Busana Kerajaan
A
A
A
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Alkisah pada zaman dahulu kala, di negara Abuabu (karena nama semua penghuninya berawalan Abu), ada seorang raja zalim bernama Abu Sirik, yang dibantu oleh seorang mahapatih bernama Abu Sogok.
Baginda Abu Sirik terkenal sebagai raja yang gila hormat dan kejam, yang tidak mau rakyatnya lebih tampan, lebih kaya, ataupun lebih pandai dari dirinya sendiri dan tidak segansegan membunuh rakyatnya sendiri yang membangkang perintahnya. Sedangkan Abu Sogok, adalah mahapatih yang sangat ABS (asal baginda senang) yang mau melakukan apa saja perintah baginda demi mempertahankan kedudukannya.
Pada suatu hari, raja merasa galau karena beliau melihat banyak warga yang berbusana jauh lebih bagus ketimbang pakaian kerajaan terbagus yang dimilikinya. Maka baginda segera memanggil Mahapatih Abu Sogok untuk mengadakan sayembara menjahit Busana Agung Baginda (BAB, tetapi tidak ada hubungannya dengan buang air besar).
Pemenangnya akan dianugerahi jabatan menteri ekonomi kreatif (menkraf), sedangkan peserta yang kalah akan dihukum gantung. Mahapatih Abu Sogok pun segera menjalankan perintah baginda dan mengumumkan sayembara BAB ke seluruh negara. Banyak penjahit ternama seantero kerajaan yang mendaftar untuk ikut sayembara, karena tergiur tawaran jabatan menkraf yang gajinya berlipat ganda dari penghasilan tukang jahit dan mendapat jatah uang muka kredit kereta kuda dinas pula.
Setelah melalui seleksi administratif, terpilihlahsejumlahtukangjahitdari kerajaan Abuabu untuk mengikuti sayembara. Mereka satu per satu diminta hadir diistana untuk menjahit BAB. Pagi hari peserta sayembara hadir menghadap baginda, mengukur tubuh baginda, kemudian seharian dia mengerahkan seluruh keahliannya untuk menciptakan BAB terindah, dan sorenya penjahit menghadap lagi untuk mencobakan BAB pada baginda.
Dalam acara sore hari, baginda ditemani oleh permaisuri, putra-putri kerajaan, para menteri dan hulubalang (kalau di NKRI: Panglima TNI) dan semua pejabat tinggi kerajaan. Semua yang hadir diminta untuk menjadi juri sayembara untuk menentukan apakah BAB yang dicoba hari itu layak jadi busana terindah seantero kerajaan. Kalau ya, langsung dilantik jadi menkraf; kalau tidak, langsung dikirim ke tiang gantungan.
Malang sekali, dalam waktu seminggu, tujuh penjahit sudah dikirim ke tiang gantungan. Semua audiens mengolok-olok apa pun hasil jahitan yang ditampilkan oleh para peserta lomba. Bahkan, ada menteri yang mengajukan hak angket terhadap salah satu penjahit karena karyanya dianggap sangat buruk, padahal sudah memakan biaya Rp12,7 T yang diselundupkan dalam e-budget kerajaan.
Melihat sudah ada tujuh korban, penjahit-penjahit yang lain takut dan mengundurkan diri, kecuali seorang penjahit bernama Abu Nawas. Dia tidak takut mati dan dia pun maju sebagai peserta berikutnya. Tetapi sebelum mulai mengukur tubuh baginda, Abu Nawas memohon kepada Baginda Abu Sirik untuk membuatkan busana yang begitu indah dan bagusnya, sehingga hanya orang-orang yang IQ-nya di atas 140 saja yang bisa mengagumi keindahan adibusana tersebut.
Yang lainnya tidak akan melihat apa-apa. Baginda yang merasa IQ-nya paling tinggi, langsung menyetujui, dan Abu Nawas pun mulai mengukur tubuh baginda. Pada sore harinya dihadiri audiens lengkap, Abu Nawas meminta baginda melepas seluruh bajunya karena akan diganti dengan BAB terindah yang sudah disiapkan dan dipajang di hadapan baginda. Awalnya baginda ragu, karena beliau tidak melihat apa-apa, tetapi beliau teringat bahwa hanya orang yang ber-IQ 140 yang bisa melihat busana itu.
Maka dia pun melepas busananya dan tersenyum bahagia ketika Abu Nawas mengenakan busana agung itu ke tubuhnya, padahal tidak ada seorang pun di ruangan itu yang melihat Abu Nawas memegang sesuatu, apalagi pakaian. Ketika akhirnya Abu Nawas selesai mengenakan busana itu ke tubuh baginda, raja yang tidak mau terlihat bodoh itu bersabda, ”Wah bagus sekali, ini dia busana yang pantas bagi seorang maharaja seperti saya.
