Dua Angka 8 di Balik Buku Myra
A
A
A
Dalam masyarakat Tionghoa, angka delapan memiliki makna mendalam. Angka yang ditulis tanpa terputus ini dianggap memiliki makna baik.
Oleh karena itu, setiap orang yang memiliki angka ini dianggap memiliki banyak keberuntungan dan kemuliaan duniawi.
Tentu kemuliaan ini akan berlipatlipat bila memiliki angka delapannya ada dua. Dan, orang yang sungguh beruntung itu adalah Myra Sidharta.
Myra Sidharta adalah penulis dengan latar belakang pendidikan psikologi dari Fakultas Psikologi Rijksuniversiteit Leiden, Belanda. Tahun ini peneliti budaya etnik Tionghoa ini sungguh beruntung. Usianya telah memasuki 88 tahun. Bukan hanya karena telah banyak merasakan asam garam saja, tetapi juga dikaruniakan kesehatan dan ingatan yang baik. Untuk menyambut perayaan ulang tahun inilah Myra meluncurkan buku berjudul Seribu Senyum dan Setetes Air Mata beberapa waktu lalu.
Buku ini memuat 52 tulisan Myra yang pernah dimuat di berbagai media cetak. Berbagai tulisan itu mengangkat tema-tema yang beragam. Mulai dari masalah supermarket, kartu undangan, handphone , budaya sun (cium pipi kiri dan kanan), lalu lintas di Jakarta, kebiasaan meminjam buku, shopping, pergantian nama buat masyarakat Tionghoa, masakan, sampah, pengemis, hobi, gosip, dll. Tema-tema yang diangkat nampak sederhana dan merupakan isu yang biasa menjadi perbincangan dalam masyarakat.
Namun, di balik kesederhanaan itu Myra memotret tingkah laku masyarakat dengan kaca mata psikologi. Dari tulisan-tulisannya, kita akan tertawa atau tersenyum kecil melihat kejenakaan yang disodorkan. Dalam tulisannya berjudul Serunya Berkendara di Jakarta, Myra menceritakan kisah temannya yang baru belajar mengendarai mobil di Jakarta. Doly, nama temannya, merasa senang karena sekarang dapat bepergian tanpa harus tergantung pada sopir lagi.
Penuturan temannya disambut senyum oleh Myra karena dia tahu berkendaraan di Jakarta tidak mudah. Myra teringat ucapan MAW Brouwer, rekannya yang juga penulis. ”Orang Indonesia adalah orang yang paling ramah di dunia, tetapi di belakang kemudi langsung menjadi binatang paling buas”. (Halaman 186). Kabar angin, isu, atau gosip adalah perbincangan yang sangat menarik dan punya pengaruh besar dalam masyarakat.
Lewat tulisan berjudul Kabar Angin, Myra mengungkapkan kabar angin yang paling banyak menyebabkan kepanikan adalah mengenai bankbank yang kalah kliring. Setelah salah satu bank mengalami kalah kliring, bank-bank lain diterpa isu sejenis. Dampak dari kabar angin bukan hanya membawa masyarakat jadi korban. Pejabat dan presiden sekalipun dapat menjadi korban, padahal isu itu belum tentu jelas. Apalagi telah bertambah bumbu-bumbu yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Untuk itu, perempuan yang menguasai lima bahasa ini mengingatkan bahwa tidak ada orang yang kebal dengan kabar angin, tetapi tidak ada salahnya untuk membentuk sedikit kekebalan melalui kesabaran yang baik sehingga aspek-aspek bahayanya dapat ditanggulangi. (Halaman 239). Sebagai perempuan peranakan Tionghoa, Myra punya perhatian kepada tanah leluhurnya yang datang dari daerah Meixian, sebelah utara Provinsi Guangzhou, Tiongkok.
