Buku dan Kertas Berlalu
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Saudagar buku
INDONESIA bergerak dengan kaum berhuruf. Soekarno turut dalam kaum berhuruf, menggerakkan Indonesia dengan huruf-huruf meski orang-orang mengenang ia terlalu rajin berpidato. Pada masa 1950-an dan 1960-an, Soekarno mengajukan janji revolusi. Ia menginginkan jutaan orang Indonesia sanggup bertemu huruf-huruf alias membaca dan menulis dengan pelbagai pamrih.
“Ini pekerdjaan sebenarnja lebih hebat daripada sesuatu jang materiil – materiil itu wadak, saudara-saudara. Bikin beton itu materiil, bikin djalan materiil, bikin kereta api materiil, bikin kapal materiil. Tapi, ini lebih hebat daripada barang-barang materiil,” perkataan Soekarno di Semarang, 6 Agustus 1962. Ia berpidato, bukan membacakan teks. Soekarno sedang membicarakan masalah pemberantasan buta huruf. Seruan terpenting: pekerjaan memberantas huruf itu revolusioner.
Soekarno masih memberi penjelasan berlebihan: “… memberantas buta huruf sebenarnja lebih hebat, lebih besar daripada sekadar mendirikan stadion. Mendirikan stadion itu barang materiil, kalau memberantas buta huruf sebenarnja mendirikan stadion didalam otak kita, mendirikan didalam djiwa kita, mendirikan stadion didalam roh kita. Itu adalah lebih hebat daripada mendirikan stadion ditanah, seperti Stadion Utama dikampung Senajan, Djakarta, itu.” Soekarno ingin Indonesia bermartabat berpijak huruf, tak melulu bangunan-bangunan.
Pada abad XXI, Fauzi Sukri bukan berpidato tapi mempersembahkan tulisan-tulisan masih bertema huruf-huruf atau aksara berkaitan kekuasaan. Ia “melanjutkan” kemauan besar Soekarno tapi dibahasakan dengan berbeda dalam menanggapi Indonesia abad XXI. Urusan diungkapkan Soekarno mendingan ditaruh di belakang setelah kita mampu memikirkan kejutan berpolitik di Indonesia. Fauzi mengingatkan bahwa komunikasi politik bukan bergerak “dari aksara, getaran suara, atau kekuatan kata-kata tapi lebih didominasi gambar atau foto.” Sejarah kehurufan berdalih revolusi “dijatuhkan” oleh kuasa foto (gambar).
Politik menjadi “licik” akibat ulah berlebihan kaum politik dalam mengelabui publik. Konon, mereka berideologi tapi “bebal” dalam membuat jalinan dengan jutaan orang bertumpu huruf. Mereka pilih gampangan, memamerkan rupa dan raga di penciptaan imajinasi politik (picik). Seruan-seruan Soekarno sulit berlaku untuk lakon kekuasaan di Indonesia abad XXI.
Kaum berhuruf dari masa lalu penting dikenang tak cuma Soekarno. Indonesia pun bergerak dan mulia dengan kekuatan huruf bertokoh Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Mereka itu pembaca dan penulis. Sejak awal abad XX, mereka menginginkan Indonesia berkiblat bacaan, bukan omongan-omongan berkepanjangan dan sembarangan.
Kaum buku itu berbeda nasib. Fauzi Sukri menjelaskan: “Namun, keduanya sedikit berbeda nasib dalam keterikatannya dengan buku. Tan Malaka, sebagai buronan politik, tak bisa membawa buku-bukunya dalam pelarian, sehingga terpaksa membuang buku-bukunya. Hatta, meski dibuang ke Banda Naira, tetap bisa membawa berpeti-peti buku.” Kaum lawasan masih mengagungkan buku cetak. Pada masa lalu, dua tokoh itu belum sempat berimajinasi bahwa ada buku tanpa kertas. Mereka tertinggal di sejarah, tak bersama kita dalam pemanjaan teknologi membaca buku. Kertas tak wajib. Kita bergawai, kita berhak membaca buku tanpa berat, repot, dan boros.
