Tarikan Politik Pilkada Serentak
A
A
A
Anna Luthfie
Ketua DPP Partai Perindo
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) yang dilakukan secara serentak akan menjadi agenda politik babak kedua setelah digelarnya Pemilihan Umum 2014.
Tarik-menarik soal penyelenggaraan dan konflik kepengurusan di internal partai politik menjadi faktor yang turut mewarnai bagaimana potret pilkada ini nanti digelar. Dasar hukum pelaksanaan pilkada sebenarnya sudah digodok dalam rapat paripurna DPR, kemudian mereka mengesahkan dua peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perppu) menjadi undang-undang.
Sebanyak 442 anggota Dewan menyatakan setuju bahwa Perppu Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disahkan menjadi undang-undang (20/12/2014). Namun, sejumlah anggota DPR melihat masih ada yang perlu perbaikan yang perlu dilakukan terkait permasalahan dalam Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014.
Pasalnya, diperlukan pemenuhan kebutuhan landasan yuridis yang komprehensif dan lebih baik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terutama tahun 2015 yang sudah memasuki tahapan persiapan. Dinamika di DPR kemudian terjadi terkait waktu pelaksanaan. Pada awal Februari lalu fraksi-fraksi di Komisi II DPR menyepakati pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serentak yang semula dijadwalkan 15 Desember 2015 diundur menjadi Februari 2016.
Pilkada berikutnya akan dilakukan pada 2017 dan 2018. Pengunduran dilakukan untuk persiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 bersama dengan berakhirnya masa jabatan pada awal 2016, penyelenggaraan pilkada dijadikan satu pada Februari 2016.
Untuk 2017 pilkada serentak dilakukan untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada paruh kedua 2016 dan 2017. Untuk kepala daerah yang berganti masa jabatan pada 2019, pilkada digelar pada 2018 bersama kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2018. Perubahan jadwal ini sebenarnya menindaklanjuti usulan KPU agar DPR memundurkan jadwal pilkada serentak menjadi pertengahan 2016.
Namun, langkah DPR ini terlihat kurang disepakati oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo meminta pilkada serentak tetap berlangsung pada September 2015. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo beralasan, jika pilkada langsung tetap digelar September 2015, sebagian besar jadwal pilkada yang berjumlah 204 dapat dilaksanakan pada tahun ini juga.
Hanya tersisa 10 pilkada di kabupaten/ kota yang akan dipindah pada pelaksanaan pilkada serentak tahun berikutnya. Hal ini diupayakan tidak akan mengganggu proses penganggaran dan pembangunan di daerah serta laporan pertanggungjawaban. Meskipun kemudian DPR dan pemerintah menyepakati pilkada tetap digelar pada Desember 2015 dengan beberapa gelombang, harus diakui soal pembahasan waktu ini menjadi tarikan politik pertama pelaksanaan pilkada serentak.
Konflik Partai
Tarikan politik kedua adalah konflik kepengurusan partai politik. Publik tentu masih ingat, sejak pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla dilantik dua konflik partai politik lahir. Pertama kasus dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Muktamar Surabaya dan Muktamar Jakarta. Kementrian Hukum dan HAM telah memutuskan PPP versi Muktamar Surabaya yang diketuai Romahurmuziy sebagai kepengurusan PPP yang sah.
Kubu PPP versi Muktamar Jakarta yang memilih Djan Faridz, juga didukung mantan ketua umum Suryadharma Ali, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, kubu PPP pimpinan Djan Faridz dinyatakan sebagai DPP PPP yang sah. Menariknya, pemerintah melalui Kemenkum HAM mengajukan banding, termasuk kubu Romahurmuziy.
Padahal, jamak dipandang pemerintah semestinya bertindak netral, siapa pun pengurus sebuah partai politik, pemerintah tidak memiliki kepentingan apa pun. Ketika pemerintah mengajukan banding, tentu tuduhan bahwa pemerintah memiliki kepentingan politik wajar terjadi. Apalagi saat pengesahan PPP kubu Romahurmuziy, tidak lama dari menteri Hukum dan HAM dilantik menjadi menteri.
