Istitaah Haji antara Persepsi dan Implementasi
Rabu, 25 Januari 2023 - 16:54 WIB
Usulan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di hadapan DPR RI untuk penyesuaian biaya haji 2023 hendaknya dipahami sebagai usaha rekonstruksi prinsip istitaah bi al-nafs dalam merencanakan ibadah haji. Toh ini baru usulan dan BPIH 2023, belum diputuskan pemerintah.
Usulan itu disampakaian berdasarkan kebutuhan normal jamaah haji sesuai asas istitaah bi al-nafs, serta tetap menggunakan skema optimalisasi hasil efisiensi dana haji (30%).
BPIH di Indonesia terbilang paling rendah di antara negara-negara lain di ASEAN karena selama ini ditopang dengan optimalisasi keuntungan dana haji. Dalam empat tahun terakhir sebelum masa pandemi, BPIH Indonesia dalam dollar adalah sebesar USD2.717 (2015),USD2.585 (2016), USD2.606 (2017), dan USD2.632 (2018).
Kita dapat membandingkannya BPIH Indonesia dengan negara-negara tetangga. Misalnya biaya haji Brunei Darussalam rata-rata berkisar di atas USD8000. Persisnya, USD8.738 (2015), USD8.788 (2016), USD8.422 (2017), dan USD8.980 (2018). Untuk Singapura, rata-rata di atas USD5000 yaitu: USD5.176 (2015), USD5.354 (2016), USD4.436 (2017), dan USD5.323 (2018). Sementara Malaysia, rata-rata biaya haji sebesar USD2.750 (2015), USD2.568 (2016), USD2.254 (2017), dan USD2.557 (2018).
Sekilas, BPIH Indonesia lebih tinggi dari Malaysia. Namun, sebenarnya lebih murah. Sebab, dari biaya yang dibayarkan jemaah, ada USD400 atau setara SAR1500 yang dikembalikan lagi kepada setiap jemaah sebagai biaya hidup di Tanah Suci. Sementara jamaah Malaysia tidak menerima living cost 1500 riyal seperti jamaah Indonesia.
Jadi, selama ini BPIH Indonesia tergolong paling murah karena optimalisasi hasil efisiensi dana haji, dan bukan berdasarkan kebutuhan normal serta istitaah bi al-nafs per jamaah. Pada musim haji tahun ini pun pemerintah masih menggunakan skema optimalisasi hasil efisiensi dana haji, tetapi hanya 30% saja dengan pertimbangan keadilan masyarakat.
Pemerintah tidak serta merta mengesampingkan optimalisasi hasil efisiensi dana haji sebab setoran haji diterima pemerintah –dalam hal ini Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menggunakan akad wakalah. Akad wakalah ini urgensinya agar BPKH punya kewenangan, legalitas secara syar’i dan juga secara hukum positif di Indonesia, untuk mendayagunakan, menempatkannya kepada sejumlah instrumen yang sangat beragam. Dengan demikian BPKH punya kewenangan untuk meningkatkan nilai manfaat dana haji.
Kita semestinya bersyukur sekalipun ada rencana penyesuaian biaya haji tahun 2023, pemerintah tetap mengalokasikan 30% hasil efisiensi dana haji. Kita perlu pahami bahwa yang dipakai adalah akad wakalah bukan qard (tabungan), apalagi ijarah (pinjaman). Penulis perlu sampaikan ini sebab umumnya masyarakat memahami setoran haji menggunakan qard dan ijarah. Padahal kalau hanya qard dan ijarah, maha hasil efisisensi dana haji tak akan sefantastis itu dan manfaatnya hanya seperti tabungan biasa. Dus, kalau tabungan biasa pemerintah selama ini tak akan bisa menutupi kebutuhan normal jamaah haji Indonesia.
Selama ini jamaah haji tidak mutlak menerapkan istitaah bi al-nafs tetapi juga istitaah bi ghairih (mampu karena pihak lain). Di satu sisi, kita patut syukuri manfaat yang kita terima dari hasil efisiensi dana haji. Namun di sisi lain kita seharusnya berbangga bahwa manfaat dana haji yang telah di-wakalah-kan dapat dinikmati oleh saudara-saudara kita yang belum terbayang menunaikan ibadah haji. Mari bersihkan hati sebelum berangkat menunaikan ibadah haji!
