Partai, Konflik, Figur
A
A
A
Anas Urbaningrum
Pengamat Politik
Salah satu berkah reformasi adalah kesempatan warga negara untuk mendirikan partai politik. Pada masa sebelumnya hak itu diberangus oleh Orde Baru.
Alih-alih memberi hak, rezim malah menyederhanakan partai melalui fusi alias ”kawin paksa” di awal 1970-an dengan alasan stabilitas. Eksperimen mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada pertengahan 1990-an sempat harus dibayar mahal oleh para eksponennya. Namun, setelah empat kali pemilu pascareformasi, isu tentang partai politik belum banyak berubah.
Selain partai peserta pemilubaruyangdatangdanpergi setiap pemilu, belum ada kemajuan berarti dalam pengelolaan partai politik secara modern dan demokratis. Berita tentang partai kerap diwarnai konflik internal. Publik pun mengkritik partai sebagai jelmaan oligarki kekuasaan.
Setiap habis pemilu, konsolidasi partai politik kerap diwarnai perebutan kekuasaan antarafaksiyangmendukungpenguasa dan faksi yang ingin beroposisi. Tentu ini tidak terjadi pada partai pemenang pemilu. Pada partai pemenang pemilu yang biasanya terjadi adalah friksi dalam memperbesar portofolio kekuasaan kelompok di dalam tubuh partai dan pemerintahan.
Konflik Internal
Selepas Pemilu 2004 kita menyaksikan langkah Jusuf Kalla mengambil alih kepemimpinan Golkardanmenjadikanpartaiberingin itu sebagai salah satu jangkar politik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Padahal JK bukanlah calon resmi Golkar dalam pemilihan presiden, karena konvensi Golkar menetapkan Wiranto sebagai pemenang.
Langkah JK berhasil, namun dengan ongkos yang tidak murah. Wiranto yang kecewa akhirnya mendirikan Partai Hanura pada 2006. Tidak lama kemudian, Prabowo yang juga peserta konvensi Golkar mendirikan Partai Gerindra. Kedua partai ”anak konvensi” ini menjadi kontestan Pemilu 2009 dan berhasil ke Senayan. Belakangan, Golkar malah turun suaranya di pemilihan anggota legislatif dan gagal di Pilpres 2009.
JK yang kalah pada Pilpres 2009 dianggap ”berdosa”, hal yang lazim dalam politik. Munas Golkar di Pekanbaru 2009 menghadirkan kompetisi yang ketat dan sengit antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kemenangan Bakrie kemudian diikuti menyempalnya Surya Paloh dan lahirnya organisasi kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem) yang bermetamorfosis menjadi Partai Nasdem di kemudian hari.
Sementara Aburizal makin merapat ke pemerintahan SBY dan diganjar sebagai ketua harian Setgab Koalisi. Sejumlah pengamat mengatakan apa yang terjadi di Golkar sekarang merupakan pengulangan sejarah–mirip ungkapan Prancis, l’histoire se répète. Selama ini Golkar adalah partai yang selalu berada di dalam kekuasaan.
Yang terjadi kini sejatinya adalah tarik-menarik antara tradisi lama yang selalu berada di dalam kekuasaan dengan alur politik yang ingin membangun tradisi baru di luar kekuasaan sebagai oposisi. Tarik-menarik kedua arus ini sangat keras dan diduga melibatkan pihak di luar partai. Cerita berbeda dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang relatif berhasil mengelola dinamika internal organisasinya pasca-konflik 2008 dan kemerosotan perolehan suara pada Pemilu 2009.
Meskipun sisa-sisa konflik masih belum hilang sepenuhnya, tetapi kondisi internal yang relatif tenang dan ”arus balik” sebagian suara pada Pemilu 2014 telah mengobati luka-luka yangterjadipada episodesebelumnya. Terpilihnya kembali Muhaimin Iskandar secara aklamasi dalam Muktamar PKB di Surabaya menjadi penanda yang cukup kuat. Wajah berbeda bisa kita temukan pada Partai Amanat Nasional (PAN).
Partai ini tenang dan nyaman bersama pemerintahan SBY. Pada Pemilu 2014 lalu juga berhasil mendongkrak perolehan suara, salah satunya karena menjual sosok Hatta Rajasa dalam pilpres. Ketidakberhasilan Hatta di dalam pilpres telah menjadikan kongres PAN sangat kompetitif.
”Koalisi” Amien Rais dan Soetrisno Bachir berhasil mengalahkan Hatta dan menempatkan Zulkifli Hasan sebagai nakhoda baru. Partai matahari biru ini berhasil mengelola kompetisi demokratik dan isu regenerasi dengan cukup manis. Meskipun menyisakan riak-riak, seperti rencana hadirnya ormas Harapan Rakyat (HR), PAN relatif bisa menampilkan tradisi demokrasi dalam alih kepemimpinan.
