Perang Melawan Stunting
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PEMBANGUNAN yang diharapkan setiap negara adalah yang berpihak pada seluruh masyarakat, bukan hanya pada segelintir kalangan. Fenomenanya, di balik pesatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi di berbagai negara, stunting masih menjadi permasalahan global yang pelik.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik masih belum sepenuhnya berjalan searah dengan perbaikan gizi masyarakat. Saat ini stunting diperkiraan terjadi pada lebih dari 160 juta anak usia balita di seluruh dunia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ironisnya, jika tidak ditangani dengan baik, diperkirakan pada 2025 terjadi penambahan 127 juta anak stunting di dunia. Angka tersebut merupakan problematika besar karena bisa mengancam kesejahteraan dan ketahanan nasional dalam jangka panjang.
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam kurun waktu cukup lama. Ini sebagai akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting juga merupakan salah satu indikator gagal tumbuh pada balita akibat kurangnya asupan gizi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan, yakni dari anak masih dalam bentuk janin hingga berusia 23 bulan.
Dilansir dari WHO dalam Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018), stunting dapat menimbulkan dampak dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kekurangan gizi pada usia dini tersebut dapat meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya rentan sakit, serta memiliki postur tubuh tak maksimal saat beranjak dewasa.
Selain itu, stunting juga menyebabkan kemampuan kognitif para penderitanya berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi di masa depan. Hasil penelitian Grantham-McGregor dan Baker-Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan performa di sekolah.
Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabet, morbiditas dan mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi.
Sejalan dengan isu global tersebut, Pemerintah Indonesia juga berusaha menurunkan angka stunting, walaupun akan terus ditekan lebih signifikan. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Tanah Air mengalami penurunan dari 24,4% di 2021 menjadi 21,6% di 2022. Angka tersebut turun 2,8 poin dari tahun sebelumnya.
Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Meski masih bertengger di posisi puncak, namun prevalensi balita stunting di NTT pun sejatinya juga telah menurun dari 2021 yang sebesar 37,8%.
Selanjutnya, Sulawesi Barat di peringkat kedua dengan prevalensi balita stunting 35%. Serta Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat yang memiliki prevalensi balita stunting masing-masing 34,6% dan 32,7%. Sementara itu, Bali menempati peringkat terbawah atau prevalensi balita stunting terendah di Indonesia. Persentasenya hanya 8% atau jauh di bawah angka stunting nasional pada 2022.
Determinan Terjadinya Stunting
Status ekonomi keluarga adalah salah satu faktor yang cukup besar berkontribusi terhadap kurangnya pemenuhan gizi pada anak. Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) 2020 menunjukkan bahwa faktor dominan pertama penyebab stunting adalah pendapatan keluarga.
Pendapatan keluarga yang rendah berpeluang 34 kali lebih besar menyebabkan terjadinya stunting. Hal tersebut selaras catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa sebagian besar stunting terjadi di perdesaan dengan tingkat ekonomi terbawah.
Selain faktor status ekonomi keluarga, ditemukan bahwa kualitas gizi makanan yang buruk berpeluang 21 kali lebih besar menyebabkan balita stunting. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2TK) mencatat bahwa terdapat 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif. Selain itu, dua dari tiga anak usia 0-24 bulan juga tidak menerima Makanan Pendamping ASI (MPASI). Selain itu, pendidikan dan pengetahuan ibu yang rendah juga memiliki peluang tiga kali lebih besar menyebabkan balita stunting.
Peran Posyandu
Tak dapat dimungkiri bahwa dampak stunting pada anak-anak dalam suatu negara mutlak akan berpengaruh pada kulitas Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. Sebagai bangsa yang sedang berpacu melakukan pembangunan nasional yang adil dan merata, tentu membutuhkan dukungan SDM yang andal. Akan tetapi, kebutuhan terhadap SDM berkualitas akan sulit terpenuhi jika banyak dari generasi muda penerus bangsa mengalami stunting.