Kedua adalah konflik Partai Golkar. Perseteruan Golkar versi Munas Bali yang dikomandani Aburizal Bakrie dengan Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono seakan mengulang langkah Kemenkum HAM dalam memperlakukan PPP. Menteri Hukum dan HAM telah mengesahkan Golkar versi Agung Laksono berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar.
Padahal, menurut versi kubu Munas Bali, tidak ada putusan Mahkamah Partai yang memenangkan salah satu pihak. Golkar kubu Munas Bali pun mengajukan gugatan ke PTUN. Putusan sela majelis hakim PTUN memerintahkan Kemenkum HAM menunda putusannya terkait kepengurusan Golkar. Akibat putusan sela ini, Golkar tatus quo dan kubu Munas Bali menyebut kepengurusan kembali ke hasil Munas Riau 2009 di mana ketua umum dijabat Aburizal Bakrie dan posisi sekretaris jenderal oleh Idrus Marham.
Konflik kedua partai ini diakui menjadi tarikan politik, mengingat menjelang dihelatnya pilkada serentak, tentu partai politik butuh konsolidasi dan kohesivitas politik. Bagaimanapun, pilkada menjadi momentum bagi partai melakukan pemanasan awal sekaligus menguji jaringan politik. Seperti diketahui, Koalisi Merah Putih berniat akan membangun koalisi ini sampai ke daerah-daerah. Tentu, dengan konflik yang terjadi di internal PPP dan Partai Golkar akan banyak memengaruhi bangunan koalisi politik yang dimiliki oleh KMP.
Perbaikan Pilkada
Sejumlah perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada telah dilakukan dalam perubahan perundang- undangan. Tarikan politik ketiga adalah terkait perubahan aturan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut. Dalam revisi UU Nomor 1/2015 tentang Pilkada disebutkan ada tiga perubahan, yakni pembatasan politik kekerabatan atau politik dinasti, syarat pengajuan pasangan calon harus memiliki dukungan 20 persen kursi DPRD atau minimal 25 persen suara dalam pemilu, serta syarat kemenangan pemilu yang hanya berlaku satu putaran.
Jadi pasangan calon kepala daerah yang meraih suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pemenang pilkada. Salah satu yang menjadi polemik dan tarik-menarik adalah terkait syarat pencalonan, terutama yang berhubungan dengan pembatasan politik kekerabatan. Syarat ini melarang calon yang maju di pilkada memiliki hubungan darah dengan petahana. Hal ini tidak lepas dari gejala politik kekerabatan di daerah yang terjadi begitu masif sejak era reformasi.
Kekuasaan keluarga di daerah akan mengganggu sirkulasi politik di daerah. Namun, sejumlah pihak yang lain menilai larangan ini dianggap tidak sesuai UUD 1945 yang memberikan kepada semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih sejauh hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan. Sejumlah pihak saat ini sedang mengajukan uji materi terkait aturan larangan politik kekerabatan tersebut dalam syarat pencalonan di pilkada.
Setidaknya ada enam perkara yang mempersoalkan syarat pencalonan itu, antara lain larangan konflik kepentingan, larangan calon yang pernah dijatuhi pidana lima tahun atau lebih untuk mengikuti kontestasi, serta larangan pegawai negeri sipil maju sebagai pasangan calon di pilkada. Dalam pertimbangan para pengaju uji materi, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih langsung pemimpinnya.
Dengan pembatasan yang terjadi pada syarat pencalonan di atas, seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu dan selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah. Polemik aturan hukum inilah yang dipandang oleh penulis sebagai tarikan politik ketiga yang akan menjadi ganjalan pada pelaksanaan pilkada langsung serentak yang pertama kali digelar tersebut. Dalam konteks demokrasi, tentu tarikan-tarikan politik ini menjadi ujian tersendiri, terutama bagi partai politik untuk melakukan komunikasi dan konsolidasi politik. Bagaimanapun, partai politik adalah ujung tombak dari sebuah kontestasi politik.