Dari daerah ini orang-orang Hakka di Indonesia umumnya berasal. Orang-orang Hakka di Indonesia sangat membanggakan daerah asalnya. Mereka bangga akan daerahnya yang indah dan subur, kerajinan tangannya yang bagus, serta lagu-lagunya yang indah. Mereka juga menganggap penduduk Meixian termasuk orang-orang yang paling terpelajar di Tiongkok. Anggapan ini menimbulkan pertanyaan besar dalam lubuk perempuan yang memiliki nama asli Ew Yhong Tjhoen.
Mengapa kekayaan dan kesuburan yang ada ditinggalkan orang Meixian untuk merantau ke pemukiman baru? Salah satunya ke Belitung, tempat penambangan timah. Setelah menuntaskan studinya di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, Myra memberi perhatian pada kebudayaan Etnik Tionghoa. Keahliannya ini membuat Moy, panggilan akrab Myra, menjadi pembicara dalam beberapa seminar di luar negeri, seperti di Belanda, Prancis, Hong Kong, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan Taiwan.
Selain tentang daerah leluhurnya, Myra menyodorkan tulisan tentang perubahan nama bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pada masa rezim Orde Baru, pemerintah menganjurkan agar masyarakat Tionghoa mengganti namanya dengan nama asli Indonesia. Meskipun tidak wajib, pergantian dianggap sebagai alat asimilasi. Salah satu yang mengganti nama adalah Ah Fu. Dia menggunakan Untung sebagai kata pertama. Nama barunya ini memiliki arti sama dengan nama aslinya.
Untuk kata kedua dia menambahkan nama Sukirno. Kata ini merupakan singkatan dari Mungkir Cino. Ah Fu berharap dengan nama barunya dia akan tetap memperoleh peruntungan dalam perjalanan hidup. Tetapi kenyataannya, pada kerusuhan 13 Mei 1998, tiga tokonya dijarah dan habis dibakar. Untuk itu secara khusus, perempuan yang lahir pada 6 Maret 1927 di Tanjung Pandan, Belitung ini memberikan pesan kepada Ah Fu dan peranakan Tionghoa lainnya bahwa keberuntungan tidak tergantung nama, tetapi warisan yang mengalir dalam darah setiap orang Tionghoa.
”Keuletan dan kemahiran berbisnis, itulah yang Anda warisi dari nenek moyang, yang membawa keberuntungan untuk Anda. Jangan pikirkan masa lampau. Mulai lagi dari permulaan dan bukalah toko baru. Di kelenteng, Anda bisa mendapat jawaban di mana menemukan lokasi terbaik”. (Halaman 235). Dari persoalan masalah nama, Myra dengan lincah bisa menulis tentang masalah kebijakan Orde Baru. Begitu pula lewat tahu, makanan berbentuk kotak dan biasanya berwarna putih, Myra dapat menyusuri pertempuran di Kediri pada abad ke-13.
Dengan cara inilah, Myra mengangkat tulisannya menjadi menarik. Lewat persoalan-persoalankecildansederhana, Myra menyodorkan gagasan besar. Namun demikian, tulisannya tetap ringan dan jenaka. Keahlian ini tentu tertempa lewat proses panjang yang ditunjang oleh kebiasaannya melakukan pengamatan.
”Kalau di mobil, saya jarang tidur dan jarang ngobrol. Baca di mobil saya tidak bisa. Jadi saya lihat kanan-kiri. Kalau ada mobil baru lewat, saya minta sopir, ayo kita kejar, lihat mobil apa itu. Begitu juga kalau ada toko baru. Diingat-ingat mungkin bisa jadi tulisan,” tutur penulis beberapa buku ini. Hasil dari pengamatan itu semakin kuat setelah ditambah riset perpustakaan.
Dengan cara inilah, istri ahli saraf ternama Prof Dr Priguna Sidharta ini meraih banyak keberuntungan untuk mendapat bahan untuk tulisannya. Keberuntungan itu semakin berlipat karena pada ulang tahunnya ke-88 tetap dikaruniai kesehatan dan ingatan yang tajam, sehingga dia masih mampu menghasilkan tulisan yang menarik, tajam, sekaligus jenaka.
