Perlambatan Ekonomi & Countercyclical-Policy

Senin, 11 Mei 2015 - 09:32 WIB
Perlambatan Ekonomi...
Perlambatan Ekonomi & Countercyclical-Policy
A A A
Setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2015 yang jauh di bawah target pemerintah, yaitu sebesar 4,71%, pertanyaan berikutnya, what next,akan sangat tergantung dari kesigapan pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang bersifat countercyclical.

Kebijakan ekonomi countercyclical sangat dibutuhkan saat ini dan ditujukan untuk melawan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, paket kebijakan ekonomi dapat mencegah perlambatan lebih dalam ekonomi nasional di tengah perlambatan perekonomian kawasan dan global.

Paket kebijakan countercyclical dapat difokuskan untuk mempertahankan daya beli masyarakat, mencegah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), stimulus pajak agar industri dan dunia usaha lebih bergairah, memperbesar belanja negara, meningkatkan gaji pegawai negeri, dan memperkuat daya tahan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Tanpa adanya kebijakan untuk melawan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan kepercayaan, baik pelaku usaha maupun konsumen, terhadap prospek perekonomian nasional sepanjang tahun 2015 akan terus menurun. Hal ini juga semakin meningkatkan risiko tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P2015 yang dipatok sebesar 5,7% dan agenda pembangunan lainnya.

Bahkan bila dibandingkan dengan kuartal IV 2014, terjadi penurunan sebesar 0,18% (q to q). Pemerintah saat ini berharap selesainya pembahasan APBN-P 2015 dan mulai bergulirnya pembangunan infrastruktur dapat mendorong perekonomian nasional. Namun tekanan ekonomi global dan regional melalui fluktuasi nilai tukar rupiah, pelemahan pasar ekspor dunia, dan tergerusnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga perlu mendapatkan perhatian khusus.

Kebijakan untuk memitigasi dampak negatif tren pelemahan dunia usaha dan daya beli masyarakat perlu segera dilakukan. Apabila kita sedikit melihat ke belakang, tantangan ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia saat ini agak berbeda bila kita bandingkan ketika kita harus menghadapi dampak krisis subprime- mortgagedi Amerika Serikat pada tahun 2008 dan guncangan pasar keuangan dunia akibat krisis utang Eropa pada 2011.

Bila dua krisis yang telah kita lalui disebabkan externalshock akibat melemahnya kinerja ekonomi negara maju, saat ini situasinya berbalik karena justru membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang menciptakan instabilitas pasar keuangan dan likuiditas dunia. Apabila pada tahun 2008 dan 2011, kondisi pasar domestik dan daya beli masyarakat terjaga, yang kita hadapi saat ini justru perlambatan perekonomian nasional juga dikontribusi utamanya oleh faktor-faktor domestik.

Misalnya saja belum optimalnya belanja modal, menurunnya daya beli masyarakat dan konsumsi domestik. Kebijakan ekonomi countercyclical yang tepat dan terukur sangatlah dibutuhkan. Koordinasi antara pemerintah-BI-OJK dan LPS juga perlu lebih diintensifkan agar paket-kebijakan yang akan dikeluarkan tidak tumpang tindih dan secara efektif dapat memitigasi tren perlambatan.

Selain itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan dunia usaha untuk meningkatkan efektivitas perumusan kebijakan yang akan dikeluarkan. Sejumlah asosiasi industri seperti Kadin, Apindo, Hipmi, dan Hippi perlu diajak berkoordinasi untuk merumuskan kebijakan yang paling tepat dan terukur.

Kepala daerah juga perlu diajak berkoordinasi agar langkah dan strategi di tingkat pusat akan mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah. Di tengah tren perlambatan ekonomi, dunia usaha kita semakin memerlukan kepastian kebijakan pemerintah untuk segera mengembalikan kepercayaandi tengah perlambatan ekonomi nasional.

Paket kebijakan untuk memulihkan dan menstimulasi perekonomian nasional perlu segera dirumuskan agar daya tahan perekonomian Indonesia semakin tinggi. Terlebih kita masih menunggu kapan The Fed akan mengumumkan kenaikan suku bunga acuan yang diperkirakan banyak pihak akan dilakukan pada Juni tahun ini.

