Menghindari Jebakan Poros Maritim

Rabu, 29 April 2015 - 08:54 WIB
Menghindari Jebakan Poros Maritim
Menghindari Jebakan Poros Maritim
A A A
Ungkapan klise ”di antara dua benua dan dua samudera” yang menunjukkan nilai strategis Indonesia tidak pernah serelevan hari ini dan beberapa dekade mendatang.

Jika paruh pertama abad ke-20 didefinisikan oleh Eropa (Perang Dunia I dan II) dan paruh akhir abad ke-20 ditentukan oleh Atlantik (Perang Dingin), para pengamat meyakini bahwa abad ke-21 akan ditentukan oleh dua samudera besar yang mengapit Indonesia: Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Lanskap maritimlah yang akan menentukan wajah masa depan. Dus, tekad Presiden Joko Widodo untuk berhenti ”memunggungi lautan” patut didukung. Meski demikian, gagasan ”poros maritim” (”global maritime fulcrum”) tidak boleh diterapkan dengan tergesa-gesa dan melupakan pertimbangan strategis.

Upaya mencapai ”quick wins” ala Jokowi tidak boleh menutup mata para pengambil kebijakan dari perencanaan jangka panjang yang komprehensif. Jika tidak berhati-hati, Indonesia bisa menjadi korban dari persaingan kekuatan-kekuatan besar dunia yang samasama melihat Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sebagai arena perebutan pengaruh.

Poros Maritim dan Jalur Sutera Maritim

Gagasan Poros Maritim yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada masa kampanye kini telah menjadi salah satu warna yang paling kuat dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Gayung pun bersambut. China adalah salah satu kekuatan utama dunia yang menyambut gembira gagasan poros maritim ini.

Dalam lawatan Presiden Jokowi ke negara itu bulan lalu, China menawarkan dana bantuan hingga USD40 miliar dari ”Maritime Silk Fund” untuk merealisasikan visi ”Poros Maritim Dunia.” China meletakkan ”poros maritim” Indonesia sebagai sesuatu yang sejalan dengan gagasan Beijing untuk membangun kembali Jalur Sutera Maritim.

Yang menarik, gagasan ini pertama kali disampaikan oleh Presiden Xi Jinping dalam kunjungannya ke Indonesia pada Oktober 2013. Meski secara resmi disebut sebagai ”The 21st Century Maritime Silk Route Economic Belt” (”Sabuk Ekonomi Jalur Sutera Maritim Abad Ke-21”), banyak pengamat meyakini bahwa kebijakan China ini bukan semata soal ekonomi.

Meski tidak ada yang dapat memastikan niat Beijing yang sebenarnya, sebagian pengamat di Amerika Serikat dan India mengkhawatirkan bahwa proyek ini hanya kelanjutan dari strategi ”Stringof- Pearls” yang merupakan langkah Beijing untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar dan fasilitas maritim lain di sekitar Samudera Hindia, mulai dari Gwadar (yang dapat digunakan untuk mengawasi lalu lintas laut di Selat Hormuz) dan Pasni di Pakistan, Hambantota di Sri Lanka, Chittagong di Bangladesh, hingga ke Burma.

Langkah ini tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, namun juga memberikan nilai strategis bagi China karena pelabuhan-pelabuhan ini dapat berfungsi ganda sebagai fasilitas sipil maupun militer. Sebenarnya, kalaupun kecurigaan tersebut benar, hal tersebut dapat dimaklumi mengingat nilai strategis dua samudera besar tersebut.

China tentu tidak ingin mengulangi sejarah buruk dengan membiarkan jalur strategis itu dikendalikan orang lain. Dominasi China mulai merosot saat Portugis menaklukkan Malaka pada 1511 (Kaplan, 2010). Seperti dituturkan oleh Kaplan, kawasan yang akan dihubungkan oleh Jalur Sutera Maritim tersebut jalur utama pengangkutan minyak dan titik-titik penting dalam perdagangan dunia, mulai dari Bab El Mandeb, Hormuz, hingga Malaka.

