Makan Gratis di Amsterdam

Jum'at, 24 April 2015 - 08:41 WIB
Makan Gratis di Amsterdam
Makan Gratis di Amsterdam
A A A
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

Pekan lalu saya berjumpa dengan sahabat lama, biasa saya sapa dengan panggilan Pak Rivai. Dalam usianya sekitar 70 tahunan, sebagai mantan aktivis mahasiswa dan pengusaha, dia masih rajin membaca buku dan mengikuti perkembangan politik baik dalam maupun luar negeri.

Dalam obrolannya itu ada cerita yang menarik dan lucu yang ingin saya bagi dengan pembaca. Dalam satu kunjungannya sekian tahun lalu ke Belanda bersama teman-teman bisnisnya, dia masuk ke restoran di Amsterdam. Pemilik restoran segera tahu mereka ini rombongan dari Indonesia. Terjadi dialog yang akrab antara rombongan dan pemilik restoran.

Pak Rivai mengemukakan kesan kekagumannya dalam hal penataan kota yang rapi, terutama dalam pengendalian air dengan membuat kanal-kanal, sehingga Kota Amsterdam bebas dari banjir meski letaknya menempel ke laut. Bahkan kanal itu juga menjadi sarana rekreasi bagi para turis. Siapa pun yang berjalan-jalan ke Belanda rasanya belum lengkap kalau belum putar-putar menelusuri Kota Amsterdam dengan kapal lewat jalur kanal.

Obrolan Pak Rivai dan pemilik restoran juga menyinggung sejarah panjang masa penjajahan dan eksploitasi Belanda atas kekayaan alam Nusantara. Amsterdam ini tak akan bagus seperti yang Anda lihat tanpa kekayaan alam Indonesia yang diangkut ke sini di masa penjajahan, kata pemilik restoran.

Mereka yang pernah ke Amsterdam akan melihat bangunan- bangunan tua dengan bahan kayu jati, padahal Belanda tidak punya hutan. Bahkan orang Belanda punya ungkapan, Tuhan menciptakan seluruh negeri, kecuali Belanda. Karena Belanda dibangun oleh orang Belanda sendiri dengan mengubah laut menjadi daratan.

Demikiankah obrolan akrab dan terbuka antara rombongan Pak Rivai dengan pemilik restoran yang membuat pemilik restoran tidak mau dibayar atas semua jamuan yang dihidangkannya. Saya malu menerima uang Anda karena sesungguhnya kami banyak utang budi dan materi kepada Indonesia, katanya.

Dialog singkat tadi membuat saya menerawang jauh. Sebuah potret imajiner bangsa dan wilayah yang demikian luas dan kaya dikuasai Belanda, sebuah negara kecil di Eropa. Sekarang ini para intelektual Belanda pun kalau ingin pikirannya mengglobal, mereka mesti menuliskannya dalam bahasa Inggris.

Di Indonesia bahasa Belanda mati pelan- pelan sejak negeri ini merdeka. Sebuah budaya dan bahasa, bahkan juga agama, tak akan tumbuh kuat tanpa dukungan demografis dan politik yang kuat. Begitu pun nasib bahasa Belanda di Indonesia dan Eropa kalah bersaing dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.

Di samping faktor demografis, kekuatan iptek dan ekonomi sebuah negara akan menjadi pilar penyangga eksistensi dan penyebaran bahasanya. Di Jepang meski negaranya kecil, banyakorangasingtertarik belajar bahasanya karena faktor kemajuan iptek dan ekonominya. Yang paling fenomenal adalah penyebaran bahasa Mandarin.

Di samping kekuatan ekonomi, adalah faktor diaspora orang China ke berbagai negara dunia. Indonesia dengan kekayaan alam, budaya, dan jumlah penduduk serta pengalaman melakukan eksperimentasi demokrasi sangat potensial membuat bangsa dan negara asing untuk belajar bahasa Indonesia. Dibanding dengan masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang tentu sangat pendek.

Namun dominasi automotif dalam pasar Indonesia justru semakin kuat dan menggurita. Ditambah lagi pendatang baru Korea. Kalau saja desain Belanda dalam membangun kereta api dilestarikan dan dikembangkan ke seluruh Nusantara, wajah Indonesia akan lain. Subsidi bahan bakar untuk kendaraan automotif tidak akan membengkak seperti sekarang.

Dananya bisa dialihkan untuk pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi. Tapi apa mau dikata. Tampaknya sejarah bangsa ini merupakan potongan-potongan fragmen peristiwa yang diwarnai like or dislike atau suka tidak suka serta balas dendam akibat perebutan kekuasaan warisan Ken Arok dengan Keris Empu Gandring untuk saling menikam.

Semua yang lama dibuang, padahal yang baru belum tentu lebih baik. Sebuah negara yang terdiri atas gugusan kepulauan dan potongan- potongan memori dan agenda pembangunan yang tidak dirajut dengan solid, kokoh, rapi, dan indah. Mau sampai kapan kondisi bangsa ini dalam kondisi rapuh dan sakit meskipun wajah luar terlihat sehat dengan seremoni senyum ramairamai?
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1687 seconds (0.1#10.140)