Pemerintah telah menjadikan penanggulangan stunting sebagai prioritas nasional. Presiden telah menetapkan bahwa pengurangan angka stunting sebagai bagian dari pembangunan SDM unggul. Pilihan tersebut antara lain diwujudkan dengan menyiapkan anggaran program pencegahan stunting 2022 yang cukup besar. Selain dari anggaran rutin K/L yang menangani program tersebut, juga diberikan bantuan DAK fisik dan non-fisik, untuk mendukung pencapaian program ini di tahun 2023.
Sebagai program prioritas nasional, upaya penurunan angka stunting memerlukan peran serta daerah dalam menjalankannya. Semakin banyak daerah yang turut terlibat dalam menangani stunting, akan semakin mudah tujuan program penurunan stunting tercapai. Artinya, berbagai program penurunan angka prevalensi stunting yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat harus terintegrasi hingga ke desa.
Peran pemerintah desa dapat diupayakan mulai dari revitalisasi fungsi posyandu yakni dengan meningkatkan pelayanan penunjang kesehatan pada ibu hamil dan anak-anak. Selain itu harus ada upaya meningkatkan edukasi pada masyarakat sekitar terkait pentingnya peran orang tua dalam menjaga kecukupan gizi anak selama proses tumbuh kembang.
Posyandu juga perlu memastikan penyediaan makanan sehat bagi ibu hamil dan anak-anak. Pelayanan yang sangat krusial untuk segera diimplementasikan oleh posyandu di setiap daerah adalah pemberian makanan tambahan yang berkualitas. Pemberian makanan tambahan yang berfokus baik pada zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita dan ibu hamil sangat diperlukan dalam rangka pencegahan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan balita stunting.
Sejatinya, stunting pada anak dapat dicegah jika orang tua mengambil langkah-langkah penting dalam dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Oleh sebab itu, peran pemerintah daerah melalui posyandu dan dinas terkait diharapkan dapat lebih optimal dan terintegrasi sehingga prevalensi stunting terus menurun demi mencapai cita-cita Indonesia Maju 2045. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PEMBANGUNAN yang diharapkan setiap negara adalah yang berpihak pada seluruh masyarakat, bukan hanya pada segelintir kalangan. Fenomenanya, di balik pesatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi di berbagai negara, stunting masih menjadi permasalahan global yang pelik.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik masih belum sepenuhnya berjalan searah dengan perbaikan gizi masyarakat. Saat ini stunting diperkiraan terjadi pada lebih dari 160 juta anak usia balita di seluruh dunia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ironisnya, jika tidak ditangani dengan baik, diperkirakan pada 2025 terjadi penambahan 127 juta anak stunting di dunia. Angka tersebut merupakan problematika besar karena bisa mengancam kesejahteraan dan ketahanan nasional dalam jangka panjang.
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam kurun waktu cukup lama. Ini sebagai akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting juga merupakan salah satu indikator gagal tumbuh pada balita akibat kurangnya asupan gizi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan, yakni dari anak masih dalam bentuk janin hingga berusia 23 bulan.
Dilansir dari WHO dalam Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018), stunting dapat menimbulkan dampak dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kekurangan gizi pada usia dini tersebut dapat meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya rentan sakit, serta memiliki postur tubuh tak maksimal saat beranjak dewasa.
Selain itu, stunting juga menyebabkan kemampuan kognitif para penderitanya berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi di masa depan. Hasil penelitian Grantham-McGregor dan Baker-Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan performa di sekolah.
Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabet, morbiditas dan mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi.
Sejalan dengan isu global tersebut, Pemerintah Indonesia juga berusaha menurunkan angka stunting, walaupun akan terus ditekan lebih signifikan. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Tanah Air mengalami penurunan dari 24,4% di 2021 menjadi 21,6% di 2022. Angka tersebut turun 2,8 poin dari tahun sebelumnya.
Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Meski masih bertengger di posisi puncak, namun prevalensi balita stunting di NTT pun sejatinya juga telah menurun dari 2021 yang sebesar 37,8%.
