Polri Mengalah, Kisruh Polri-KPK Reda

Rabu, 06 Mei 2015 - 08:46 WIB
Polri Mengalah, Kisruh...
Polri Mengalah, Kisruh Polri-KPK Reda
A A A
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

Menangguhkan penahanan sambil terus melakukan proses hukum atas kasus yang dituduhkan kepada Novel Baswedan, sekali lagi, menjadi jalan tengah atau opsi terbaik bagi Polri dan pemerintah.

Berkat kemauan Polri menahan diri alias mengalah, republik ini diharapkan makin kondusif. Entah seperti apa jadinya suasana di negara ini seandainya Bareskrim Mabes Polri tetap pada pendiriannya, menahan Novel Baswedan, penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Suasana pasti akan sangat bising karena munculnya pro-kontra atas langkah Polri menahan Novel kendati sesuai dengan prosedur hukum.

Publik akan frustrasi karena harus menyaksikan lagi kisruh Polri versus KPK. Kepercayaan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Jusuf Kalla (JK) bisa ambruk ke titik terendah karena publik akan menilai dua pemimpin tidak mampu mengontrol dan mengendalikan dua institusi itu. Kisruh Polri versus KPK sebelumnya masih segar dalam ingatan publik.

Apalagi, beberapa hari sebelum penangkapan Novel, publik juga menyimak berita tentang Ketua KPK (nonaktif) Abraham Samad yang sempat juga akan ditahan kepolisian di Sulawesi. Kalau pada kasus Novel tidak diambil jalan tengah, persepsi sebagian publik di negara ini terhadap pemerintah pasti akan memburuk. Kredibilitas pemerintah praktistertolongsetelahKapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti sepakat menangguhkan penahanan Novel Baswedan, dengan jaminan lima pemimpin KPK.

Namun, juga disepakati bahwa proses hukum kasus Novel akan berlanjut hingga dituntaskan di pengadilan. “Kesepakatannya diproses sampai ke pengadilan,” kata Badrodin saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (2/5). Jalan tengah ini tantangan yang menarik, baik bagi Bareskrim Mabes Polri maupun bagi Novel Baswedan. Bagi Polri, tantangannya tak lain adalah membuktikan apa yang dituduhkan kepada Novel memang mengandung kebenaran, yang sudah barang tentu harus didukung dengan bukti-bukti yang memadai.

Tentu saja Polri juga harus bisa menghadirkan saksi pelapor dan saksi-saksi lain yang diperlukan. Sebaliknya, Novel Baswedan sudah menegaskan kesiapannya menjalani proses hukum agar kasusnya tuntas. “Pada dasarnya, saya ingin semua ini diselesaikan dengan tuntas. Apa pun langkah yang akan ditempuh, saya siap menghadapi,” tegas Novel pada konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (2/5).

Novel merupakan tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet. Perkara ini terjadi pada 18 Februari 2004 di Pantai Panjang Ujung Kota Bengkulu. Dalam peristiwa itu, polisi menangkap enam pencuri sarang burung walet. Setelah diinterogasi, terjadi penembakan yang menyebabkan satu orang tewas. Novel saat itu berpangkat inspektur satu (iptu) dan menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu.

Dia dinilai bertanggung jawab atas penembakan itu. Kasus ini dilaporkan oleh Yogi Hariyanto. Pada Oktober 2012, Direskrimum Polda Bengkulu Kombes Dedi Irianto bersama sejumlah petugas dari Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya pernah mendatangi KPK untuk menangkap Novel. Upaya itu gagal berkat imbauan Presiden SBY. Belakangan kasus itu harus diproses lagi agar tidak kedaluwarsa dan dapat dibuktikan secara hukum. Sebelum ditangkap, Novel dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan.

Karena dinilai tidak kooperatif itulah, penyidik Bareskrim Mabes Polri menciduk Novel di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (1/5) dini hari. Dia kemudian ditahan di Mako Brimob Depok. Surat penangkapan Novel bernomor SP.Kap/19/IV/2015/ Dittipidum yang memuat perintah Bareskrim untuk membawa Novel Baswedan ke kantor polisi untuk segera dilakukan pemeriksaan karena Novel diduga keras bertanggung jawab atas penganiayaan yang mengakibatkan luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP dan atau Pasal 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP.

