Wakil Rakyat dan Konstituen

Sabtu, 18 April 2015 - 10:23 WIB
Wakil Rakyat dan Konstituen
Wakil Rakyat dan Konstituen
A A A
Qorry Aina
Mahasiswi Ilmu Politik,
Universitas Indonesia

Hubungan wakil rakyat dan konstituen di Indonesia memang terbilang unik. Kasuskasus konstituen tidak memberikan dukungannya pada orang yang telah mereka pilih sendiri banyak mewarnai media masa.

Ada krisis kepercayaan dari konstituen terhadap wakilnya. Dalam wacana sehari-hari pun, para wakil sering kali ditempatkan dalam prasangka yang buruk, gaji tinggi namunkerjanya sangsi. Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa konstituen tidak merasa terwakili oleh wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Secara teori, terdapat dua macam model hubungan antara wakil dan konstituen.

Yang pertama, menempatkan wakil sebagai utusan konstituen di mana ia harus bertindak sesuai keinginan konstituen. Kedua, menempatkan wakil sebagai trustee di mana wakil bertindak secara independen tanpa harus mendapat persetujuan konstituen. Melihat beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, tampaknya hubungan wakil dan konstituen yang terjadi ada di model kedua, karena konstituen tidak merasa terwakili oleh tindakan wakil.

Hal yang menarik adalah asumsi yang dipakai dalam model independen ini, para wakil merupakan expert, seorang yang ahli dalam bidangnya sehingga memiliki kapabilitas untuk membuat suatu kebijakan. Pertanyaannya, sudah cukup ahlikah para wakil yang kini duduk di kursi DPR untuk menentukan tindakannya sendiri yang sering kali hal berbenturan dengan keinginan konstituen?

Menilik lagi sistem perwakilan politik Indonesia, maka akan dapat diketahui bahwa pemilik kursi di legislatif bukan dewan itu sendiri melainkan partai. Hal ini didasarkan atas ketentuan konstitusi dan sistem pemilu Indonesia. Kondisi ini menuntut wakil yang duduk di kursi DPR mengikuti kepentingan partai dibanding kehendak konstituen.

Terlepas dari posisi wakil rakyat saat ini yang entah lebih memperjuangkan kepentingan siapa, konstituen tetap memiliki kartu truf terhadap wakil dengan adanya pemilihan umum selanjutnya. Kecenderungan wakil incumbent untuk mencalonkan diri lagi besar dilihat dari pengalaman pemilu-pemilu periode lalu. Karena itu, wakil tidak akan membiarkan citranya buruk dalam masa abdinya selama lima tahun menjabat.

Di sisi lain, pengkajian pada sistem pemilu proporsional yang kini digunakan di Indonesia harus dilakukan kembali untuk menilai apakah sistem ini benar-benar sesuai diterapkan di Indonesia. Kita tidak boleh menutup kemungkinan penggunaan sistem distrik atau campuran sebagai sistem pemilu Indonesia, jika ternyata hal itu dipandang lebih baik dan dapat menciptakan hubungan wakil dan konstituen yang lebih sehat.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0909 seconds (0.1#10.140)