A Bobby Pr
Penulis Buku Biografi
Oleh karena itu, setiap orang yang memiliki angka ini dianggap memiliki banyak keberuntungan dan kemuliaan duniawi.
Tentu kemuliaan ini akan berlipatlipat bila memiliki angka delapannya ada dua. Dan, orang yang sungguh beruntung itu adalah Myra Sidharta.
Myra Sidharta adalah penulis dengan latar belakang pendidikan psikologi dari Fakultas Psikologi Rijksuniversiteit Leiden, Belanda. Tahun ini peneliti budaya etnik Tionghoa ini sungguh beruntung. Usianya telah memasuki 88 tahun. Bukan hanya karena telah banyak merasakan asam garam saja, tetapi juga dikaruniakan kesehatan dan ingatan yang baik. Untuk menyambut perayaan ulang tahun inilah Myra meluncurkan buku berjudul Seribu Senyum dan Setetes Air Mata beberapa waktu lalu.
Buku ini memuat 52 tulisan Myra yang pernah dimuat di berbagai media cetak. Berbagai tulisan itu mengangkat tema-tema yang beragam. Mulai dari masalah supermarket, kartu undangan, handphone , budaya sun (cium pipi kiri dan kanan), lalu lintas di Jakarta, kebiasaan meminjam buku, shopping, pergantian nama buat masyarakat Tionghoa, masakan, sampah, pengemis, hobi, gosip, dll. Tema-tema yang diangkat nampak sederhana dan merupakan isu yang biasa menjadi perbincangan dalam masyarakat.
Namun, di balik kesederhanaan itu Myra memotret tingkah laku masyarakat dengan kaca mata psikologi. Dari tulisan-tulisannya, kita akan tertawa atau tersenyum kecil melihat kejenakaan yang disodorkan. Dalam tulisannya berjudul Serunya Berkendara di Jakarta, Myra menceritakan kisah temannya yang baru belajar mengendarai mobil di Jakarta. Doly, nama temannya, merasa senang karena sekarang dapat bepergian tanpa harus tergantung pada sopir lagi.
Penuturan temannya disambut senyum oleh Myra karena dia tahu berkendaraan di Jakarta tidak mudah. Myra teringat ucapan MAW Brouwer, rekannya yang juga penulis. ”Orang Indonesia adalah orang yang paling ramah di dunia, tetapi di belakang kemudi langsung menjadi binatang paling buas”. (Halaman 186). Kabar angin, isu, atau gosip adalah perbincangan yang sangat menarik dan punya pengaruh besar dalam masyarakat.
Lewat tulisan berjudul Kabar Angin, Myra mengungkapkan kabar angin yang paling banyak menyebabkan kepanikan adalah mengenai bankbank yang kalah kliring. Setelah salah satu bank mengalami kalah kliring, bank-bank lain diterpa isu sejenis. Dampak dari kabar angin bukan hanya membawa masyarakat jadi korban. Pejabat dan presiden sekalipun dapat menjadi korban, padahal isu itu belum tentu jelas. Apalagi telah bertambah bumbu-bumbu yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Untuk itu, perempuan yang menguasai lima bahasa ini mengingatkan bahwa tidak ada orang yang kebal dengan kabar angin, tetapi tidak ada salahnya untuk membentuk sedikit kekebalan melalui kesabaran yang baik sehingga aspek-aspek bahayanya dapat ditanggulangi. (Halaman 239). Sebagai perempuan peranakan Tionghoa, Myra punya perhatian kepada tanah leluhurnya yang datang dari daerah Meixian, sebelah utara Provinsi Guangzhou, Tiongkok.
Dari daerah ini orang-orang Hakka di Indonesia umumnya berasal. Orang-orang Hakka di Indonesia sangat membanggakan daerah asalnya. Mereka bangga akan daerahnya yang indah dan subur, kerajinan tangannya yang bagus, serta lagu-lagunya yang indah. Mereka juga menganggap penduduk Meixian termasuk orang-orang yang paling terpelajar di Tiongkok. Anggapan ini menimbulkan pertanyaan besar dalam lubuk perempuan yang memiliki nama asli Ew Yhong Tjhoen.
