Melindungi Anak-Anak dari Regenerasi Teror

Senin, 13 April 2015 - 10:37 WIB
Melindungi Anak-Anak...
Melindungi Anak-Anak dari Regenerasi Teror
A A A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islami

Polri menemukan rekaman terduga teroris Poso, Daeng Koro, sedang melatih sejumlah anak menggunakan senjata api.

Sebelumnya beberapa pekan lalu di laman YouTube beredar rekaman senada. Yaitu, sejumlah anak dengan pakaian serbahitam tampak tengah berlatih mengoperasikan senjata api. Laras panjang pula.

Sebagai latar di belakang anakanak itu adalah sebuah bendera dengan logo sebuah organisasi yang beberapa bulan terakhir menyebarkan hawa panas ke tengkuk negara-negara dunia: ISIS ! Apabila anak-anak di dua rekaman itu nanti benar-benar dilibatkan dalam operasi teror, ini seperti mengulangi modus perekrutan para janda sebagai anggota pasukan bahkan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Anak-anak, seperti juga kaum hawa, masih belum sungguhsungguh dicap sebagai individu yang berperan di depan layar dalam aksi teror kendati sejumlah negara telah nyata-nyata berhadapan dengan fenomena tersebut. Pada sisi itu, organisasi teror memang memiliki kepentingan untuk merekrut anak-anak sebagai senjata mereka.

Tema tayangan bahwa anak-anak itu sedang dikondisikan untuk menjadi instrumen kekerasan pastinya bertolak belakang dengan prinsip kepentingan terbaik anak. Kehidupan masa kanakkanak yang identik dengan bermain telah dirampas dan, sebagai gantinya, mereka dieksploitasi sedemikian rupa sebagai tentara kanak-kanak. Senjata api, sebagai simbol kekerasan yang berada dalam dunia orang dewasa, dijadikan sebagai benda laksana mainan sehari-hari.

Pemanfaatan anak-anak sebagai tenaga kerja paksa termasuk tentara cilik merupakan salah satu tujuan utama kejahatan tindak perdagangan orang, selain dimanfaatkan sebagai budak seks dan organ tubuhnya diperjualbelikan. Terlebih jika kepada anak-anak itu juga dibangun keyakinan bahwa mereka, dengan senjata yang mereka bawa, adalah caloncalon pejuang yang diandalkan untuk mencabut nyawa pihak lawan.

Perlakuan semacam itu pelanggaran terhadap Undang- Undang Perlindungan Anak (UU PA) yang secara eksplisit melarang siapa pun merekrut dan memperalat anak untuk kepentingan militer maupun pelibatan dalam situasi kekerasan. Demikian pula bila dihubungkan dengan Undang- Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

Mungkinkah anak-anak tersebut dipisahkan secara paksa dari orang tua atau keluarga mereka, sebagaimana modus perekrutan tentara cilik oleh milisi-milisi di wilayah konflik di Afrika? Jika itu yang terjadi, terdapat argumentasi kuat untuk menyebut anak-anak tersebut sebagai korban perdagangan orang.

Kepentingan Anak

Meski anak-anak di rekaman Daeng Koro dan YouTube tidak menunjukkan raut wajah negatif, bahkan sebaliknya mereka tampak ceria, tetap tidak bisa dinyatakan bahwa para bocah tersebut bersedia secara sukarela, bahkan bahagia dengan perlakuan yang mereka terima. Senyum anak tidak bisa dijadikan sebagai alasan oleh pihak perekrut untuk menjustifikasi aksi mereka menjadikan anak-anak sebagai sumber daya manusia untuk tujuan kekerasan.

Usia anak-anak itu belum memungkinkan untuk memberikan persetujuan maupun penolakan sehingga unsur kemauan bisa diabaikan. Implikasinya, sepanjang perlakuan yang dikenakan kepada anakanak itu bertentangan dengan kepentingan terbaik mereka, terlepas bagaimana pun sikap anak-anak tersebut, mereka harus tetap didudukkan sebagai individu yang harus dilindungi dari perlakuan salah tersebut.