Selanjutnya, Sulawesi Barat di peringkat kedua dengan prevalensi balita stunting 35%. Serta Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat yang memiliki prevalensi balita stunting masing-masing 34,6% dan 32,7%. Sementara itu, Bali menempati peringkat terbawah atau prevalensi balita stunting terendah di Indonesia. Persentasenya hanya 8% atau jauh di bawah angka stunting nasional pada 2022.
Determinan Terjadinya Stunting
Status ekonomi keluarga adalah salah satu faktor yang cukup besar berkontribusi terhadap kurangnya pemenuhan gizi pada anak. Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) 2020 menunjukkan bahwa faktor dominan pertama penyebab stunting adalah pendapatan keluarga.
Pendapatan keluarga yang rendah berpeluang 34 kali lebih besar menyebabkan terjadinya stunting. Hal tersebut selaras catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa sebagian besar stunting terjadi di perdesaan dengan tingkat ekonomi terbawah.
Selain faktor status ekonomi keluarga, ditemukan bahwa kualitas gizi makanan yang buruk berpeluang 21 kali lebih besar menyebabkan balita stunting. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2TK) mencatat bahwa terdapat 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif. Selain itu, dua dari tiga anak usia 0-24 bulan juga tidak menerima Makanan Pendamping ASI (MPASI). Selain itu, pendidikan dan pengetahuan ibu yang rendah juga memiliki peluang tiga kali lebih besar menyebabkan balita stunting.
Peran Posyandu
Tak dapat dimungkiri bahwa dampak stunting pada anak-anak dalam suatu negara mutlak akan berpengaruh pada kulitas Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. Sebagai bangsa yang sedang berpacu melakukan pembangunan nasional yang adil dan merata, tentu membutuhkan dukungan SDM yang andal. Akan tetapi, kebutuhan terhadap SDM berkualitas akan sulit terpenuhi jika banyak dari generasi muda penerus bangsa mengalami stunting.
Pemerintah telah menjadikan penanggulangan stunting sebagai prioritas nasional. Presiden telah menetapkan bahwa pengurangan angka stunting sebagai bagian dari pembangunan SDM unggul. Pilihan tersebut antara lain diwujudkan dengan menyiapkan anggaran program pencegahan stunting 2022 yang cukup besar. Selain dari anggaran rutin K/L yang menangani program tersebut, juga diberikan bantuan DAK fisik dan non-fisik, untuk mendukung pencapaian program ini di tahun 2023.
Sebagai program prioritas nasional, upaya penurunan angka stunting memerlukan peran serta daerah dalam menjalankannya. Semakin banyak daerah yang turut terlibat dalam menangani stunting, akan semakin mudah tujuan program penurunan stunting tercapai. Artinya, berbagai program penurunan angka prevalensi stunting yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat harus terintegrasi hingga ke desa.
Peran pemerintah desa dapat diupayakan mulai dari revitalisasi fungsi posyandu yakni dengan meningkatkan pelayanan penunjang kesehatan pada ibu hamil dan anak-anak. Selain itu harus ada upaya meningkatkan edukasi pada masyarakat sekitar terkait pentingnya peran orang tua dalam menjaga kecukupan gizi anak selama proses tumbuh kembang.
Posyandu juga perlu memastikan penyediaan makanan sehat bagi ibu hamil dan anak-anak. Pelayanan yang sangat krusial untuk segera diimplementasikan oleh posyandu di setiap daerah adalah pemberian makanan tambahan yang berkualitas. Pemberian makanan tambahan yang berfokus baik pada zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita dan ibu hamil sangat diperlukan dalam rangka pencegahan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan balita stunting.
Sejatinya, stunting pada anak dapat dicegah jika orang tua mengambil langkah-langkah penting dalam dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Oleh sebab itu, peran pemerintah daerah melalui posyandu dan dinas terkait diharapkan dapat lebih optimal dan terintegrasi sehingga prevalensi stunting terus menurun demi mencapai cita-cita Indonesia Maju 2045. Semoga.
(bmm)