LBH Desak Jokowi Cabut Keppres Penolakan Grasi Mary Jane
A
A
A
YOGYAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak segera mencabut Keppres No.31/G 2014 soal penolakan grasi (ampunan) terhadap terpidana mati kasus narkotika, Mary Jane Fiesta Veloso, 30.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) meminta Jokowi membatalkan eksekusi mati khususnya terhadap Mary Jane. Alasannya, LBH mengaku mempunyai bukti bahwa warga negara Filipina itu sebagai korban perdagangan manusia, bukan gembong narkotika internasional seperti yang dituduhkan.
"Keppres itu beshciking (keputusan) individu dan final seorang presiden," kata Direktur LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha, saat jumpa pers di kantornya, Selasa (28/4/2015).
Dia mengatakan, sebagai seorang presiden, Jokowi memiliki hak prerogatif memberikan ampunan kepada Mary Jane.
"Jokowi miliki hak mencabut dan menerbitkan Keppres yang baru berisi pemberian ampunan," tandasnya.
Pada kesempatan itu pihaknya juga menilai poses peradilan Mary Jane rapuh dan tidak fair.
Dia menjelaskan, jika merunut ke belakang saat proses penyidikan di Polda DIY dan persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Mary Jane tidak didampingi penerjemah yang berkompeten dan bisa menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Tagalog.
"Mary Jane hanya menguasai bahasa Tagalog, dan penerjemah saat itu juga masih berstatus mahasiswa," jelasnya.
Maka itu, pihaknya dengan tegas menolak hukuman mati bagi Mary Jane dan meminta pemerintah menghapus hukuman mati dari sistem hukum di Indonesia.
Apalagi, kata dia, hukuman mati melanggar Pancasila, UUD 45, dan HAM. "Setiap orang dijamin hak untuk hidup," imbuh Yogi Zul Fadhli, Kadiv Kampanye LBH Yogyakarta.(ico)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) meminta Jokowi membatalkan eksekusi mati khususnya terhadap Mary Jane. Alasannya, LBH mengaku mempunyai bukti bahwa warga negara Filipina itu sebagai korban perdagangan manusia, bukan gembong narkotika internasional seperti yang dituduhkan.
"Keppres itu beshciking (keputusan) individu dan final seorang presiden," kata Direktur LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha, saat jumpa pers di kantornya, Selasa (28/4/2015).
Dia mengatakan, sebagai seorang presiden, Jokowi memiliki hak prerogatif memberikan ampunan kepada Mary Jane.
"Jokowi miliki hak mencabut dan menerbitkan Keppres yang baru berisi pemberian ampunan," tandasnya.
Pada kesempatan itu pihaknya juga menilai poses peradilan Mary Jane rapuh dan tidak fair.
Dia menjelaskan, jika merunut ke belakang saat proses penyidikan di Polda DIY dan persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Mary Jane tidak didampingi penerjemah yang berkompeten dan bisa menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Tagalog.
"Mary Jane hanya menguasai bahasa Tagalog, dan penerjemah saat itu juga masih berstatus mahasiswa," jelasnya.
Maka itu, pihaknya dengan tegas menolak hukuman mati bagi Mary Jane dan meminta pemerintah menghapus hukuman mati dari sistem hukum di Indonesia.
Apalagi, kata dia, hukuman mati melanggar Pancasila, UUD 45, dan HAM. "Setiap orang dijamin hak untuk hidup," imbuh Yogi Zul Fadhli, Kadiv Kampanye LBH Yogyakarta.(ico)
(kur)