Jangan Khawatir, Dokter
A
A
A
Ketika 20 April 2015 yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa dokter bisa diajukan ke pengadilan pidana tanpa harus menunggu pemeriksaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), beberapa dokter mempersoalkan dan menyatakan kekhawatirannya.
Kata mereka, dokter wajib menolong setiap orang sakit dan dalam memberi pertolongan itu bisa saja terjadi akibat yang tidak diinginkan, yaitu gagal menolong. Misalnya, ada pasien yang meninggal atau lumpuh seumur hidup. Putusan MK itu, menurut mereka, bisa menghadapkan dokter pada situasi dilematis. Pada satu sisi dokter harus melakukan tindakan sebisanya secara cepat, tapi pada sisi lain dokter takut dihukum karena gagal menolong.
Dokter bercuit panjang ke akun Twitter saya, menyatakan kekhawatiran dan menanyakan duduk soalnya? Mengapa dokter bisa langsung diadili karena melaksanakan tugasnya? Bukankah lebih tepat diperiksa dulu oleh MKDKI agar bisa diketahui benar atau tidaknya sang dokter melakukan pelanggaran dan bersalah? Bagaimana jika hakim yang bukan dokter salah memahami dan menilai?
Apakah profesi lain bisa dipidanakan tanpa pemeriksaan dan keputusan lebih dulu dari dewan kehormatan profesinya? Apakah hakim atau penegak hukumnya lainnya bisa diadili juga karena kesalahannya dalam menangani perkara? Tanggal 26 April 2015 lalu saya bertemu dengan Dokter Yadi, ahli bedah kanker payudara, di Hotel Pullman, Surabaya yang sedang menghadiri kongres organisasi profesinya.
Dokter muda ini pun mengemukakan kegundahannya. “Bayangkan Prof, orang seperti saya ini setiap hari menangani sekitar 50 pasien. Saya pasti selalu berhati-hati, tetapi karena lelah bisa saja terjadi sesuatu pada pasien tanpa disengaja. Apakah kami ini harus diadili?” tanyanya.
Kepada Dokter Pukovisa dan Dokter Yadi itu dijelaskan hal yang sama. Proses hukum, termasuk peradilan pidana, merupakan proses yang terpisah dari proses “peradilan” etika atau profesi. Keduanya bisa berjalan sendiri-sendiri, yang satu boleh lebih cepat atau lebih belakangan daripada yang lain. Bisa juga dilakukan secara bersamaan (simultan) tetapi tetap tidak berkaitan.
Sanksinya pun, jika terbukti bersalah, adalah berbeda. Sanksi pada peradilan pidana adalah sanksi pidana seperti pemenjaraan, denda dan/atau pencabutan hak-hak tertentu. Sedangkan pada peradilan profesi jika terbukti seorang dokter melakukan pelanggaran atas etika profesinya adalah teguran, skors, larangan berpraktik, dan sebagainya.
Berjalannya dua proses, peradilan pidana dan pemeriksaan oleh dewan etik atau kehormatan, berlaku untuk semua prosesi. Ada pegawai negeri sipil (PNS) yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Pertimbangan Pegawai bersamaan dengan pengajuannya ke pengadilan pidana.
Ada wartawan yang dipecat dari profesinya sekaligus diadili. Ada juga yang hanya dipecat oleh dewan kehormatan, tapi tidak diadili secara pidana. Tak perlulah ditanya, bagi penegak hukum berlaku hal yang sama. Ada hakim MK yang sudah dijadikan Tersangka pidana korupsi oleh KPK tetapi pada saat yang sama proses pemeriksaan etika profesinya berjalan di Majelis Kehormatan.
Yang bersangkutan diberhentikan berdasar keputusan Majelis Kehormatan sebelum pengadilan pidana menjatuhkan vonis. Tapi ada juga yang dijatuhi sanksi profesi setelah ada putusan pidana dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) Lihat juga kasus pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan yang spektakuler itu.