Rekaman di ponsel Daeng Koro dan video YouTube tentang anak-anak yang tengah berlatih di lokasi kelompok teror sangat mungkin merupakan indikasi berlangsungnya pergeseran tren mengenai keterlibatan keluarga dalam jaringan teror. Pada waktu silam, ketika seorang dewasa bergabung ke dalam kelompok-kelompok kekerasan, anggota keluarga termasuk anak-anak biasanya tidak tahu-menahu. Itu sebabnya, tak jarang anggota keluarga terperanjat dan tidak percaya bahwa orang yang mereka kasihi ternyata telah terlibat sedemikian jauh dalam aktivitas kelompok teror.

Kini kerahasiaan pelaku teror tampak tidak lagi diterapkan bagi keluarga mereka. Seperti yang dilakukan enam belas wisatawan yang tiba-tiba menghilang dan diduga bergabung ke dalam ISIS, aktivis teror kini justru melibatkan sanak keluarga mereka untuk bersama-sama menjadi bagian dari komunitas teror. Pada titik itu, selain UU PA dan UU TPPO, UU Antikekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) juga menjadi peranti hukum yang relevan untuk ditegakkan.

Menyikapi kemungkinan bahwa pola relasi keluarga pelaku teror sangat didominasi oleh suami atau ayah sehingga istri dan anak tidak memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi serta turut menentukan arah kehidupan keluarga, istri dan anak seyogianya memperoleh proteksi dengan memanfaatkan UU KDRT tersebut. Jelas, berhadapan dengan tren baru perekrutan anggota komunitas teror seperti di atas dibutuhkan pengisolasian seketat mungkin terhadap kawasan-kawasan yang diperkirakan menjadi tujuan atau basis kelompok teror.

Pemantauan terhadap masuknya orang-orang asing secara berkelompok ke dalam suatu wilayah juga yang sepertinya dilakukan oleh unit keluarga patut dijalankan lebih seksama guna menangkal terbentuknya zona dan komunitas teror baru.

Anak Muda dan Indoktrinisasi Mandiri

Pada era ketika jagat dunia sudah berada di dalam genggaman berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, proses indoktrinisasi tidak lagi harus melalui pendekatan konvensional. Sebaran berbagai pesan atau kampanye dari kelompok-kelompok kekerasan di media sosial telah memungkinkan siapa pun, termasuk individu-individu belia, melakukan indoktrinisasi terhadap diri mereka sendiri.

Lewat indoktrinisasi mandiri, mereka tidak lagi perlu disambangi oleh komplotan-komplotan jahat. Sebaliknya, merekalah yang mengambil prakarsa untuk mendekatkan diri sendiri ke kelompok-kelompok tersebut. Tambahan lagi, dengan kecerdasan yang orang-orang muda usia miliki, mereka tidak lagi terlalu membutuhkan instruktur guna memberikan pelatihan tentang serbaneka keahlian teror.

Selama ini pelajaran tentang merakit bom dan modus-modus teror lain bahkan sudah tersedia secara gratisan di internet. Sukar diingkari; di tengah kian tingginya angka pelaku kejahatan yang melancarkan aksi pertamanya pada usia sangat muda, pelibatan anakanak muda dalam kelompok teror merupakan bukti telanjang betapa nilai kekerasan sudah disemai lewat lingkungan paling inti yakni keluarga.

Dahulu dikenal ungkapan ”demokrasi bermula di meja makan”. Kini nyaring bunyi kredo lain, ”Kebrutalan, atas nama kebenaran dan kejayaan, adalah keagungan.” Ajaran maut itu mengalir ke setiap bulir darah sosok-sosok mungil tak berdosa yang berloncatan di sekeliling kita. Allahu a’lam .
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0613 seconds (0.1#10.140)