Momentum Harmonisasi

Baik kesepakatan penangguhan penahanan Novel maupun kesepakatan melanjutkan proses hukum kasus yang dituduhkan itu hingga ke pengadilan merupakan jalan tengah yang harus dipilih Polri. Pilihan ini respons Polri atas permintaan (untuk tidak mengatakan intervensi) Presiden Jokowi agar institusi negara tidak lagi membuat langkah-langkah yang kontroversial karena kontroversi seringkali menimbulkan ketidakpastian.

Saat ini, ketika perekonomian nasional sedang mengalami pelambatan, dibutuhkan suasana kondusif agar pemulihan bisa terwujud. Selain itu, dua kesepakatan tersebut juga memungkinkan penuntasan kasus dimaksud berjalan lebih fair. Kesan siapa kalah dan siapa menang hilang dengan sendirinya. Mekanisme pengadilanlah yang akan memastikan siapa yang salah dan siapa yang benar.

Karena itulah, dua kesepakatan itu patut diterima sebagai tantangan yang cukup menarik bagi masing-masing pihak. Posisi Polri memang cukup dilematis. Kalau kasus Novel tidak segera ditindaklanjuti hingga berstatus kedaluwarsa, Polri akan dipersalahkan oleh korban atau pihak lain yang merasa dirugikan dalam kasus itu. Polri bahkan bisa dituntut oleh para korban atau keluarga mereka.

Sebaliknya, jika dalam situasi sekarang ini Polri maju terus menangani kasus tersebut sesuai standar prosedur operasi, persepsi publik bisa negatif. Apalagi, usia kasus itu sudah sangat lama. Polri bisa dinilai tidak mendukung upaya pemerintah memperbarui sinergi penegakan hukum antarinstitusi penegak hukum yang sempat menimbulkan keragu-raguan publik akibat kisruh Polri dengan KPK belum lama ini.

Karena itu, penangguhan penahanan Novel bisa dimaknai sebagai niat baik dan kesungguhan Polri mendukung pemerintah. Sikap sebagian publik yang semula sempat gusar bisa berbalik menjadi simpati kepada Polri. Apalagi, jika Polri bisa tampil menjadi pemenang di pengadilan kasus Novel nanti. Dua kesepakatan itu juga bisa menjadi momentum pemulihan hubungan dan kerja sama Polri dengan KPK.

Syaratnya sederhana saja, Polri dan Novel bersama KPK harus kooperatif menyelesaikan kasus ini. Selain itu, proses hukumnya juga harus dibuat transparan agar publik bisa memahami persoalan secara jernih. Transparansi akan menghilangkan prasangka buruk serta menghilangkan kesan ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau ihwal ini bisa terlaksana, publik akan memberi apresiasi kepada Polri, KPK, maupun pemerintah.

Aspek lain yang menarik disimak dari kasus yang terakhir ini adalah gambaran belum tuntasnya konsolidasi pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK. Nyaris berulangnya kisruh Polri dengan KPK itu menimbulkan pertanyaan seputar kapabilitas dua pemimpin mengendalikan institusi negara. Muncul kesan bahwa dua pemimpin tampaknya masih harus bersusah payah untuk sekadar mewujudkan harmoni antara Polri dan KPK.

Kemudian, Presiden dan Wapres juga nyaris memperkuat kesan itu. Banyak orang harus dan terpaksa mengernyitkan dahi ketika Presiden Jokowi dan Wapres JK berbeda dalam menyikapi kasus penangkapan dan penahanan Novel Baswedan oleh Polri. Presiden minta agar Novel tak harus ditahan, Wapres justru membuat pernyataan bernuansa bisa memaklumi langkah Polri.

Sudah barang tentu perbedaan sikap ini tak hanya menyedot perhatian publik, tapi juga menimbulkan pertanyaanpertanyaan yang sangat spekulatif. Kalau perbedaan seperti ini terjadi berulang-ulang, Presiden dan Wapres justru menjadi sumber ketidakpastian itu sendiri. Semoga, insiden seperti itu tidak terjadi lagi. Karena itu, sangat penting bagi Presiden dan Wapres merampungkan konsolidasi pemerintahan sekarang ini.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8766 seconds (0.1#10.140)