Di Indonesia, buku-buku (cetak) belum telanjur dipuja tiba-tiba berubah tata cara akibat teknologi menampik sihir mengalir dari mesin cetak warisan Gutenberg. Kertas belum punah. Kita diminta berjarak dari kertas menggunakan dalih-dalih suci “kealaman” dan kekuasaan. “Takdir” terbaru bagi orang-orang masih sadar buku atau menginginkan bacaan tak memerlukan kertas. Sejarah diharuskan berubah arah.
Pada suatu masa, dua orang rajin membuat catatan dengan menggerakkan jari di kertas: Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Mereka mencatat pelbagai hal. Catatan-catatan dirawat setelah mereka pamit dari dunia. Publik mendapat suguhan bacaan dari LP3ES berjudul Catatan Seorang Demonstran dan Pergolakan Pemikiran Islam. Dua buku mengesahkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib bertaruh hidup dengan huruf-huruf menggerakkan ide dan menampung pengalaman hidup. Buku-buku itu laris, mengesahkan manusia-manusia berhuruf menjadikan Indonesia terus membaca dan menulis meski zaman selalu memberi godaan kemanjaan-kemanjaan.
Catatan Seorang Demonstran turut menggerakkan sejarah saat dibaca ribuan orang, dari masa ke masa. Buku itu menjadi sumber penggarapan film. Laris! Orang-orang belum atau sudah membaca memiliki predikat sebagai penonton film. Dampak mengejutkan kembali ke buku. Cetak ulang Catatan Seorang Demonstran mengakibatkan pergantian penampilan foto di kulit muka: demonstrasi kaum mahasiswa diganti Nicholas Saputra. Dulu, sampul digarap T Sutanto (1983). Penampilan sampul memberi memori bersama tapi berubah gara-gara film menampilkan aktor diakui ganteng dan pujaan di Indonesia.
Pola perubahan itu ditanggapi Fauzi Sukri: “Barankali karena para pembaca Indonesia sering patuh saja dan para perancang kaver vuku sering tidak begitu memperhatikan rasa historis. Kaver buku adalah ruang sosial imajinatif yang bertaut dengan rasa memori imajinatif historis buku dan pembacanya.” Kritik atas industri perbukuan diajukan saat mengetahui gelagat “hiburan” mulai mendesak hal-hal serius. Kita berada dalam babak pemanjaan dan perubahan bukan untuk makin mengerti sejarah tapi “mengentengkan” sejarah.
Sejarah memuat penulis dan pembaca buku di Indonesia lumrah telat dari Eropa atau Amerika Serikat. Di sana, mesin cetak dan industri perbukuan sering menentukan atau mengubah sejarah. Buku-buku tak sekadar benda. Kehormatan buku perlahan menjadi sasaran dari perwujudan teknologi-teknologi mutakhir. Indonesia pun ketularan tapi “salah waktu” dalam penerimaan dan terapan.
Fauzi Sukri sejenak membuat kita memikirkan posisi pembaca, sejak ratusan tahun lalu sampai abad XXI. Perubahan-perubahan dalam (industri atau teknologi) perbukuan memang terjadi sering mengejutkan tapi pembaca justru di “kelambanan”. Sodoran renungan: “Pembaca adalah manusia pencerna makna penuh kesadaran: suatu peristiwa yang sungguh abstrak, gaib, dan misterius, terutama dalam diri manusia, yang sampai abad mesin internet ini belum ada teknologinya. Bahkan, meski para ahli bahasa, ahli hermeneutika dan segala macam keahlian terkait teks dan bahasa sudah berdebat sengit selama berabad-abad untuk mencapai kemajuan proses memahami dipadukan dengan matematikawan dan ahli komputer, belum bisa mencipta mesin pembaca cepat secara kolektif, demi pemajuan proses otak-hati membaca, demi kemajuan peradaban manusia membaca sangat cepat.”
Kita tak berlanjut atau rampung merenung, jumlah pembaca buku (cetak) di Indonesia dikabarkan menurun. Orang-orang enggan berpikiran atau mendapat predikat pembaca, memilih menjadi melulu pemirsa atau penonton. Babak baru sejarah Indonesia itu kemeriahan dan penghiburan, tak ada kewajiban membuat sambungan-sambungan saat para penggerak Indonesia mengalami hari-hari berhuruf dan memberi warisan buku-buku.