Mengapa kekayaan dan kesuburan yang ada ditinggalkan orang Meixian untuk merantau ke pemukiman baru? Salah satunya ke Belitung, tempat penambangan timah. Setelah menuntaskan studinya di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, Myra memberi perhatian pada kebudayaan Etnik Tionghoa. Keahliannya ini membuat Moy, panggilan akrab Myra, menjadi pembicara dalam beberapa seminar di luar negeri, seperti di Belanda, Prancis, Hong Kong, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan Taiwan.
Selain tentang daerah leluhurnya, Myra menyodorkan tulisan tentang perubahan nama bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pada masa rezim Orde Baru, pemerintah menganjurkan agar masyarakat Tionghoa mengganti namanya dengan nama asli Indonesia. Meskipun tidak wajib, pergantian dianggap sebagai alat asimilasi. Salah satu yang mengganti nama adalah Ah Fu. Dia menggunakan Untung sebagai kata pertama. Nama barunya ini memiliki arti sama dengan nama aslinya.
Untuk kata kedua dia menambahkan nama Sukirno. Kata ini merupakan singkatan dari Mungkir Cino. Ah Fu berharap dengan nama barunya dia akan tetap memperoleh peruntungan dalam perjalanan hidup. Tetapi kenyataannya, pada kerusuhan 13 Mei 1998, tiga tokonya dijarah dan habis dibakar. Untuk itu secara khusus, perempuan yang lahir pada 6 Maret 1927 di Tanjung Pandan, Belitung ini memberikan pesan kepada Ah Fu dan peranakan Tionghoa lainnya bahwa keberuntungan tidak tergantung nama, tetapi warisan yang mengalir dalam darah setiap orang Tionghoa.
”Keuletan dan kemahiran berbisnis, itulah yang Anda warisi dari nenek moyang, yang membawa keberuntungan untuk Anda. Jangan pikirkan masa lampau. Mulai lagi dari permulaan dan bukalah toko baru. Di kelenteng, Anda bisa mendapat jawaban di mana menemukan lokasi terbaik”. (Halaman 235). Dari persoalan masalah nama, Myra dengan lincah bisa menulis tentang masalah kebijakan Orde Baru. Begitu pula lewat tahu, makanan berbentuk kotak dan biasanya berwarna putih, Myra dapat menyusuri pertempuran di Kediri pada abad ke-13.
Dengan cara inilah, Myra mengangkat tulisannya menjadi menarik. Lewat persoalan-persoalankecildansederhana, Myra menyodorkan gagasan besar. Namun demikian, tulisannya tetap ringan dan jenaka. Keahlian ini tentu tertempa lewat proses panjang yang ditunjang oleh kebiasaannya melakukan pengamatan.
”Kalau di mobil, saya jarang tidur dan jarang ngobrol. Baca di mobil saya tidak bisa. Jadi saya lihat kanan-kiri. Kalau ada mobil baru lewat, saya minta sopir, ayo kita kejar, lihat mobil apa itu. Begitu juga kalau ada toko baru. Diingat-ingat mungkin bisa jadi tulisan,” tutur penulis beberapa buku ini. Hasil dari pengamatan itu semakin kuat setelah ditambah riset perpustakaan.
Dengan cara inilah, istri ahli saraf ternama Prof Dr Priguna Sidharta ini meraih banyak keberuntungan untuk mendapat bahan untuk tulisannya. Keberuntungan itu semakin berlipat karena pada ulang tahunnya ke-88 tetap dikaruniai kesehatan dan ingatan yang tajam, sehingga dia masih mampu menghasilkan tulisan yang menarik, tajam, sekaligus jenaka.
A Bobby Pr
Penulis Buku Biografi
(ars)