Tantangan Figur Sentral
Tantangan yang berbeda dihadapi oleh partai dengan figur sentral yang kuat. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hanya PKS yang figur sentralnya tidak mengambil posisi sebagai pejabat eksekutif partai.
Megawati Soekarnoputri menjabat ketua umum, SBY adalah ketua umum dan ketua Majelis Tinggi, Prabowo ketua umum dan ketua Dewan Pembina, sementara Hilmi Aminuddin diposisikan sebagaiketuaMajelisSyurayang punya otoritas moral-politik. Kondisi yang menantang dan agak khas terjadi di PDIP dan Partai Demokrat. Megawati Soekarnoputri dan SBY sedang menghadapi pertanyaan politik yang kurang lebih sama, yakni tentang isu regenerasi, meritokrasi dan modernisasi partai.
Pertanyaan kepada SBY lebih keras karena selama ini dia berusaha mengampanyekan Demokrat sebagai partai modern, terbuka, dan demokratis; meskipun keduanya (Megawati dan SBY) sama-sama memegang kuasa veto di partainya masingmasing. Forum Rapat Kerja Nasional PDIP di Semarang pada September 2014 merekomendasikan agar Megawati kembali menjadi ketua umum periode 2015- 2020. Atas rekomendasi itu, Megawati yang sudah memimpin PDIP sejak 1999 menyatakan setuju.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (waktu itu) Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa selama partai ini masih hidup, jangan dilepaskan dari trah Soekarno. ”Selain trah Soekarno mentok jadi sekjen,” demikian Tjahjo dikutip media waktu itu. Kongres PDIP yang baru selesai di Bali mengukuhkan kembali Megawati sebagai ketua umum untuk lima tahun ke depan. Kabinet baru juga tidak banyak perubahan, kecuali masuknya Prananda Prabowo dan hilangnya Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon.
Desas-desus akan adanya posisi wakil ketua umum sebagai simbol regenerasi yang serius tidak terkonfirmasi dari struktur kabinet baru. Megawati menganggap kerangka kabinetnya yang lama sebagai ”the winning team” yang layak diharapkan untuk periode baru. Kongres Bali adalah penegasan sentralnya peran Megawati di partai banteng yang kini menjadi partai pemerintah. Demokrat yang akan berkongres di Surabaya ditandai adanya mobilisasi politik untuk aklamasi. Posisi sentral SBY ingin dikukuhkan dengan gerakan arus bawah agar terpilih aklamasi.
Ada alasan internal, pertimbangan figur SBY yang dinilai layak menjadi ketua umum, meski harus menjilat ludahnya sendiri, maupun pertimbangan eksternal agar partai terkonsolidasi dan tidak terancam perpecahan. Bahkan sempat ada istilah agar Demokrat jangan sampai ”di- Golkar-kan”. Meskipun berbeda dengan PDIP, Partai Demokrat menghadapi tantangan eksistensial pasca-SBY. Proses institusionalisasi belum berjalan baik dan cenderung tersedot arus balik personalisasi karena sentralnya posisi dan peran SBY.
Kongres Demokrat akan menjadi arena di persimpangan jalan, antara ”jalan idealis” membangun partai modern yang terlembaga, atau ”jalan pragmatis” yang semakin mengukuhkan dependensi politik kepada figur SBY. Untuk kepentingan partai sebagai institusi, apalagi yang bersifat jangka panjang dan berorientasi ke depan, pilihan pada ”jalan pragmatis” tidak menguntungkan.
Ujian Sejarah
Setiap partai akan diuntungkan oleh hadirnya tokoh utama atau figur besar. Bukan sematamata berfaedah sebagai pilar stabilitas internal, tetapi juga berperan penting sebagai magnet elektoral. Namun, pada saat yang sama partai yang dilekati kehadiran figur besar yang sentral posisi dan perannya akan menghadapi tantangan berat dalam pelembagaan internal menjadi partai modern yang mapan.
Akhirnya, perjalanan masa juga yang akan menjawab sejumlah pertanyaan eksistensial itu. Waktu akan menjadi ujian sejarah bagi Megawati dan SBY, apakah sanggup menjadi jembatan regenerasi dan pelopor modernisasi partai? Juga menjawab pertanyaan, apakah variabel trah dan famili bisa disenyawakan dengan prinsip meritokrasi dan asas prestasi politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana saja, tetapi punya tautan yang kuat dengan masa depan PDIP dan Partai Demokrat, juga partai-partai lain. Pada jawaban atas pertanyaan itulah terletak masa depan demokrasi kita. Demokrasi yang berfaedah nyata bagi Indonesia dan rakyatnya.
