penciptaan imajinasi politik (picik). Seruan-seruan Soekarno sulit berlaku untuk lakon kekuasaan di Indonesia abad XXI.
Kaum berhuruf dari masa lalu penting dikenang tak cuma Soekarno. Indonesia pun bergerak dan mulia dengan kekuatan huruf bertokoh Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Mereka itu pembaca dan penulis. Sejak awal abad XX, mereka menginginkan Indonesia berkiblat bacaan, bukan omongan-omongan berkepanjangan dan sembarangan.
Kaum buku itu berbeda nasib. Fauzi Sukri menjelaskan: “Namun, keduanya sedikit berbeda nasib dalam keterikatannya dengan buku. Tan Malaka, sebagai buronan politik, tak bisa membawa buku-bukunya dalam pelarian, sehingga terpaksa membuang buku-bukunya. Hatta, meski dibuang ke Banda Naira, tetap bisa membawa berpeti-peti buku.” Kaum lawasan masih mengagungkan buku cetak. Pada masa lalu, dua tokoh itu belum sempat berimajinasi bahwa ada buku tanpa kertas. Mereka tertinggal di sejarah, tak bersama kita dalam pemanjaan teknologi membaca buku. Kertas tak wajib. Kita bergawai, kita berhak membaca buku tanpa berat, repot, dan boros.
Saudagar buku
INDONESIA bergerak dengan kaum berhuruf. Soekarno turut dalam kaum berhuruf, menggerakkan Indonesia dengan huruf-huruf meski orang-orang mengenang ia terlalu rajin berpidato. Pada masa 1950-an dan 1960-an, Soekarno mengajukan janji revolusi. Ia menginginkan jutaan orang Indonesia sanggup bertemu huruf-huruf alias membaca dan menulis dengan pelbagai pamrih.
“Ini pekerdjaan sebenarnja lebih hebat daripada sesuatu jang materiil – materiil itu wadak, saudara-saudara. Bikin beton itu materiil, bikin djalan materiil, bikin kereta api materiil, bikin kapal materiil. Tapi, ini lebih hebat daripada barang-barang materiil,” perkataan Soekarno di Semarang, 6 Agustus 1962. Ia berpidato, bukan membacakan teks. Soekarno sedang membicarakan masalah pemberantasan buta huruf. Seruan terpenting: pekerjaan memberantas huruf itu revolusioner.
Soekarno masih memberi penjelasan berlebihan: “… memberantas buta huruf sebenarnja lebih hebat, lebih besar daripada sekadar mendirikan stadion. Mendirikan stadion itu barang materiil, kalau memberantas buta huruf sebenarnja mendirikan stadion didalam otak kita, mendirikan didalam djiwa kita, mendirikan stadion didalam roh kita. Itu adalah lebih hebat daripada mendirikan stadion ditanah, seperti Stadion Utama dikampung Senajan, Djakarta, itu.” Soekarno ingin Indonesia bermartabat berpijak huruf, tak melulu bangunan-bangunan.
Pada abad XXI, Fauzi Sukri bukan berpidato tapi mempersembahkan tulisan-tulisan masih bertema huruf-huruf atau aksara berkaitan kekuasaan. Ia “melanjutkan” kemauan besar Soekarno tapi dibahasakan dengan berbeda dalam menanggapi Indonesia abad XXI. Urusan diungkapkan Soekarno mendingan ditaruh di belakang setelah kita mampu memikirkan kejutan berpolitik di Indonesia. Fauzi mengingatkan bahwa komunikasi politik bukan bergerak “dari aksara, getaran suara, atau kekuatan kata-kata tapi lebih didominasi gambar atau foto.” Sejarah kehurufan berdalih revolusi “dijatuhkan” oleh kuasa foto (gambar).
Politik menjadi “licik” akibat ulah berlebihan kaum politik dalam mengelabui publik. Konon, mereka berideologi tapi “bebal” dalam membuat jalinan dengan jutaan orang bertumpu huruf. Mereka pilih gampangan, memamerkan rupa dan raga di penciptaan imajinasi politik (picik). Seruan-seruan Soekarno sulit berlaku untuk lakon kekuasaan di Indonesia abad XXI.
Kaum berhuruf dari masa lalu penting dikenang tak cuma Soekarno. Indonesia pun bergerak dan mulia dengan kekuatan huruf bertokoh Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Mereka itu pembaca dan penulis. Sejak awal abad XX, mereka menginginkan Indonesia berkiblat bacaan, bukan omongan-omongan berkepanjangan dan sembarangan.
Kaum buku itu berbeda nasib. Fauzi Sukri menjelaskan: “Namun, keduanya sedikit berbeda nasib dalam keterikatannya dengan buku. Tan Malaka, sebagai buronan politik, tak bisa membawa buku-bukunya dalam pelarian, sehingga terpaksa membuang buku-bukunya. Hatta, meski dibuang ke Banda Naira, tetap bisa membawa berpeti-peti buku.” Kaum lawasan masih mengagungkan buku cetak. Pada masa lalu, dua tokoh itu belum sempat berimajinasi bahwa ada buku tanpa kertas. Mereka tertinggal di sejarah, tak bersama kita dalam pemanjaan teknologi membaca buku. Kertas tak wajib. Kita bergawai, kita berhak membaca buku tanpa berat, repot, dan boros.
tulis komentar anda