Kita membuka buku berjudul Para Penjaga Ilmu: Dari Alexandria sampai Internet (2010) susunan Ian F McNeely dan Lisa Wolverton. Di hadapan buku berukuran besar dan tebal, kita kembali mengenang babak-babak sejarah memuat mesin cetak, buku, pembaca, perpustakaan, dan lain-lain. Sejarah terbentuk dengan sengketa dan keajaiban-keajaiban. Indonesia memang tak tercatat atau terjelaskan tapi turut dalam sekian babak perubahan atas pemerolehan pengetahuan bersumber bacaan. Di situ, kita mendapat kutipan agak terang: “… dengan segala kebaruan dan perjalanannya yang radikal, sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah kelanjutan dari pola yang telah berusia ribuan tahun lamanya.”
Di jarak agak jauh, kita memikirkan Indonesia dan buku. Pada suatu masa, ikhtiar menggerakkan dan memuliakan (pengetahuan) Indonesia dengan buku-buku. Kebijakan pemberantasan buta huruf demi revolusi dan pembangunan nasional telah berlalu meski gagal memunculkan “pesta pora buku”. Dua rezim (Soekarno dan Soeharto) memang membuat sejarah (industri) perbukuan tapi terlalu politis. Pada tatanan politik mutakhir dan situasi abad XXI, kita seperti kehilangan tautan-tautan kesejarahan (buku). Indonesia memang masih berhuruf tapi berlimpahan akibat: kebodohan, kebebalan, keributan, kebencian, kegamangan, kecengengan, keremehan, dan keamburadulan. Kita masih memiliki sejarah perlahan berguguran dan berserakan. Begitu.
Judul : Kuasa Aksara: Hatta, Tan Malaka, dan Masa Depan Membaca
Penulis : M Fauzi Sukri
Penerbit : Diomedia
Cetak : 2022
Tebal : 76 halaman
ISBN : 978 623 5518 54 1
Saudagar buku
INDONESIA bergerak dengan kaum berhuruf. Soekarno turut dalam kaum berhuruf, menggerakkan Indonesia dengan huruf-huruf meski orang-orang mengenang ia terlalu rajin berpidato. Pada masa 1950-an dan 1960-an, Soekarno mengajukan janji revolusi. Ia menginginkan jutaan orang Indonesia sanggup bertemu huruf-huruf alias membaca dan menulis dengan pelbagai pamrih.
“Ini pekerdjaan sebenarnja lebih hebat daripada sesuatu jang materiil – materiil itu wadak, saudara-saudara. Bikin beton itu materiil, bikin djalan materiil, bikin kereta api materiil, bikin kapal materiil. Tapi, ini lebih hebat daripada barang-barang materiil,” perkataan Soekarno di Semarang, 6 Agustus 1962. Ia berpidato, bukan membacakan teks. Soekarno sedang membicarakan masalah pemberantasan buta huruf. Seruan terpenting: pekerjaan memberantas huruf itu revolusioner.
Soekarno masih memberi penjelasan berlebihan: “… memberantas buta huruf sebenarnja lebih hebat, lebih besar daripada sekadar mendirikan stadion. Mendirikan stadion itu barang materiil, kalau memberantas buta huruf sebenarnja mendirikan stadion didalam otak kita, mendirikan didalam djiwa kita, mendirikan stadion didalam roh kita. Itu adalah lebih hebat daripada mendirikan stadion ditanah, seperti Stadion Utama dikampung Senajan, Djakarta, itu.” Soekarno ingin Indonesia bermartabat berpijak huruf, tak melulu bangunan-bangunan.
Pada abad XXI, Fauzi Sukri bukan berpidato tapi mempersembahkan tulisan-tulisan masih bertema huruf-huruf atau aksara berkaitan kekuasaan. Ia “melanjutkan” kemauan besar Soekarno tapi dibahasakan dengan berbeda dalam menanggapi Indonesia abad XXI. Urusan diungkapkan Soekarno mendingan ditaruh di belakang setelah kita mampu memikirkan kejutan berpolitik di Indonesia. Fauzi mengingatkan bahwa komunikasi politik bukan bergerak “dari aksara, getaran suara, atau kekuatan kata-kata tapi lebih didominasi gambar atau foto.” Sejarah kehurufan berdalih revolusi “dijatuhkan” oleh kuasa foto (gambar).
