Perang Melawan Stunting

Selasa, 07 Februari 2023 - 20:29 WIB
Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabet, morbiditas dan mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi.

Sejalan dengan isu global tersebut, Pemerintah Indonesia juga berusaha menurunkan angka stunting, walaupun akan terus ditekan lebih signifikan. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Tanah Air mengalami penurunan dari 24,4% di 2021 menjadi 21,6% di 2022. Angka tersebut turun 2,8 poin dari tahun sebelumnya.

Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Meski masih bertengger di posisi puncak, namun prevalensi balita stunting di NTT pun sejatinya juga telah menurun dari 2021 yang sebesar 37,8%.

Selanjutnya, Sulawesi Barat di peringkat kedua dengan prevalensi balita stunting 35%. Serta Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat yang memiliki prevalensi balita stunting masing-masing 34,6% dan 32,7%. Sementara itu, Bali menempati peringkat terbawah atau prevalensi balita stunting terendah di Indonesia. Persentasenya hanya 8% atau jauh di bawah angka stunting nasional pada 2022.

Determinan Terjadinya Stunting

Status ekonomi keluarga adalah salah satu faktor yang cukup besar berkontribusi terhadap kurangnya pemenuhan gizi pada anak. Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) 2020 menunjukkan bahwa faktor dominan pertama penyebab stunting adalah pendapatan keluarga.

Pendapatan keluarga yang rendah berpeluang 34 kali lebih besar menyebabkan terjadinya stunting. Hal tersebut selaras catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa sebagian besar stunting terjadi di perdesaan dengan tingkat ekonomi terbawah.

Selain faktor status ekonomi keluarga, ditemukan bahwa kualitas gizi makanan yang buruk berpeluang 21 kali lebih besar menyebabkan balita stunting. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2TK) mencatat bahwa terdapat 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif. Selain itu, dua dari tiga anak usia 0-24 bulan juga tidak menerima Makanan Pendamping ASI (MPASI). Selain itu, pendidikan dan pengetahuan ibu yang rendah juga memiliki peluang tiga kali lebih besar menyebabkan balita stunting.

Peran Posyandu

Tak dapat dimungkiri bahwa dampak stunting pada anak-anak dalam suatu negara mutlak akan berpengaruh pada kulitas Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. Sebagai bangsa yang sedang berpacu melakukan pembangunan nasional yang adil dan merata, tentu membutuhkan dukungan SDM yang andal. Akan tetapi, kebutuhan terhadap SDM berkualitas akan sulit terpenuhi jika banyak dari generasi muda penerus bangsa mengalami stunting.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More