Selain Gayus sendiri yang dihukum pidana dan dipecat sebagai PNS para penegak hukum, yaitu Hakim Ibarim, Jaksa Cirus Sinaga, dua polisi, dan seorang pengacara yang pernah memainkan kasus Gayus, semua dijatuhi hukuman pidana dan dipecat dari profesinya. Jadi, peradilan pidana dan “peradilan profesi” itu berjalan sendiri-sendiri, terpisah, meski kadang kala materi pemeriksaannya berhimpitan, bahkan sama.
Kedua jalur itu juga tak saling membatalkan sehingga kalau tidak bersalah secara pidana bukan berati secara otomatis tidak bersalah secara profesi dan sebaliknya. Koreksi sanksi karena ada bukti baru dan penilaian lain juga harus melalui prosedurnya sendirisendiri.
Pemisahan jalur dan prosedur peradilan antara hukum dan profesi ini penting agar setiap ada kesalahan segera bisa ditangani. Tak boleh ada pekerja profesi menolak diadili di pengadilan pidana dengan alasan belum diperiksa oleh dewan kehormatan profesinya; sebaliknya tak boleh ada juga pelaku profesi yang menolak diadili dan dijatuhi sanksi oleh dewan etik profesinya dengan alasan proses pidananya masih berlangsung.
Peraturan itu berlaku di mana-mana. Ketakutan para dokter untuk dipidanakan sering diajukan dengan pernyataan kekhawatiran bahwa mereka tidak bersalah melainkan hanya gagal menolong. Kepada Dokter Yadi dan Dokter Pukovisa, saya katakan dengan serius agar tidak takut kalau memang tak bersalah.
Pengadilan pidana hanya akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan. Salah satu dalil pokok yang selalu dipedomani dalam hukum peradilan pidana adalah “tidak ada hukuman tanpa kesalahan”. Seumpama salah pun hukum masih membedakan kesalahan atas kesengajaan dan kelalaian yang hukumannya juga berbeda.
Jadi selama berhati-hati dan tidak sengaja berbuat salah, para dokter tak perlu takut untuk terus mengabdi bagi kemanusiaan. Dedikasikan bakti Anda pada negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. Indonesia berbangga memiliki putra-putri seperti Anda.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Kata mereka, dokter wajib menolong setiap orang sakit dan dalam memberi pertolongan itu bisa saja terjadi akibat yang tidak diinginkan, yaitu gagal menolong. Misalnya, ada pasien yang meninggal atau lumpuh seumur hidup. Putusan MK itu, menurut mereka, bisa menghadapkan dokter pada situasi dilematis. Pada satu sisi dokter harus melakukan tindakan sebisanya secara cepat, tapi pada sisi lain dokter takut dihukum karena gagal menolong.
Dokter bercuit panjang ke akun Twitter saya, menyatakan kekhawatiran dan menanyakan duduk soalnya? Mengapa dokter bisa langsung diadili karena melaksanakan tugasnya? Bukankah lebih tepat diperiksa dulu oleh MKDKI agar bisa diketahui benar atau tidaknya sang dokter melakukan pelanggaran dan bersalah? Bagaimana jika hakim yang bukan dokter salah memahami dan menilai?
Apakah profesi lain bisa dipidanakan tanpa pemeriksaan dan keputusan lebih dulu dari dewan kehormatan profesinya? Apakah hakim atau penegak hukumnya lainnya bisa diadili juga karena kesalahannya dalam menangani perkara? Tanggal 26 April 2015 lalu saya bertemu dengan Dokter Yadi, ahli bedah kanker payudara, di Hotel Pullman, Surabaya yang sedang menghadiri kongres organisasi profesinya.
Dokter muda ini pun mengemukakan kegundahannya. “Bayangkan Prof, orang seperti saya ini setiap hari menangani sekitar 50 pasien. Saya pasti selalu berhati-hati, tetapi karena lelah bisa saja terjadi sesuatu pada pasien tanpa disengaja. Apakah kami ini harus diadili?” tanyanya.