Bagaimana pendapat kalian, hai keluargaku, para menteri dan para hulubalangku?”. Audiens pun menjawab serempak, ”Bagus sekali, baginda”. ”Kalau begitu, Mahapatih Abu Sogok, siapkan upacara pelantikan menkraf yang baru, dan segera laksanakan pawai keliling kerajaan”. ”Siap, baginda! Laksanakan!” jawab Mahapatih Abu Sogok. Maka pada esok harinya diselenggarakan arak-arakan keliling kerajaan.
Baginda duduk di atas kereta kencana, dengan bergaya untuk memberi aksen pada keindahan BAB sesuai dengan petunjuk Abu Nawas, menkraf yang baru. Seluruh rakyat yang mengelu-elukan baginda, tak henti-henti memuji keindahan busana baginda. Tetapi di tengah gegapgempitanya arak-arakan, seorang anak kecil bertanya kepada ibunya, ”Ma, kok raja telanjang bulat, ya?”. Si mama yang memang tidak melihat apa-apa kecuali tubuh baginda yang tambun, terkikik dan mencolek ibu yang di sebelahnya, yang juga ikut tertawa, dan dalam waktu sekejap semua rakyat menertawakan baginda yang bertelanjang bulat. B
aginda sangat marah, dan memerintahkan hulubalang untuk menangkap provokator, tetapi para prajurit pun sedang tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut sehingga tidak bisa melaksanakan perintah. Bahkan para komandan, hulubalang, dan para menteri, termasuk mahapatih dan para keluarga akhirnya ikut tertawa, meninggalkan raja yang lari terbirit- birit dan menyebabkan para kuda pun ikut tertawa...” qiqiqiqiqi”.
*** Socrates, seorang filsuf Yunani, yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, pernah mengatakan, ”Seorang yang jujur, selalu berjiwa anakanak” (an honest man is always a child). Di dalam psikologi, usia 12 tahun adalah batas kejujuran yang murni, di mana seorang anak bisa mengatakan apa adanya, tanpa beban. Di atas usia itu, orang cenderung ABS atau munafik.
Masalahnya dalam kita bernegara atau berpolitik, khususnya di Indonesia tercinta ini, lebih banyak orang yang bersikap seperti Baginda Abu Sirik dan Mahapatih Abu Sogok, ketimbang bersikap jujur, karena takut dianggap bersifat kekanak-kanakan. Buktinya, ketika Presiden Gus Dur menganggap anggota DPR taman kanak-kanak, kan semua anggota DPR marah.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Alkisah pada zaman dahulu kala, di negara Abuabu (karena nama semua penghuninya berawalan Abu), ada seorang raja zalim bernama Abu Sirik, yang dibantu oleh seorang mahapatih bernama Abu Sogok.
Baginda Abu Sirik terkenal sebagai raja yang gila hormat dan kejam, yang tidak mau rakyatnya lebih tampan, lebih kaya, ataupun lebih pandai dari dirinya sendiri dan tidak segansegan membunuh rakyatnya sendiri yang membangkang perintahnya. Sedangkan Abu Sogok, adalah mahapatih yang sangat ABS (asal baginda senang) yang mau melakukan apa saja perintah baginda demi mempertahankan kedudukannya.
Pada suatu hari, raja merasa galau karena beliau melihat banyak warga yang berbusana jauh lebih bagus ketimbang pakaian kerajaan terbagus yang dimilikinya. Maka baginda segera memanggil Mahapatih Abu Sogok untuk mengadakan sayembara menjahit Busana Agung Baginda (BAB, tetapi tidak ada hubungannya dengan buang air besar).
Pemenangnya akan dianugerahi jabatan menteri ekonomi kreatif (menkraf), sedangkan peserta yang kalah akan dihukum gantung. Mahapatih Abu Sogok pun segera menjalankan perintah baginda dan mengumumkan sayembara BAB ke seluruh negara. Banyak penjahit ternama seantero kerajaan yang mendaftar untuk ikut sayembara, karena tergiur tawaran jabatan menkraf yang gajinya berlipat ganda dari penghasilan tukang jahit dan mendapat jatah uang muka kredit kereta kuda dinas pula.
Setelah melalui seleksi administratif, terpilihlahsejumlahtukangjahitdari kerajaan Abuabu untuk mengikuti sayembara. Mereka satu per satu diminta hadir diistana untuk menjahit BAB. Pagi hari peserta sayembara hadir menghadap baginda, mengukur tubuh baginda, kemudian seharian dia mengerahkan seluruh keahliannya untuk menciptakan BAB terindah, dan sorenya penjahit menghadap lagi untuk mencobakan BAB pada baginda.
Dalam acara sore hari, baginda ditemani oleh permaisuri, putra-putri kerajaan, para menteri dan hulubalang (kalau di NKRI: Panglima TNI) dan semua pejabat tinggi kerajaan. Semua yang hadir diminta untuk menjadi juri sayembara untuk menentukan apakah BAB yang dicoba hari itu layak jadi busana terindah seantero kerajaan. Kalau ya, langsung dilantik jadi menkraf; kalau tidak, langsung dikirim ke tiang gantungan.