Apabila The Fed benar-benar merealisasi kenaikan suku bunga, pertumbuhan ekonomi nasional akan semakin tertekan lagi akibat penyesuaian suku bunga yang akan diambil Bank Indonesia sebagai respons terhadap kebijakan The Fed. Sebenarnya Indonesia telah memiliki pengalaman melakukan kebijakan countercyclicalseperti paket kebijakan yang diambil untuk mitigasi krisis subprime-mortgage 2008.

Pemerintah pada saat itu menyusun paket kebijakan stimulus-fiskal yang ditujukan untuk mempertahankan dan atau meningkatkan daya beli masyarakat demi mendorong konsumsi, mencegah terjadinya PHK dan peningkatan daya saing serta daya tahan dunia usaha di tengah krisis ekonomi dunia dan mencegah PHK serta terus memperbesar lapangan kerja melalui belanja infrastruktur padat karya.

Hasilnya pertumbuhan ekonomi nasional pada 2008 dapat dipertahankan sebesar 6,1%. Pada tahun 2009, persis di saat krisis ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,5% dan di kuartal IV 2009 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,4%. Setelah itu, di tahun 2010 tercatat pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,1%.

Paket stimulus-fiskal disepakati bersama DPR pada saat itu dengan anggaran sebesar Rp73,3 triliun yang terdiri atas stimulus perpajakan sebesar Rp56,3 triliun dan belanja negara Rp17 triliun. Kebijakan mempertahankan daya beli masyarakat ditempuh melalui beberapa program seperti meningkatkan gaji PNS dan TNIPolri, kenaikan gaji pensiun dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dari sisi penguatan daya tahan dan daya saing dunia usaha, pemerintah menempuh pemberian keringanan dan penurunan tarif pajak serta kepabeanan melalui penurunan tarif pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah, bea masuk ditanggung pemerintah (DTP), fasilitas PPh Pasal 21 dan PPh Panas Bumi.

Langkah ini ditempuh untuk menjaga kelangsungan produksi sehingga risiko PHK dapat diminimalkan. Pembangunan infrastruktur padat karya pada saat itu membantu penyerapan tenaga kerja dan memberikan efek pengganda yang tidak kecil kepada daya beli masyarakat.

Selain pemerintah, Bank Indonesia juga melakukan kebijakan moneter yang bersifat countercyclical untuk memitigasi dampak krisis ekonomi dunia di tahun 2009. Sejumlah kebijakan ditempuh antara lain kebijakan untuk menurunkan tekanan inflasi melalui penyesuaian suku bunga, kebijakan penguatan ketahanan sistem perbankan, dan kebijakan untuk mencegah dampak krisis global terhadap kelancaran sistem pembayaran nasional.

BI bersama dengan pemerintah pada saat itu berhasil tidak hanya mencegah terjadinya risiko sistemik akibat krisis ekonomi dunia, tetapi juga memperkuat daya tahan perekonomian nasional. Tidak mengherankan apabila kinerja ekonomi di kuartal IV 2009 dan sepanjang tahun 2010 memberikan perspektif optimistis tidak hanya bagi dunia usaha, tetapi juga dari sisi konsumsi dalam negeri.

Saat ini ketika Indonesia berada dalam pusaran ketidakpastian dan perlambatan perekonomian dunia, paket kebijakan untuk memperkuat daya beli masyarakat serta dunia usaha perlu segera dirumuskan.

Belajar dari pengalaman masa lalu, paket kebijakan yang bersifat countercyclical tidak hanya membantu di saat perlambatan ekonomi terjadi, tetapi juga sebagai penguatan fundamental ekonomi agar proses pemulihan dapat berjalan secara cepat. Paket kebijakan berupa stimulus fiskal dan moneter membutuhkan koordinasi kebijakan agar terpadu dan efektif.

Terlebih saat ini baik dunia usaha maupun konsumen dalam negeri sangat membutuhkan kebijakan yang dapat memulihkan kepercayaan dan optimisme akan prospek perekonomian nasional setelah melambatnya pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015.

Prof Firmanzah PhD
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0704 seconds (0.1#10.140)