Empat puluh persen minyak mentah dunia yang diangkut melalui laut harus melalui Selat Hormuz, sementara separuh armada perdagangan dunia melalui Selat Malaka. China, India, Jepang, Korea, dan tentu saja Amerika Serikat memiliki kepentingan besar di kawasan ini. Ini pulalah yang membuat India dan Amerika Serikat cenderung mencurigai maksud China di balik gagasan ”Jalur Sutera Maritim” itu.

Data kunjungan Angkatan Laut China sejak 1985-2013 membuat kekhawatiran itu semakin beralasan (Baxter, 2015). Pada periode tersebut, Angkatan Laut China melakukan 127 misi kunjungan ke pelabuhan-pelabuhan asing, terutama di kawasan yang akan dihubungkan oleh Jalur Sutera Maritim dengan jumlah pengiriman kapal mencapai 237.

Kunjungan kapal seberat 7.000 ton tentu sebuah tindakan simbolik yang menunjukkan kapasitas militer Beijing sekaligus fungsi ganda dari pelabuhan yang dikunjungi. India sangat bergantung pada kawasan Samudera Hindia. Seiring dengan pertumbuhan ekonominya yang pesat, kebutuhan energinya akan melonjak. Mayoritas suplai energi tersebut akan datang dari Teluk Persia melalui Laut Arab.

Sementara itu, Amerika Serikat sedang berupaya keras untuk meningkatkan kehadirannya di kawasan ini seperti ditunjukkan dengan beberapa inisiatifnya misalnya Trans Pacific Partnership( TPP) yang tidak memasukkan China.

Menjaga Visi Nasional

Tentu saja, mendekat pada China bukan sesuatu yang salah, apalagi jika diwujudkan dalam bentuk kerja sama yang konkret dan menguntungkan Indonesia. Meski demikian, penting untuk mengingat adagium hubungan internasional bahwa ”tidak ada makan siang yang gratis.”

Indonesia harus betul-betul cermat menghitung manfaat dan harga dari ”makan siang” itu, yang kebanyakan berupa pembiayaan infrastruktur maritim. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa dukungan China ini tidak menjadi perangkap bagi kepentingan nasional Indonesia pada masa yang akan datang. Yang pertama, Indonesia harus memasukkan pertimbangan strategis dalam pembangunan infrastruktur maritim.

Tidak boleh hanya menggunakan kacamata ekonomi. Jangan tergesa- gesa menyepakati pembangunan pelabuhan tertentu hanya karena ia menguntungkan secara ekonomi sebelum kita memasukkan pertimbangan dampak strategisnya. Kedua, Indonesia harus menghindari ketergantungan dengan kekuatan besar dunia yang mana pun, baik itu Amerika Serikat maupun China.

Langkah mendukung pendirian Asian Infrastructure Investment Bank yang diinisiasi Beijing misalnya harus dilihat dalam kerangka ”memperbanyak alternatif,” bukan meninggalkan Jepang dan Amerika Serikat. Ketiga,penting untuk mengimbangi kerja sama Jalur Sutera Maritim ini dengan membangun arsitektur regional yang bersifat multilateral.

Salah satu karakter menarik dari diplomasi China kontemporer adalah penekanannya yang kuat pada diplomasi bilateral, yang memberikan keuntungan pada Beijing sebagai negara yang lebih kuat. Untuk menjaga supaya hubungan Indonesia-China tidak menjadi hubungan yang sangat timpang dan membatasi kebebasan Indonesia, penting untuk mendukung multilateralisme di kawasan.

Poros maritim global harus menjadi pengungkit bagi kepentingan nasional Indonesia, bukan jungkat-jungkit yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia.

Shofwan Al Banna Choiruzzad
Sekretaris Eksekutif ASEAN Study Center FISIP UI dan Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3602 seconds (0.1#10.140)