Malang sekali, dalam waktu seminggu, tujuh penjahit sudah dikirim ke tiang gantungan. Semua audiens mengolok-olok apa pun hasil jahitan yang ditampilkan oleh para peserta lomba. Bahkan, ada menteri yang mengajukan hak angket terhadap salah satu penjahit karena karyanya dianggap sangat buruk, padahal sudah memakan biaya Rp12,7 T yang diselundupkan dalam e-budget kerajaan.
Melihat sudah ada tujuh korban, penjahit-penjahit yang lain takut dan mengundurkan diri, kecuali seorang penjahit bernama Abu Nawas. Dia tidak takut mati dan dia pun maju sebagai peserta berikutnya. Tetapi sebelum mulai mengukur tubuh baginda, Abu Nawas memohon kepada Baginda Abu Sirik untuk membuatkan busana yang begitu indah dan bagusnya, sehingga hanya orang-orang yang IQ-nya di atas 140 saja yang bisa mengagumi keindahan adibusana tersebut.
Yang lainnya tidak akan melihat apa-apa. Baginda yang merasa IQ-nya paling tinggi, langsung menyetujui, dan Abu Nawas pun mulai mengukur tubuh baginda. Pada sore harinya dihadiri audiens lengkap, Abu Nawas meminta baginda melepas seluruh bajunya karena akan diganti dengan BAB terindah yang sudah disiapkan dan dipajang di hadapan baginda. Awalnya baginda ragu, karena beliau tidak melihat apa-apa, tetapi beliau teringat bahwa hanya orang yang ber-IQ 140 yang bisa melihat busana itu.
Maka dia pun melepas busananya dan tersenyum bahagia ketika Abu Nawas mengenakan busana agung itu ke tubuhnya, padahal tidak ada seorang pun di ruangan itu yang melihat Abu Nawas memegang sesuatu, apalagi pakaian. Ketika akhirnya Abu Nawas selesai mengenakan busana itu ke tubuh baginda, raja yang tidak mau terlihat bodoh itu bersabda, ”Wah bagus sekali, ini dia busana yang pantas bagi seorang maharaja seperti saya.
Bagaimana pendapat kalian, hai keluargaku, para menteri dan para hulubalangku?”. Audiens pun menjawab serempak, ”Bagus sekali, baginda”. ”Kalau begitu, Mahapatih Abu Sogok, siapkan upacara pelantikan menkraf yang baru, dan segera laksanakan pawai keliling kerajaan”. ”Siap, baginda! Laksanakan!” jawab Mahapatih Abu Sogok. Maka pada esok harinya diselenggarakan arak-arakan keliling kerajaan.
Baginda duduk di atas kereta kencana, dengan bergaya untuk memberi aksen pada keindahan BAB sesuai dengan petunjuk Abu Nawas, menkraf yang baru. Seluruh rakyat yang mengelu-elukan baginda, tak henti-henti memuji keindahan busana baginda. Tetapi di tengah gegapgempitanya arak-arakan, seorang anak kecil bertanya kepada ibunya, ”Ma, kok raja telanjang bulat, ya?”. Si mama yang memang tidak melihat apa-apa kecuali tubuh baginda yang tambun, terkikik dan mencolek ibu yang di sebelahnya, yang juga ikut tertawa, dan dalam waktu sekejap semua rakyat menertawakan baginda yang bertelanjang bulat. B
aginda sangat marah, dan memerintahkan hulubalang untuk menangkap provokator, tetapi para prajurit pun sedang tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut sehingga tidak bisa melaksanakan perintah. Bahkan para komandan, hulubalang, dan para menteri, termasuk mahapatih dan para keluarga akhirnya ikut tertawa, meninggalkan raja yang lari terbirit- birit dan menyebabkan para kuda pun ikut tertawa...” qiqiqiqiqi”.
*** Socrates, seorang filsuf Yunani, yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, pernah mengatakan, ”Seorang yang jujur, selalu berjiwa anakanak” (an honest man is always a child). Di dalam psikologi, usia 12 tahun adalah batas kejujuran yang murni, di mana seorang anak bisa mengatakan apa adanya, tanpa beban. Di atas usia itu, orang cenderung ABS atau munafik.
Masalahnya dalam kita bernegara atau berpolitik, khususnya di Indonesia tercinta ini, lebih banyak orang yang bersikap seperti Baginda Abu Sirik dan Mahapatih Abu Sogok, ketimbang bersikap jujur, karena takut dianggap bersifat kekanak-kanakan. Buktinya, ketika Presiden Gus Dur menganggap anggota DPR taman kanak-kanak, kan semua anggota DPR marah.
(ars)