Ketua DPP Partai Perindo
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) yang dilakukan secara serentak akan menjadi agenda politik babak kedua setelah digelarnya Pemilihan Umum 2014.
Tarik-menarik soal penyelenggaraan dan konflik kepengurusan di internal partai politik menjadi faktor yang turut mewarnai bagaimana potret pilkada ini nanti digelar. Dasar hukum pelaksanaan pilkada sebenarnya sudah digodok dalam rapat paripurna DPR, kemudian mereka mengesahkan dua peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perppu) menjadi undang-undang.
Sebanyak 442 anggota Dewan menyatakan setuju bahwa Perppu Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disahkan menjadi undang-undang (20/12/2014). Namun, sejumlah anggota DPR melihat masih ada yang perlu perbaikan yang perlu dilakukan terkait permasalahan dalam Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014.
Pasalnya, diperlukan pemenuhan kebutuhan landasan yuridis yang komprehensif dan lebih baik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terutama tahun 2015 yang sudah memasuki tahapan persiapan. Dinamika di DPR kemudian terjadi terkait waktu pelaksanaan. Pada awal Februari lalu fraksi-fraksi di Komisi II DPR menyepakati pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serentak yang semula dijadwalkan 15 Desember 2015 diundur menjadi Februari 2016.
Pilkada berikutnya akan dilakukan pada 2017 dan 2018. Pengunduran dilakukan untuk persiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 bersama dengan berakhirnya masa jabatan pada awal 2016, penyelenggaraan pilkada dijadikan satu pada Februari 2016.
Untuk 2017 pilkada serentak dilakukan untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada paruh kedua 2016 dan 2017. Untuk kepala daerah yang berganti masa jabatan pada 2019, pilkada digelar pada 2018 bersama kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2018. Perubahan jadwal ini sebenarnya menindaklanjuti usulan KPU agar DPR memundurkan jadwal pilkada serentak menjadi pertengahan 2016.
Namun, langkah DPR ini terlihat kurang disepakati oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo meminta pilkada serentak tetap berlangsung pada September 2015. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo beralasan, jika pilkada langsung tetap digelar September 2015, sebagian besar jadwal pilkada yang berjumlah 204 dapat dilaksanakan pada tahun ini juga.
Hanya tersisa 10 pilkada di kabupaten/ kota yang akan dipindah pada pelaksanaan pilkada serentak tahun berikutnya. Hal ini diupayakan tidak akan mengganggu proses penganggaran dan pembangunan di daerah serta laporan pertanggungjawaban. Meskipun kemudian DPR dan pemerintah menyepakati pilkada tetap digelar pada Desember 2015 dengan beberapa gelombang, harus diakui soal pembahasan waktu ini menjadi tarikan politik pertama pelaksanaan pilkada serentak.
Konflik Partai
Tarikan politik kedua adalah konflik kepengurusan partai politik. Publik tentu masih ingat, sejak pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla dilantik dua konflik partai politik lahir. Pertama kasus dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Muktamar Surabaya dan Muktamar Jakarta. Kementrian Hukum dan HAM telah memutuskan PPP versi Muktamar Surabaya yang diketuai Romahurmuziy sebagai kepengurusan PPP yang sah.
Kubu PPP versi Muktamar Jakarta yang memilih Djan Faridz, juga didukung mantan ketua umum Suryadharma Ali, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, kubu PPP pimpinan Djan Faridz dinyatakan sebagai DPP PPP yang sah. Menariknya, pemerintah melalui Kemenkum HAM mengajukan banding, termasuk kubu Romahurmuziy.
Padahal, jamak dipandang pemerintah semestinya bertindak netral, siapa pun pengurus sebuah partai politik, pemerintah tidak memiliki kepentingan apa pun. Ketika pemerintah mengajukan banding, tentu tuduhan bahwa pemerintah memiliki kepentingan politik wajar terjadi. Apalagi saat pengesahan PPP kubu Romahurmuziy, tidak lama dari menteri Hukum dan HAM dilantik menjadi menteri.
