Marsinah dan Teologi Pembebasan Buruh
A
A
A
Menjelang perayaan May Day tahun ini, berbagai elemen buruh mengusulkan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah.
Elemen buruh dan mahasiswa di Surabaya yang mengenakan kaus merah bergambar Marsinah juga berunjuk rasa mengelilingi jalan-jalan protokol Surabaya, menyuarakan pahlawan dari unsur buruh, Kamis (30/4). Tentang Marsinah sendiri, pasti banyak yang lupa. Padahal dalam dasawarsa 1990-an, tiada kasus yang sedemikian menyedot perhatian luar biasa kecuali kasus Marsinah.
Sekadar menyegarkan ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo. Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993, para buruh PT CPS mogok total.
Sampai dengan 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalamunjukrasa dan negosiasi. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 perwakilan karyawan yang bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Pada 5 Mei 1993 siang, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Kodim Sidoarjo. Mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh menggelar rapat gelap dan mengganggu stabilitas negara. Marsinah sempat mendatangi Kodim guna menanyakan keberadaan teman-temannya. Anehnya, sekitar pukul 10 malam pada 5 Mei, Marsinah lenyap. Konon ia diculik. Lalu tubuhnya ditemukan penuh bekas siksaan pada 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk.
Berbagai skenario dibuat, termasuk menuduh bos PT CPS sebagai pembunuh Marsinah sebagaimana diungkapkan Trimoelja D Soerjadi. Menurut pengacara senior asal Surabaya itu, kasus Marsinah sulit diungkap karena melibatkan militer. Maka sebagaimana kasus pembunuhan Munir masih tertutup kabut misteri, demikian juga kasus Marsinah.
Bandingkan dengan betapa cepatnya tuduhan dalam kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Hingga kini kasus Marsinah masih terdaftar di ILO sebagai kasus bernomor 1773. Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya berunjuk rasa memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto melarang segala bentuk unjuk rasa.
Setiap bentuk unjuk rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi Marsinah tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah penindasan. Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini, setelah 16 tahun reformasi, tak kunjung membaik.
Masih banyak soal yang menyandera dan membelenggu mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari upah yang masih di bawah standar UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta penundaan hingga kondisi kerja yang membahayakan. Naiknya kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita.
Bagi mereka, uang jauh lebih penting daripada martabat orang. Dalam situasi seperti ini, selain butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum buruh juga perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan. Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama.
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marginal. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”.
Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur menyebabkan buruh lemah, selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation,tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.).
Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, uruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan ketidakadilan. Tapi bagaimana membebaskan kaum buruh?
Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo-demo para buruh yang anarkistis? Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya ditengarai ada pengaruh Marxisme pada teologi ini.
Soal pengaruh Marx ini memang diakui ada, tetapi ajaran Marx hanya dimanfaatkan dalam menganalisis susunan dualistis, bangunan atas bangunan bawah: pemodal dan buruh. Gutierrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain.
Pembebasan dalam teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang dilakukan ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit.
Akibatnya, tujuan utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan. Pada May Day tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan.
Sepuluh tuntutan yang diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang lebih manusiawi dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan relasi yang hendak saling meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan Marsinah.
Selain itu, di balik sistem kapitalis yang dianggap ”jahat” sekalipun, sebenarnya masih muncul pengusaha yang memiliki hati dan menganggap buruh sebagai mitra serta aset berharga.
Tom Saptaatmaja
Teolog
Elemen buruh dan mahasiswa di Surabaya yang mengenakan kaus merah bergambar Marsinah juga berunjuk rasa mengelilingi jalan-jalan protokol Surabaya, menyuarakan pahlawan dari unsur buruh, Kamis (30/4). Tentang Marsinah sendiri, pasti banyak yang lupa. Padahal dalam dasawarsa 1990-an, tiada kasus yang sedemikian menyedot perhatian luar biasa kecuali kasus Marsinah.
Sekadar menyegarkan ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo. Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993, para buruh PT CPS mogok total.
Sampai dengan 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalamunjukrasa dan negosiasi. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 perwakilan karyawan yang bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Pada 5 Mei 1993 siang, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Kodim Sidoarjo. Mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh menggelar rapat gelap dan mengganggu stabilitas negara. Marsinah sempat mendatangi Kodim guna menanyakan keberadaan teman-temannya. Anehnya, sekitar pukul 10 malam pada 5 Mei, Marsinah lenyap. Konon ia diculik. Lalu tubuhnya ditemukan penuh bekas siksaan pada 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk.
Berbagai skenario dibuat, termasuk menuduh bos PT CPS sebagai pembunuh Marsinah sebagaimana diungkapkan Trimoelja D Soerjadi. Menurut pengacara senior asal Surabaya itu, kasus Marsinah sulit diungkap karena melibatkan militer. Maka sebagaimana kasus pembunuhan Munir masih tertutup kabut misteri, demikian juga kasus Marsinah.
Bandingkan dengan betapa cepatnya tuduhan dalam kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Hingga kini kasus Marsinah masih terdaftar di ILO sebagai kasus bernomor 1773. Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya berunjuk rasa memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto melarang segala bentuk unjuk rasa.
Setiap bentuk unjuk rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi Marsinah tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah penindasan. Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini, setelah 16 tahun reformasi, tak kunjung membaik.
Masih banyak soal yang menyandera dan membelenggu mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari upah yang masih di bawah standar UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta penundaan hingga kondisi kerja yang membahayakan. Naiknya kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita.
Bagi mereka, uang jauh lebih penting daripada martabat orang. Dalam situasi seperti ini, selain butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum buruh juga perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan. Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama.
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marginal. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”.
Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur menyebabkan buruh lemah, selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation,tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.).
Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, uruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan ketidakadilan. Tapi bagaimana membebaskan kaum buruh?
Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo-demo para buruh yang anarkistis? Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya ditengarai ada pengaruh Marxisme pada teologi ini.
Soal pengaruh Marx ini memang diakui ada, tetapi ajaran Marx hanya dimanfaatkan dalam menganalisis susunan dualistis, bangunan atas bangunan bawah: pemodal dan buruh. Gutierrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain.
Pembebasan dalam teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang dilakukan ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit.
Akibatnya, tujuan utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan. Pada May Day tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan.
Sepuluh tuntutan yang diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang lebih manusiawi dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan relasi yang hendak saling meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan Marsinah.
Selain itu, di balik sistem kapitalis yang dianggap ”jahat” sekalipun, sebenarnya masih muncul pengusaha yang memiliki hati dan menganggap buruh sebagai mitra serta aset berharga.
Tom Saptaatmaja
Teolog
(ftr)