Lihat Juga: 5 Tanda Kiamat yang Muncul dari Mekkah, dari Gunung Berlubang hingga Bayangan Kabah Tidak Terlihat
Usulan itu disampakaian berdasarkan kebutuhan normal jamaah haji sesuai asas istitaah bi al-nafs, serta tetap menggunakan skema optimalisasi hasil efisiensi dana haji (30%).
BPIH di Indonesia terbilang paling rendah di antara negara-negara lain di ASEAN karena selama ini ditopang dengan optimalisasi keuntungan dana haji. Dalam empat tahun terakhir sebelum masa pandemi, BPIH Indonesia dalam dollar adalah sebesar USD2.717 (2015),USD2.585 (2016), USD2.606 (2017), dan USD2.632 (2018).
Kita dapat membandingkannya BPIH Indonesia dengan negara-negara tetangga. Misalnya biaya haji Brunei Darussalam rata-rata berkisar di atas USD8000. Persisnya, USD8.738 (2015), USD8.788 (2016), USD8.422 (2017), dan USD8.980 (2018). Untuk Singapura, rata-rata di atas USD5000 yaitu: USD5.176 (2015), USD5.354 (2016), USD4.436 (2017), dan USD5.323 (2018). Sementara Malaysia, rata-rata biaya haji sebesar USD2.750 (2015), USD2.568 (2016), USD2.254 (2017), dan USD2.557 (2018).
Sekilas, BPIH Indonesia lebih tinggi dari Malaysia. Namun, sebenarnya lebih murah. Sebab, dari biaya yang dibayarkan jemaah, ada USD400 atau setara SAR1500 yang dikembalikan lagi kepada setiap jemaah sebagai biaya hidup di Tanah Suci. Sementara jamaah Malaysia tidak menerima living cost 1500 riyal seperti jamaah Indonesia.
Jadi, selama ini BPIH Indonesia tergolong paling murah karena optimalisasi hasil efisiensi dana haji, dan bukan berdasarkan kebutuhan normal serta istitaah bi al-nafs per jamaah. Pada musim haji tahun ini pun pemerintah masih menggunakan skema optimalisasi hasil efisiensi dana haji, tetapi hanya 30% saja dengan pertimbangan keadilan masyarakat.
Pemerintah tidak serta merta mengesampingkan optimalisasi hasil efisiensi dana haji sebab setoran haji diterima pemerintah –dalam hal ini Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menggunakan akad wakalah. Akad wakalah ini urgensinya agar BPKH punya kewenangan, legalitas secara syar’i dan juga secara hukum positif di Indonesia, untuk mendayagunakan, menempatkannya kepada sejumlah instrumen yang sangat beragam. Dengan demikian BPKH punya kewenangan untuk meningkatkan nilai manfaat dana haji.
Kita semestinya bersyukur sekalipun ada rencana penyesuaian biaya haji tahun 2023, pemerintah tetap mengalokasikan 30% hasil efisiensi dana haji. Kita perlu pahami bahwa yang dipakai adalah akad wakalah bukan qard (tabungan), apalagi ijarah (pinjaman). Penulis perlu sampaikan ini sebab umumnya masyarakat memahami setoran haji menggunakan qard dan ijarah. Padahal kalau hanya qard dan ijarah, maha hasil efisisensi dana haji tak akan sefantastis itu dan manfaatnya hanya seperti tabungan biasa. Dus, kalau tabungan biasa pemerintah selama ini tak akan bisa menutupi kebutuhan normal jamaah haji Indonesia.
Selama ini jamaah haji tidak mutlak menerapkan istitaah bi al-nafs tetapi juga istitaah bi ghairih (mampu karena pihak lain). Di satu sisi, kita patut syukuri manfaat yang kita terima dari hasil efisiensi dana haji. Namun di sisi lain kita seharusnya berbangga bahwa manfaat dana haji yang telah di-wakalah-kan dapat dinikmati oleh saudara-saudara kita yang belum terbayang menunaikan ibadah haji. Mari bersihkan hati sebelum berangkat menunaikan ibadah haji!
Lihat Juga: 5 Tanda Kiamat yang Muncul dari Mekkah, dari Gunung Berlubang hingga Bayangan Kabah Tidak Terlihat
(bmm)
tulis komentar anda