Kedua adalah konflik Partai Golkar. Perseteruan Golkar versi Munas Bali yang dikomandani Aburizal Bakrie dengan Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono seakan mengulang langkah Kemenkum HAM dalam memperlakukan PPP. Menteri Hukum dan HAM telah mengesahkan Golkar versi Agung Laksono berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar.
Padahal, menurut versi kubu Munas Bali, tidak ada putusan Mahkamah Partai yang memenangkan salah satu pihak. Golkar kubu Munas Bali pun mengajukan gugatan ke PTUN. Putusan sela majelis hakim PTUN memerintahkan Kemenkum HAM menunda putusannya terkait kepengurusan Golkar. Akibat putusan sela ini, Golkar tatus quo dan kubu Munas Bali menyebut kepengurusan kembali ke hasil Munas Riau 2009 di mana ketua umum dijabat Aburizal Bakrie dan posisi sekretaris jenderal oleh Idrus Marham.
Konflik kedua partai ini diakui menjadi tarikan politik, mengingat menjelang dihelatnya pilkada serentak, tentu partai politik butuh konsolidasi dan kohesivitas politik. Bagaimanapun, pilkada menjadi momentum bagi partai melakukan pemanasan awal sekaligus menguji jaringan politik. Seperti diketahui, Koalisi Merah Putih berniat akan membangun koalisi ini sampai ke daerah-daerah. Tentu, dengan konflik yang terjadi di internal PPP dan Partai Golkar akan banyak memengaruhi bangunan koalisi politik yang dimiliki oleh KMP.
Perbaikan Pilkada
Sejumlah perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada telah dilakukan dalam perubahan perundang- undangan. Tarikan politik ketiga adalah terkait perubahan aturan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut. Dalam revisi UU Nomor 1/2015 tentang Pilkada disebutkan ada tiga perubahan, yakni pembatasan politik kekerabatan atau politik dinasti, syarat pengajuan pasangan calon harus memiliki dukungan 20 persen kursi DPRD atau minimal 25 persen suara dalam pemilu, serta syarat kemenangan pemilu yang hanya berlaku satu putaran.
Jadi pasangan calon kepala daerah yang meraih suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pemenang pilkada. Salah satu yang menjadi polemik dan tarik-menarik adalah terkait syarat pencalonan, terutama yang berhubungan dengan pembatasan politik kekerabatan. Syarat ini melarang calon yang maju di pilkada memiliki hubungan darah dengan petahana. Hal ini tidak lepas dari gejala politik kekerabatan di daerah yang terjadi begitu masif sejak era reformasi.
Kekuasaan keluarga di daerah akan mengganggu sirkulasi politik di daerah. Namun, sejumlah pihak yang lain menilai larangan ini dianggap tidak sesuai UUD 1945 yang memberikan kepada semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih sejauh hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan. Sejumlah pihak saat ini sedang mengajukan uji materi terkait aturan larangan politik kekerabatan tersebut dalam syarat pencalonan di pilkada.
Setidaknya ada enam perkara yang mempersoalkan syarat pencalonan itu, antara lain larangan konflik kepentingan, larangan calon yang pernah dijatuhi pidana lima tahun atau lebih untuk mengikuti kontestasi, serta larangan pegawai negeri sipil maju sebagai pasangan calon di pilkada. Dalam pertimbangan para pengaju uji materi, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih langsung pemimpinnya.
Dengan pembatasan yang terjadi pada syarat pencalonan di atas, seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu dan selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah. Polemik aturan hukum inilah yang dipandang oleh penulis sebagai tarikan politik ketiga yang akan menjadi ganjalan pada pelaksanaan pilkada langsung serentak yang pertama kali digelar tersebut. Dalam konteks demokrasi, tentu tarikan-tarikan politik ini menjadi ujian tersendiri, terutama bagi partai politik untuk melakukan komunikasi dan konsolidasi politik. Bagaimanapun, partai politik adalah ujung tombak dari sebuah kontestasi politik.
(bbg)