Pengamat Politik
Salah satu berkah reformasi adalah kesempatan warga negara untuk mendirikan partai politik. Pada masa sebelumnya hak itu diberangus oleh Orde Baru.
Alih-alih memberi hak, rezim malah menyederhanakan partai melalui fusi alias ”kawin paksa” di awal 1970-an dengan alasan stabilitas. Eksperimen mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada pertengahan 1990-an sempat harus dibayar mahal oleh para eksponennya. Namun, setelah empat kali pemilu pascareformasi, isu tentang partai politik belum banyak berubah.
Selain partai peserta pemilubaruyangdatangdanpergi setiap pemilu, belum ada kemajuan berarti dalam pengelolaan partai politik secara modern dan demokratis. Berita tentang partai kerap diwarnai konflik internal. Publik pun mengkritik partai sebagai jelmaan oligarki kekuasaan.
Setiap habis pemilu, konsolidasi partai politik kerap diwarnai perebutan kekuasaan antarafaksiyangmendukungpenguasa dan faksi yang ingin beroposisi. Tentu ini tidak terjadi pada partai pemenang pemilu. Pada partai pemenang pemilu yang biasanya terjadi adalah friksi dalam memperbesar portofolio kekuasaan kelompok di dalam tubuh partai dan pemerintahan.
Konflik Internal
Selepas Pemilu 2004 kita menyaksikan langkah Jusuf Kalla mengambil alih kepemimpinan Golkardanmenjadikanpartaiberingin itu sebagai salah satu jangkar politik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Padahal JK bukanlah calon resmi Golkar dalam pemilihan presiden, karena konvensi Golkar menetapkan Wiranto sebagai pemenang.
Langkah JK berhasil, namun dengan ongkos yang tidak murah. Wiranto yang kecewa akhirnya mendirikan Partai Hanura pada 2006. Tidak lama kemudian, Prabowo yang juga peserta konvensi Golkar mendirikan Partai Gerindra. Kedua partai ”anak konvensi” ini menjadi kontestan Pemilu 2009 dan berhasil ke Senayan. Belakangan, Golkar malah turun suaranya di pemilihan anggota legislatif dan gagal di Pilpres 2009.
JK yang kalah pada Pilpres 2009 dianggap ”berdosa”, hal yang lazim dalam politik. Munas Golkar di Pekanbaru 2009 menghadirkan kompetisi yang ketat dan sengit antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kemenangan Bakrie kemudian diikuti menyempalnya Surya Paloh dan lahirnya organisasi kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem) yang bermetamorfosis menjadi Partai Nasdem di kemudian hari.
Sementara Aburizal makin merapat ke pemerintahan SBY dan diganjar sebagai ketua harian Setgab Koalisi. Sejumlah pengamat mengatakan apa yang terjadi di Golkar sekarang merupakan pengulangan sejarah–mirip ungkapan Prancis, l’histoire se répète. Selama ini Golkar adalah partai yang selalu berada di dalam kekuasaan.
Yang terjadi kini sejatinya adalah tarik-menarik antara tradisi lama yang selalu berada di dalam kekuasaan dengan alur politik yang ingin membangun tradisi baru di luar kekuasaan sebagai oposisi. Tarik-menarik kedua arus ini sangat keras dan diduga melibatkan pihak di luar partai. Cerita berbeda dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang relatif berhasil mengelola dinamika internal organisasinya pasca-konflik 2008 dan kemerosotan perolehan suara pada Pemilu 2009.
Meskipun sisa-sisa konflik masih belum hilang sepenuhnya, tetapi kondisi internal yang relatif tenang dan ”arus balik” sebagian suara pada Pemilu 2014 telah mengobati luka-luka yangterjadipada episodesebelumnya. Terpilihnya kembali Muhaimin Iskandar secara aklamasi dalam Muktamar PKB di Surabaya menjadi penanda yang cukup kuat. Wajah berbeda bisa kita temukan pada Partai Amanat Nasional (PAN).
Partai ini tenang dan nyaman bersama pemerintahan SBY. Pada Pemilu 2014 lalu juga berhasil mendongkrak perolehan suara, salah satunya karena menjual sosok Hatta Rajasa dalam pilpres. Ketidakberhasilan Hatta di dalam pilpres telah menjadikan kongres PAN sangat kompetitif.
”Koalisi” Amien Rais dan Soetrisno Bachir berhasil mengalahkan Hatta dan menempatkan Zulkifli Hasan sebagai nakhoda baru. Partai matahari biru ini berhasil mengelola kompetisi demokratik dan isu regenerasi dengan cukup manis. Meskipun menyisakan riak-riak, seperti rencana hadirnya ormas Harapan Rakyat (HR), PAN relatif bisa menampilkan tradisi demokrasi dalam alih kepemimpinan.
