Celana

Minggu, 26 April 2015 - 11:29 WIB
Celana
Celana
A A A
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia

Antara 1973-1975, Provinsi Papua (ketika itu namanya masih Irian Jaya) pernah dipimpin seorang gubernur bernama Acub Zainal (1927-2009). Gubernur yang brigjen TNI dan sebelumnya menjabat sebagai pangdam XVII/Cenderawasih (1970-1973) ini adalah seorang kepala daerah yang luar biasa.

Dalam era kepemimpinannya, baik sebagai pangdam maupun sebagai gubernur, Acub Zainaltelahmembangunprovinsiini secara besar-besaran, termasuk membangun perumahan dan perkantoran untuk pemda dan militer, pertukaran misi olahraga dan kebudayaan dengan PNG (Papua Nugini) yang waktu itu baru saja merdeka, memugar Stadion Mandala, dan membangun tim sepak bola,

si Mutiara Hitam Persipura yang selalu masuk delapan besar kejuaraan nasional PSSI dan akhirnya menjadi juara PSSItahun1975/1976. Bukanitu saja, Persipura bahkan pernah mewakili PSSI dalam sebuah turnamen diSaigon dan berhasil masuk final, walaupun akhirnya kalah tipis 2-1 dari Vietnam.

Namun, saya di sini bukan mau bicara tentang Acub Zainal, melainkan tentang kampanye anti-koteka yang dijalankan sejak Gubernur Frans Kasiepo (pendahulu Gubernur Acub Zainal) di Papua. Pada masa itu, koteka yang dianggap ”kurang berbudaya” dialihkan ke celana. Maka pada tahun 1971, di saat Acub Zainal menjabat pangdam XVII/Cenderawasih, digelarlah ”Operasi Koteka” yang memaksa kaum lakilaki mengganti koteka mereka dengan celana.

Sepintas tidak ada yang salah dengan gagasan celanasisasi itu. Di luar Papua, semua orang pakai celana. Baik laki-laki maupun perempuan. Baik celana luar maupun celana dalam. Kalau orang tidak bercelana, malah disangka gelandangan schizophrenia. Apalagi, celana itu dibagi cumacuma oleh pemerintah. Jadi sudah pas lah proyek celanasisasi ketika itu. Buktinya, sekarang celana sudah biasa buat orang Papua. LaksamanaNumberidan Menteri Yohana Yembise adalah putra-putri Papua yang bercelana.

Tidak ada masalah. Tetapi pada waktu Operasi Koteka digelar, banyak laki-laki kena penyakit kulit, karena dipaksamengenakancelana. Pasalnya, orang Papua tidak terbiasa dengan air (kecuali untuk minum). Mereka bukan etnis yang berbudaya air. Memasak pun mereka menggunakan teknik bakar batu (tidak ada teknik rebus, atau kukus seperti di Jawa).

Maka mereka tidak mencuci celana mereka. Akibatnya sakit kulitlah mereka. Sementara dengan koteka, mereka tidak memerlukan air. Untuk menghindari gigitan serangga atau nyamuk malaria, mereka cukup melumuri diri dengan lumpur dan mereka tetap sehat walafiat.

Lebih celaka lagi, ketika anak-anak Papua diwajibkan sekolah, mereka pun wajib mengenakan seragam sekolah, kemeja putih dan celana merah. Akibatnya anak-anak Papua tetap tidak bisa bersekolah karena tidak serta-merta bisa berubah dari koteka (atau belum berkoteka) ke celana.

Sekarang ini negara perlu mengimpor beras. Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi kekurangan stok beras dengan meningkatkan produktivitas petani, tetapi sulit sekali. Padahal, orang Papua dan Ambon aslinya makan pepeda yang terbuat dari sagu, orang Madura dan NTT makan jagung, dan orang Gunung Kidul, DIY, makan singkong sebagai makanan utama mereka.

Sejak era Soeharto, semua diarahkan untuk makan nasi. Nasi dianggap lebih berbudaya sebagai makanan pokok dari pada non-nasi. Bahkan, banyak orang Indonesia yang merasa masih belum makan kalau perutnya belum kemasukan nasi (walaupun sudah makan french fries, atau hamburger).

Ketika orang-orang di Gunung Kidul kembali ke singkong (nama lokalnya ”tiwul”) untuk mengganti beras yang langka atau mahal, media massa langsung menuding bahwa pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat, dan BEM pun mengerahkan massa mahasiswa untuk berdemo sambil membawa sloganslogan turunkan presiden!

Padahal tiwul sudah jadi makanan orang Gunung Kidul sejak mereka belum mengenal nasi. Bahkan, sekarang ini banyak ragam makanan dan camilan berbahan dasar singkong yang dikemas secara modern, diiklankan di TV, dan dijual di supermarket dengan harga mahal, dan tidak ada yang protes.

Bayangkan kalau masyarakat sudah makan keong! Mahasiswa akan mengerahkan massa lebih banyak lagi ke Istana Presiden. Padahal, keong itu di restoran- restoran Prancis namanya escargot dan harganya seporsi (isi beberapa ekor keong) hampir sama dengan steak daging sapi.

Saya hanya kegelian, jika saya diundang orang Prancis, di restoran Prancis, dan melihat si Prancis mencutik-cutik daging escargot dari cangkangnya dan kemudian menyeruputnya dengan nikmat. Lebih baik saya fokus ke lobster pesanan saya yang harganya bisa untuk membayar uang kos mahasiswa di Jakarta selama satu bulan.

Jadi yang ingin saya katakan adalah bahwa pakaian, makanan, dan apa pun yang dilakukan atau diyakini orang adalah bagian dari budaya. Tidak bisa dilepaskan perilaku dari budaya. Jadi, penyeragaman perilaku adalah sesuatu yang nonbudaya. Keseragaman dan penyeragaman di lingkungan militer, misalnya, ditekankan dan dipaksakan dalam waktu tertentu melalui sekolah atau akademi militer.

Keluar dari pendidikan militer, perilaku menjadi seragam, ”Siap! Hormat, grak! Laksanakan!”, tetapi begitu dia menengok orang tua di kampung, dia kembali mencium tangan orang tuanya, lupa pada ”Siap, hormat grak!”. Si tentara kembali kepada budaya aslinya. Pembangunan Indonesia banyak sekali melupakan pembangunan budaya. Program transmigrasi sangat berjaya di era Soeharto.

Banyak penduduk asal Pulau Jawa, Bali, atau Madura menjadi transmigran sukses di tempatnya yang baru di pulau-pulau lain. Tetapi tidak dipikirkan bagaimana akulturasi budaya antaretnik yang saling berinteraksi itu, sehingga pasca-Soeharto, banyak sekali terjadi kerusuhan atau konflik antar etnik.

Budaya itu bukan sekadar memakai celana atau makan nasi, tetapi menyangkut cara berpikir, sikap dan kebiasaan-kebiasaan terkait memakaicelanaataumakannasi tersebut yang dalam ilmu tentang budaya (antropologi) disebut artifak.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1622 seconds (0.1#10.140)