Politik menjadi “licik” akibat ulah berlebihan kaum politik dalam mengelabui publik. Konon, mereka berideologi tapi “bebal” dalam membuat jalinan dengan jutaan orang bertumpu huruf. Mereka pilih gampangan, memamerkan rupa dan raga di penciptaan imajinasi politik (picik). Seruan-seruan Soekarno sulit berlaku untuk lakon kekuasaan di Indonesia abad XXI.
Kaum berhuruf dari masa lalu penting dikenang tak cuma Soekarno. Indonesia pun bergerak dan mulia dengan kekuatan huruf bertokoh Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Mereka itu pembaca dan penulis. Sejak awal abad XX, mereka menginginkan Indonesia berkiblat bacaan, bukan omongan-omongan berkepanjangan dan sembarangan.
Kaum buku itu berbeda nasib. Fauzi Sukri menjelaskan: “Namun, keduanya sedikit berbeda nasib dalam keterikatannya dengan buku. Tan Malaka, sebagai buronan politik, tak bisa membawa buku-bukunya dalam pelarian, sehingga terpaksa membuang buku-bukunya. Hatta, meski dibuang ke Banda Naira, tetap bisa membawa berpeti-peti buku.” Kaum lawasan masih mengagungkan buku cetak. Pada masa lalu, dua tokoh itu belum sempat berimajinasi bahwa ada buku tanpa kertas. Mereka tertinggal di sejarah, tak bersama kita dalam pemanjaan teknologi membaca buku. Kertas tak wajib. Kita bergawai, kita berhak membaca buku tanpa berat, repot, dan boros.
Di Indonesia, buku-buku (cetak) belum telanjur dipuja tiba-tiba berubah tata cara akibat teknologi menampik sihir mengalir dari mesin cetak warisan Gutenberg. Kertas belum punah. Kita diminta berjarak dari kertas menggunakan dalih-dalih suci “kealaman” dan kekuasaan. “Takdir” terbaru bagi orang-orang masih sadar buku atau menginginkan bacaan tak memerlukan kertas. Sejarah diharuskan berubah arah.
Pada suatu masa, dua orang rajin membuat catatan dengan menggerakkan jari di kertas: Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Mereka mencatat pelbagai hal. Catatan-catatan dirawat setelah mereka pamit dari dunia. Publik mendapat suguhan bacaan dari LP3ES berjudul Catatan Seorang Demonstran dan Pergolakan Pemikiran Islam. Dua buku mengesahkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib bertaruh hidup dengan huruf-huruf menggerakkan ide dan menampung pengalaman hidup. Buku-buku itu laris, mengesahkan manusia-manusia berhuruf menjadikan Indonesia terus membaca dan menulis meski zaman selalu memberi godaan kemanjaan-kemanjaan.
Catatan Seorang Demonstran turut menggerakkan sejarah saat dibaca ribuan orang, dari masa ke masa. Buku itu menjadi sumber penggarapan film. Laris! Orang-orang belum atau sudah membaca memiliki predikat sebagai penonton film. Dampak mengejutkan kembali ke buku. Cetak ulang Catatan Seorang Demonstran mengakibatkan pergantian penampilan foto di kulit muka: demonstrasi kaum mahasiswa diganti Nicholas Saputra. Dulu, sampul digarap T Sutanto (1983). Penampilan sampul memberi memori bersama tapi berubah gara-gara film menampilkan aktor diakui ganteng dan pujaan di Indonesia.
Pola perubahan itu ditanggapi Fauzi Sukri: “Barankali karena para pembaca Indonesia sering patuh saja dan para perancang kaver vuku sering tidak begitu memperhatikan rasa historis. Kaver buku adalah ruang sosial imajinatif yang bertaut dengan rasa memori imajinatif historis buku dan pembacanya.” Kritik atas industri perbukuan diajukan saat mengetahui gelagat “hiburan” mulai mendesak hal-hal serius. Kita berada dalam babak pemanjaan dan perubahan bukan untuk makin mengerti sejarah tapi “mengentengkan” sejarah.