Tantangan Figur Sentral
Tantangan yang berbeda dihadapi oleh partai dengan figur sentral yang kuat. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hanya PKS yang figur sentralnya tidak mengambil posisi sebagai pejabat eksekutif partai.
Megawati Soekarnoputri menjabat ketua umum, SBY adalah ketua umum dan ketua Majelis Tinggi, Prabowo ketua umum dan ketua Dewan Pembina, sementara Hilmi Aminuddin diposisikan sebagaiketuaMajelisSyurayang punya otoritas moral-politik. Kondisi yang menantang dan agak khas terjadi di PDIP dan Partai Demokrat. Megawati Soekarnoputri dan SBY sedang menghadapi pertanyaan politik yang kurang lebih sama, yakni tentang isu regenerasi, meritokrasi dan modernisasi partai.
Pertanyaan kepada SBY lebih keras karena selama ini dia berusaha mengampanyekan Demokrat sebagai partai modern, terbuka, dan demokratis; meskipun keduanya (Megawati dan SBY) sama-sama memegang kuasa veto di partainya masingmasing. Forum Rapat Kerja Nasional PDIP di Semarang pada September 2014 merekomendasikan agar Megawati kembali menjadi ketua umum periode 2015- 2020. Atas rekomendasi itu, Megawati yang sudah memimpin PDIP sejak 1999 menyatakan setuju.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (waktu itu) Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa selama partai ini masih hidup, jangan dilepaskan dari trah Soekarno. ”Selain trah Soekarno mentok jadi sekjen,” demikian Tjahjo dikutip media waktu itu. Kongres PDIP yang baru selesai di Bali mengukuhkan kembali Megawati sebagai ketua umum untuk lima tahun ke depan. Kabinet baru juga tidak banyak perubahan, kecuali masuknya Prananda Prabowo dan hilangnya Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon.
Desas-desus akan adanya posisi wakil ketua umum sebagai simbol regenerasi yang serius tidak terkonfirmasi dari struktur kabinet baru. Megawati menganggap kerangka kabinetnya yang lama sebagai ”the winning team” yang layak diharapkan untuk periode baru. Kongres Bali adalah penegasan sentralnya peran Megawati di partai banteng yang kini menjadi partai pemerintah. Demokrat yang akan berkongres di Surabaya ditandai adanya mobilisasi politik untuk aklamasi. Posisi sentral SBY ingin dikukuhkan dengan gerakan arus bawah agar terpilih aklamasi.
Ada alasan internal, pertimbangan figur SBY yang dinilai layak menjadi ketua umum, meski harus menjilat ludahnya sendiri, maupun pertimbangan eksternal agar partai terkonsolidasi dan tidak terancam perpecahan. Bahkan sempat ada istilah agar Demokrat jangan sampai ”di- Golkar-kan”. Meskipun berbeda dengan PDIP, Partai Demokrat menghadapi tantangan eksistensial pasca-SBY. Proses institusionalisasi belum berjalan baik dan cenderung tersedot arus balik personalisasi karena sentralnya posisi dan peran SBY.
Kongres Demokrat akan menjadi arena di persimpangan jalan, antara ”jalan idealis” membangun partai modern yang terlembaga, atau ”jalan pragmatis” yang semakin mengukuhkan dependensi politik kepada figur SBY. Untuk kepentingan partai sebagai institusi, apalagi yang bersifat jangka panjang dan berorientasi ke depan, pilihan pada ”jalan pragmatis” tidak menguntungkan.
Ujian Sejarah
Setiap partai akan diuntungkan oleh hadirnya tokoh utama atau figur besar. Bukan sematamata berfaedah sebagai pilar stabilitas internal, tetapi juga berperan penting sebagai magnet elektoral. Namun, pada saat yang sama partai yang dilekati kehadiran figur besar yang sentral posisi dan perannya akan menghadapi tantangan berat dalam pelembagaan internal menjadi partai modern yang mapan.
Akhirnya, perjalanan masa juga yang akan menjawab sejumlah pertanyaan eksistensial itu. Waktu akan menjadi ujian sejarah bagi Megawati dan SBY, apakah sanggup menjadi jembatan regenerasi dan pelopor modernisasi partai? Juga menjawab pertanyaan, apakah variabel trah dan famili bisa disenyawakan dengan prinsip meritokrasi dan asas prestasi politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana saja, tetapi punya tautan yang kuat dengan masa depan PDIP dan Partai Demokrat, juga partai-partai lain. Pada jawaban atas pertanyaan itulah terletak masa depan demokrasi kita. Demokrasi yang berfaedah nyata bagi Indonesia dan rakyatnya.
(ars)