Istitaah Haji antara Persepsi dan Implementasi

Rabu, 25 Januari 2023 - 16:54 WIB
Standar Istitaah

Kemampuan setiap orang bersifat relatif akan tetapi kemampuan seseorang untuk menjalankan haji telah distandardisasikan dari sejak dulu oleh para ulama fiqh. Tujuannya supaya relativitas ini tidak mendatangkan masalah, baik pada pribadi calon jamaah haji maupun pemerintah, penduduk serta pendatang lainnya di Tanah Suci.

Para ulama telah membuat standardisasi istitaah, khususnya biaya hidup (al-zad) dan transportasi (al-rahilah). Menurut Abdullah b. Shalih al-Qashir dalam kitab Zad al-Hujjaj wa al-Mu’tamirin, standardisasi istitaah sangat penting mengingat penjelasan hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari sahabat Anas b. Malik. Disebutkan bahwa ada seseorang yang menanyakan: Apa yang dimaksud dengan orang yang mampu atas jalannya dalam QS. Ali Imran ayat 97? Rasulullah menjawab: (orang yang mampu) atas biaya hidup (al-zad) dan transportasi (al-rahilah).

Dalam kitab Nihayat al-Zain halaman 202-203, Syekh Nawawi al-Bantani seorang ulama Nusantara yang menetap di Mekkah dan setiap tahun melayani jemaah haji asal Indonesia telah menjabarkan 7 standar istitaah: (1) mengantongi ongkos haji (wujud mu’tanat al-safar); (2) tersedia sarana transportasi yang laik jalan; (3) jaminan keamanan selama perjalanan; (4) ketersediaan bahan konsumsi selama perjalanan; (5) khusus bagi perempuan terdapat pihak yang melindunginya; (6) kenyamanan transportasi dan akomodasi selama di Tanah Suci, dan (7) longgar waktu menunaikan ibadah haji.

Syekh Nawawi al-Bantani sebagaimana ulama lainnya memandang penting adanya standardisasi istitaah sebab dalam ibadah haji istitaah sifatnya personalitas (istitaah bi al-nafs). Beda halnya dengan hukum memakmurkan Baitullah yang bersifat istitaah kolektif, di mana harus ada setiap waktu orang-orang yang dipandang mampu (mustati’) memakmurkan Baitullah dengan cara tawaf dan lainnya

Istitaah bi al-nafs diukur berdasarkan tujuh standar itu ada kaitannya dengan tujuan menjaga dan memelihara kesakralan Baitullah sebagaimana firman-Nya: “Dan keduanya supaya mensucikan rumah-Ku buat orang-orang yang bertawaf, beriktikaf, beruku’ dan bersujud.” (QS. Al-Baqarah ayat 125)

Seseorang yang istitaah bi al-nafs menjalankan ibadah haji merupakan orang yang tidak memiliki beban ekonomi dan sosial, sehingga khusyu dan khidmat beribadah di Tanah Suci serta tidak “mengotori” Baitullah.

Di zaman Rasulullah pernah terjadi sekelompok orang yang menjalankan ibadah haji dengan meminta-minta belas kasihan orang lain karena mereka datang bukan dari golongan mustati’ bi al-nafs. Dari peristiwa itulah turun ayat “wa tazawwadu” (QS. Al-Baqarah ayat 197).

Rasulullah Saw pun sempat menyabdakan sebuah hadis: “Barangsiapa meminta ditanggung Allah dengan tidak meminta-minta bantuan kepada orang lain maka akan ditanggung Allah dengan kenikmatan surga (HR. Abu Dawud).

Usulan Menteri Agama Perspektif Istitaah
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More