Sejarah memuat penulis dan pembaca buku di Indonesia lumrah telat dari Eropa atau Amerika Serikat. Di sana, mesin cetak dan industri perbukuan sering menentukan atau mengubah sejarah. Buku-buku tak sekadar benda. Kehormatan buku perlahan menjadi sasaran dari perwujudan teknologi-teknologi mutakhir. Indonesia pun ketularan tapi “salah waktu” dalam penerimaan dan terapan.
Fauzi Sukri sejenak membuat kita memikirkan posisi pembaca, sejak ratusan tahun lalu sampai abad XXI. Perubahan-perubahan dalam (industri atau teknologi) perbukuan memang terjadi sering mengejutkan tapi pembaca justru di “kelambanan”. Sodoran renungan: “Pembaca adalah manusia pencerna makna penuh kesadaran: suatu peristiwa yang sungguh abstrak, gaib, dan misterius, terutama dalam diri manusia, yang sampai abad mesin internet ini belum ada teknologinya. Bahkan, meski para ahli bahasa, ahli hermeneutika dan segala macam keahlian terkait teks dan bahasa sudah berdebat sengit selama berabad-abad untuk mencapai kemajuan proses memahami dipadukan dengan matematikawan dan ahli komputer, belum bisa mencipta mesin pembaca cepat secara kolektif, demi pemajuan proses otak-hati membaca, demi kemajuan peradaban manusia membaca sangat cepat.”
Kita tak berlanjut atau rampung merenung, jumlah pembaca buku (cetak) di Indonesia dikabarkan menurun. Orang-orang enggan berpikiran atau mendapat predikat pembaca, memilih menjadi melulu pemirsa atau penonton. Babak baru sejarah Indonesia itu kemeriahan dan penghiburan, tak ada kewajiban membuat sambungan-sambungan saat para penggerak Indonesia mengalami hari-hari berhuruf dan memberi warisan buku-buku.
Kita membuka buku berjudul Para Penjaga Ilmu: Dari Alexandria sampai Internet (2010) susunan Ian F McNeely dan Lisa Wolverton. Di hadapan buku berukuran besar dan tebal, kita kembali mengenang babak-babak sejarah memuat mesin cetak, buku, pembaca, perpustakaan, dan lain-lain. Sejarah terbentuk dengan sengketa dan keajaiban-keajaiban. Indonesia memang tak tercatat atau terjelaskan tapi turut dalam sekian babak perubahan atas pemerolehan pengetahuan bersumber bacaan. Di situ, kita mendapat kutipan agak terang: “… dengan segala kebaruan dan perjalanannya yang radikal, sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah kelanjutan dari pola yang telah berusia ribuan tahun lamanya.”
Di jarak agak jauh, kita memikirkan Indonesia dan buku. Pada suatu masa, ikhtiar menggerakkan dan memuliakan (pengetahuan) Indonesia dengan buku-buku. Kebijakan pemberantasan buta huruf demi revolusi dan pembangunan nasional telah berlalu meski gagal memunculkan “pesta pora buku”. Dua rezim (Soekarno dan Soeharto) memang membuat sejarah (industri) perbukuan tapi terlalu politis. Pada tatanan politik mutakhir dan situasi abad XXI, kita seperti kehilangan tautan-tautan kesejarahan (buku). Indonesia memang masih berhuruf tapi berlimpahan akibat: kebodohan, kebebalan, keributan, kebencian, kegamangan, kecengengan, keremehan, dan keamburadulan. Kita masih memiliki sejarah perlahan berguguran dan berserakan. Begitu.
Judul : Kuasa Aksara: Hatta, Tan Malaka, dan Masa Depan Membaca
Penulis : M Fauzi Sukri
Penerbit : Diomedia
Cetak : 2022
Tebal : 76 halaman
ISBN : 978 623 5518 54 1
(hdr)