Kepada Dokter Pukovisa dan Dokter Yadi itu dijelaskan hal yang sama. Proses hukum, termasuk peradilan pidana, merupakan proses yang terpisah dari proses “peradilan” etika atau profesi. Keduanya bisa berjalan sendiri-sendiri, yang satu boleh lebih cepat atau lebih belakangan daripada yang lain. Bisa juga dilakukan secara bersamaan (simultan) tetapi tetap tidak berkaitan.
Sanksinya pun, jika terbukti bersalah, adalah berbeda. Sanksi pada peradilan pidana adalah sanksi pidana seperti pemenjaraan, denda dan/atau pencabutan hak-hak tertentu. Sedangkan pada peradilan profesi jika terbukti seorang dokter melakukan pelanggaran atas etika profesinya adalah teguran, skors, larangan berpraktik, dan sebagainya.
Berjalannya dua proses, peradilan pidana dan pemeriksaan oleh dewan etik atau kehormatan, berlaku untuk semua prosesi. Ada pegawai negeri sipil (PNS) yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Pertimbangan Pegawai bersamaan dengan pengajuannya ke pengadilan pidana.
Ada wartawan yang dipecat dari profesinya sekaligus diadili. Ada juga yang hanya dipecat oleh dewan kehormatan, tapi tidak diadili secara pidana. Tak perlulah ditanya, bagi penegak hukum berlaku hal yang sama. Ada hakim MK yang sudah dijadikan Tersangka pidana korupsi oleh KPK tetapi pada saat yang sama proses pemeriksaan etika profesinya berjalan di Majelis Kehormatan.
Yang bersangkutan diberhentikan berdasar keputusan Majelis Kehormatan sebelum pengadilan pidana menjatuhkan vonis. Tapi ada juga yang dijatuhi sanksi profesi setelah ada putusan pidana dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) Lihat juga kasus pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan yang spektakuler itu.
Selain Gayus sendiri yang dihukum pidana dan dipecat sebagai PNS para penegak hukum, yaitu Hakim Ibarim, Jaksa Cirus Sinaga, dua polisi, dan seorang pengacara yang pernah memainkan kasus Gayus, semua dijatuhi hukuman pidana dan dipecat dari profesinya. Jadi, peradilan pidana dan “peradilan profesi” itu berjalan sendiri-sendiri, terpisah, meski kadang kala materi pemeriksaannya berhimpitan, bahkan sama.
Kedua jalur itu juga tak saling membatalkan sehingga kalau tidak bersalah secara pidana bukan berati secara otomatis tidak bersalah secara profesi dan sebaliknya. Koreksi sanksi karena ada bukti baru dan penilaian lain juga harus melalui prosedurnya sendirisendiri.
Pemisahan jalur dan prosedur peradilan antara hukum dan profesi ini penting agar setiap ada kesalahan segera bisa ditangani. Tak boleh ada pekerja profesi menolak diadili di pengadilan pidana dengan alasan belum diperiksa oleh dewan kehormatan profesinya; sebaliknya tak boleh ada juga pelaku profesi yang menolak diadili dan dijatuhi sanksi oleh dewan etik profesinya dengan alasan proses pidananya masih berlangsung.
Peraturan itu berlaku di mana-mana. Ketakutan para dokter untuk dipidanakan sering diajukan dengan pernyataan kekhawatiran bahwa mereka tidak bersalah melainkan hanya gagal menolong. Kepada Dokter Yadi dan Dokter Pukovisa, saya katakan dengan serius agar tidak takut kalau memang tak bersalah.
Pengadilan pidana hanya akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan. Salah satu dalil pokok yang selalu dipedomani dalam hukum peradilan pidana adalah “tidak ada hukuman tanpa kesalahan”. Seumpama salah pun hukum masih membedakan kesalahan atas kesengajaan dan kelalaian yang hukumannya juga berbeda.
Jadi selama berhati-hati dan tidak sengaja berbuat salah, para dokter tak perlu takut untuk terus mengabdi bagi kemanusiaan. Dedikasikan bakti Anda pada negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. Indonesia berbangga memiliki putra-putri seperti Anda.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ftr)